Jowonews

Ruwatan, Ritual Jawa Untuk Penyucian Jiwa dan Raga

Ruwatan, Ritual Jawa Untuk Penyucian Jiwa dan Raga

Ruwatan adalah salah satu ritual yang masih melekat dalam kehidupan sebagian masyarakat Jawa hingga saat ini. Ruwatan diselenggarakan dengan tujuan untuk melepaskan atau membebaskan seseorang yang diruwat dari kutukan atau hukuman yang berakibat sial atau membahayakan. Ruwatan diambil dari kata dasar ruwat yang memiliki arti dilepas atau dibebaskan. Sampai saat ini sebagian orang masih melakukan upacara ruwatan agar dihindarikan dari marabahaya atau kutukan yang akan menimpa seseorang. Ritual ruwatan juga bertujuan agar seseorang dikembalikan atau dipulihkan pada keadaan semula, atau menetralisir atau mentawarkan kekuatan gaib yang berpotensi membahayakan. Biasanya tradisi ini dilakukan ketika seseorang merasa terus mengalami kesialan demi kesialan dalam hidup. Kemudian dia merasa bahwa kesialan yang menimpa dirinya tak terlepas dari gangguan atau pengaruh gaib. Untuk itulah kemudian ia Ngruwat dirinya untuk menetralisir kekuatan gaib yang dianggap telah mendatangkan kesialan atau gangguan dalam kehidupannya. Asal-usul Tradisi Ruwatan Ruwatan diyakini berasal dari cerita pewayangan. Dikisahkan ada seorang tokoh besar bernama Batara Guru. Ia memiliki dua istri yakni Pademi dan Selir. Dari Pademi ia memiliki keturunan atau anak laki-laki bernama Wisnu. Sementara dari Selir ia juga memiliki anak laki-laki bernama Batara Kala. Seiring keberjalanan waktu dua anak yang dilahirkan dari perempuan yang berbeda ini tumbuh dewasa. Wisnu tumbuh menjadi anak dengan budi perketi luhur dan baik. Batara Kala tumbuh menjadi sosok yang jahat. Ia kerap mengganggu dan tak jarang memakan anak-anak manusia. Proses kelahiran Batara Kala ini juga terbilang unik. Dikisahkan konon Batara Guru dan Selir sedang bercengkrama dan memadu kasih mengelilingi samudera dengan menaiki punggung lembu. Tiba-tiba hasrat seksual Batara Guru muncul dan ingin melakukan hubungan intim dengan istrinya. Namun, ternyata sang Selir menolak, sehingga air mani Batara Guru jatuh ke tengah samudera. Air mani yang jatuh tersebut kemudian berubah menjadi sosok raksasa yang kemudian dikenal dengan Batara Kala. Dalam bahasa Jawa air mani yang jatuh ini disebut dengan karma salah. Konon Batara Kala tersebut lapar dan meminta makanan berwujud manusia kepada Batara Guru. Lantas Batara Guru pun mengizinkan permintaan Batara Kala tersebut dengan syarat. Yakni manusia yang boleh dimakan adalah wong sukerta, yakni orang yang mendapat kesialan. Sukerta berarti orang yang cacat, yang lemah, dan tak sempurna. Mitos yang berkembang, kelompok manusia sukerta yang tidak diruwat akan menjadi mangsa batara kala. Dalam buku Bratawidjaja karya Thomas Wiyasa berjudul Upacara Tradisional Masyarakat Jawa (1988), orang-orang yang tergolong dalam kategori Sukerta, antara lain: 1. Ontang-anting: anak laki-laki tunggal dalam keluarga, tak punya saudara kandung. 2. Unting-unting: anak perempuan tunggal dalam keluarga. 3. Gedhana-gedhini: dua anak dalam keluarga, laki-laki dan perempuan. 4. Uger-uger lawang: dua anak laki-laki dalam keluarga. 5. Kembar sepasang: dua anak perempuan dalam keluarga. 6. Pendhawa: lima anak laki-laki dalam keluarga. 7. Ngayomi: lima anak perempuan dalam keluarga. 8. Julungwangi: anak lahir pada saat matahari terbenam. 