Jowonews

Ma’ruf Amin Sebut Radikalisme dan Islamophobia Berpotensi Konflik

JAKARTA, Jowonews.com – Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyebut radikalisme dan Islamophobia dapat menyebabkan terjadinya konflik antarumat beragama di suatu negara, sehingga Pemerintah berupaya meningkatkan kerukunan di kalangan masyarakat. “Jadi, kelompok dari Islam kita ingin jangan ada lagi radikalisme di kalangan Islam; tapi juga jangan ada lagi Islamophobia seperti yang berkembang di Barat. Ini potensi-potensi konflik,” kata Wapres Ma’ruf usai menghadiri The 3rd International Islamic Healthcare Conference and Expo (IHEX) 2020 di JCC Senayan Jakarta, Sabtu. Untuk menghindari terjadinya konflik antarumat beragama, Ma’ruf Amin mengatakan perlu ditingkatkan lagi penyebarluasan narasi-narasi kerukunan dari berbagai tokoh lintas agama. “Kita coba membangun teologi kerukunan secara global dan membangun narasi-narasi keagamaan yang mencerminkan kerukunan,” tuturnya. Indonesia akan menggagas pertemuan tokoh lintas agama internasional untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, kata Wapres. “Indonesia ingin membangun kerukunan antarumat beragama di seluruh dunia. Oleh karena itu, kita bercita-cita ingin membangun pertemuan tokoh-tokoh agama dunia,” ujar Wapres Ma’ruf. Terkait konflik yang menyebabkan kekerasan terhadap muslim di India, Wapres menyampaikan keprihatinan dan berharap kejadian serupa tidak terjadi di negara lain. “Kira prihatin masih ada hal seperti itu. Apa yang terjadi di India itu sangat memprihatinkan kita semua,” ucapnya. Kerusuhan di India dalam beberapa hari terakhir dipicu oleh pengesahan undang-undang Citizenship Amendment Bill, yang diduga merugikan masyarakat Islam, oleh Perdana Menteri Naredra Modi. UU tersebut mendapat protes dari masyarakat beragama Islam di India dan berujung pada tindak kekerasan oleh aparat setempat. Sedikitnya 38 orang dilaporkan meninggal dunia dan 200 orang lebih menderita luka-luka akibat insiden tersebut. (jwn5/ant)

Lima Kategori Penganut Paham Radikal Versi Wapres

JAKARTA, Jowonews.com – Ada lima kategori penganut paham radikal dan pelaku teror yang dapat diidentifikasi untuk menemukan cara tepat dalam menanggulangi aksi radikal terorisme, kata Wapres Ma’ruf Amin dalam kuliah umum di Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu. Dengan mengidentifikasi jenis-jenis kelompok penganut paham radikal dan pelaku teror tersebut, maka upaya memutus proses transfer berfikir radikal dari pengirim pesan ke penerima pesan dapat dilakukan secara tepat sasaran. “Upaya menangkal radikalisme harus dimulai dari menangkal cara berpikir radikal dan memutus proses transfer cara berpikir radikal tersebut dari satu orang kepada orang lain. BNPT telah menyiapkan framework-nya penanganan radikalisme dan terorisme yang dibagi dalam lima kelompok,” tutur Wapres. Wapres menyebutkan ada lima jenis kelompok penganut paham radikal, yaitu indifference, latent, expressive, involvement group dan action group. Kelompok indifference merupakan kelompok yang tidak memiliki paham radikal, namun terpapar melalui narasi-narasi radikal dari berbagai media. “Kelompok ini tidak bisa kita identifikasi,” ucap Wapres menjelaskan. Kedua, kelompok latent adalah kelompok yang secara senyap sepakat dengan paham radikal, namun tidak mengekspresikannya dalam sebuah aksi. “Sama dengan indifference, kelompok latent tidak bisa kita identifikasi sehingga penanganannya dilakukan dengan meningkatkan imunitas dan memperbanyak narasi positif agar tidak mudah menerima pikiran-pikiran radikal terorisme,” ujarnya. Ketiga adalah kelompok ekspresif, yang menyepakati paham radikal dan mendukung tindakan teror dalam ruang publik, seperti di media sosial. “Kelompok ini dapat dimonitor dan diidentifikasi sehingga seharusnya kita dapat melakukan pendekatan yang humanis kepada kelompok ini agar tidak semakin jauh dalam pikiran radikal,” katanya. Keempat ialah involvement group atau kelompok yang terlibat dalam tindakan radikal terorisme. Kelompok tersebut dapat diidentifikasi dan penanganannya harus dilakukan melalui penegakan hukum dan deradikalisasi. Kelompok terakhir adalah action group yakni yang telah terlibat dalam aksi terorisme. Penanganan terhadap kelompok tersebut dilakukan lewat penegakan hukum dan deradikalisasi bagi pelaku teror, sekaligus penanganan pascakrisis bagi korban. “Tujuan saya menyampaikan framework ini adalah agar kita memahami tahapan perubahan seseorang yang tadinya tidak memiliki pikiran radikal, perlahan-lahan dicuci otaknya melalui proses radikalisasi sehingga dapat menjadi pelaku terorisme,” ujarnya. Dengan memahami kerangka tersebut, Wapres berharap perguruan tinggi dapat membantu dalam melakukan penangkalan radikalisme dan terorisme. (jwn5/ant)

Mantan Napi: Radikalisme Tidak Boleh Dialamatkan pada Agama Manapun Apalagi Islam

SOLO, Jowonews.com – Seorang mantan napiter penulis buku “Hijrah dari Radikal Kepada Moderat”, Haris Amir Falah menyebutkan radikalisme tidak boleh dialamatkan kepada agama manapun, termasuk pada agama Islam. “Kata radikalisme menurut pandangan saya yang aslinya bukan dari ajaran Islam,” kata Haris Amir Falah mantan Napiter dalam acara Bedah Bukunya berjudul “:Hijrah dari Radikal kepada Moderat:, di Auditorium Muhammad Djazman Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Selasa. Haris Amir Falah merupakan mantan napiter yang ditangkap oleh aparat keamanan saat latihan militer di Aceh pada 2010 , dan kemudian divonis 4,5 tahun dalam acara bedah bukunya berisi sebuah rekaman perbuatan pemikiran dan sikap penulis yang dituangkan dalam sebuah tulisan ringkas dengan segala keterbatasan. “Saya mencoba menulis perubahan pemikiran dan sikap saya tentang ajaran Islam, yakni dari paham yang ekstrem dan radikal menjadi moderat,” kata Haris. Menurut Haris judul buku Hijrah dari Radikal ke Moderat memang masih memancing kontroversi ada sebagian orang mengatakan kalimat radikal dan moderat ini, masih banyak diperdebatkan. “Sebenarnya dari buku yang ditulis berjudul dari radikal ke moderat ini, menceritakan tentang perjalanan hidup saya sepanjang mempelajari tentang Islam kemudian berinteraksi dengan berbagai organisasi gerakan yang ada di Indonesia,” katanya. Bahkan, kata dia, di dalam buku tersebut rekam jejak ditulis semenjak duduk di bangku SMA kelas 2 sekitar 1984 hingga sekarang ini. Dirinya menulis buku ini, sebenarnya jauh sebelum muncul kembali isu soal radikalisme, sehingga sebagai sebuah pengalaman pribadi yang dituangkan dalam tulisan. “Pada buku ini, yang saya pahami dengan radikalisme adalah paham keagamaan yang berideologi kekerasan, kemudian terlalu keras memahami agama, dan juga berlebih-lebihkan yang akhirnya melahirkan intoleransi di dalam beragama baik intoleransi sesama kaum Muslimin maupun terhadap orang-orang di luar Islam. Bahkan, kadang juga pada akhirnya akan melahirkan aksi-aksi teror,” katanya. Dia mengatakan tentang moderat yaitu sikap teguh memegang Islam, dan saat yang bersamaan menghormati segala perbedaan, serta akhirnya melahirkan sikap yang santun. Jadi menempatkan diri menjadi seorang moderat itu, tidak sama dirinya menggeser diri dari radikal kepada liberal. Moderat yang dimaksud antara antara radikal dan liberal. “Seorang yang moderat itu, bukan berarti saya mengatakan semua agama itu, sama atau semua agama itu, benar. Saya punya prinsip bahwa yang benar itu, adalah Islam, tetapi membangun toleransi memberikan hak hidup kepada agama yang lain, sesuai dengan keyakinan masing-masing,” katanya. Penulis Haris Amir Falah yang lahir di Jakarta pernah menjabat ketua Lajnah Perwakilan Jakarta, Majelis Mujahidin Indonesia 2001–2008, Amin Jamaah Ansharut Tahuhid (JAT) 2008-2010, Amin Jamaah Ansharut Syariah (JAS) Jakarta 2013-2016, Pembina Lembaga Dawah Thoriquna 2017 hingga sekarang Pendidik di SMP Darul Ma’arif Jakarta, SMA Negeri 46 Jakarta pernah kuliah di Universitas Muhammadiyah Cirendeu Ciputat Tangerang. Narasumber lainnya, Dr. Amir Mahmud M.AG selakui pengamat Pergerakan Islam mengatakan radikal dinilai ada tiga kategori yakni dalam bentuk lisan atau ujaran kebencian. Hal ini, sangat berpotensi sangat radikal. Kedua radikal dalam bentuk fisik yakni mereka tidak suka kemudian melakukan kekerasan, dan ketiga bentuk ekstrim, yakni mereka yang ingin mengubah suatu tatanan nilai bangsa manapun itu radikalisme. “Radikalisme itu, bukan Islam. Islam bukan radikalisme. Namun, radikalisme itu, seseorang atau kelompok yang melakukan paham radikal,” kata Amir Mahmud. Pada acara bedah buku Hijrah dari Radikal Kepada Moderat, juga menghadirkan narasumber lain, antara lain Dr. Mu’inudinillah Basri MA (Ketua Dewan Syariah Kota Surakarta), dan Prof. Dr, Jamhari Makruf, MA (Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta). (jwn5/ant)