9. Pangayam-ayam: anak lahir saat tengah hari. Syarat dan Perlengkapan Ruwatan Ketika akan melakukan ruwatan, ada sejumlah syarat yang perlu dipenuhi, yakni sajen, korban, atau mantera untuk menjembatani komunikasi antara manusia dengan kekuatan gaib atau penyelamat yang dikehendaki. Sajen merupakan makanan dan benda-benda lain seperti bunga yang digunakan untuk sarana komunikasi dengan makhluk gaib atau tak kasat mata. Van Baal melalui bukunya (1988), menerangkan bahwa sajian adalah pemberian atau persembahan kepada dewa dan roh. Sajian yang diberikan tak hanya bertujuan sebagai persembahan, tetapi juga mengandung lambang-lambang yang digunakan sebagai media untuk berkomunikasi dengan dewa tersebut. Misalnya mentog, itik, dan burung merpati yang dinilai jadi kegemaran Betara Kala. Sedangkan, kain bangun tulak adalah kain kegemaran Batari Durga, kain pandhan binethot kegemaran Batari Sri. Untuk melaksanakan ruwatan, beberapa sajen yang diperlukan antara lain: Ratus atau kemenyan wangi Kain mori putih Kain batik Padi segedeng Beragam nasi Jenang Jajan pasar Benang lawe Aneka rujak Air tujuh sumber Bunga setaman Tata Cara Pelaksanaan Ruwatan Bagi sebagian masyarakat Jawa atau masyarakat penganut kepercayaan Kejawen, ruwatan adalah salah satu ritual penting. Terutama penting dilakukan untuk orang-orang yang termasuk dalam golongan Sukerta. Sebelum masuk ke tahapan prosesi ruwatan adan beberapa persyaratan dalam bentuk makanan yang perlu disiapkan. Makanan yang disiapkan ini mengandung makna pada setiap jenisnya. Adapun makanan yang perlu disiapkan antara lain: Nasi kuning, sebagai perlambangan mendapatkan keberlimpahan rezeki Nasi golong, dimaknai mendapatkan rezeki yang terus bergantian Tumpeng, mengandung makna untuk mensyukuri nikmat dan karunia yang sudah Tuhan berikan Nasi kebuli, memiliki makna keinginan atau hajat dapat terkabulkan Jenang abang yang terbuat dari ketan dan dikasih gula serta kelapa. Bubur sengkolo, yang memiliki makna untuk membuang atau menjauhkan kesialan Jajan pasar, yang mengandung makna tersendiri yakni semoga mendapatkan rezeki yang banyak dan jauh dari permasalahan. Rujak legi, bermakna sebagai lambang penafsiran seperti yang biasanya dibuat untuk sajian orang hamil pada saat masa mitoni atau tujuh bulan. Perlu diketahui setiap tahapan dari ritual ruwatan memiliki maksud dan makna filosofis tersendiri. Adapun tahapan proses ritual Ruwatan adalah sebagai berikut: Prosesi siraman secara filosofis mengandung nilai pembersih badan. Tujuannya agar manusia yang diruwat menggunakan air kembang setaman yang terdiri dari kembang melati, kenanga, dan kembang mawar dapat terhindar dari kala atau kesialan. Sesaji dan selametan secara filosofis memiliki nilai agar orang yang diruwat senantiasa dalam keadaan sehat dan selamat. Penyerahan sarana secara filosofis berarti memberikan perlindungan terhadap orang yang termasuk dalam golongan sukerta Upacara potong rambut secara filosofis memiliki nilai bahwa segala yang kotor harus dipotong dan dibuang Tirakatan secara filosofis bermakna ungkapan rasa syukur dan ungkapan rasa terima kasih terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala perlindungan dan anugerah-Nya Wayang memiliki filosofis bagi kehidupan manusia. Pada umumnya manusia menginginkan kebaikan, maka kisah wayang itu banyak yang bisa sampai masuk ke hati. Makna Ruwatan Bagi sebagian masyarakat Jawa, pelaksanaan ruwatan memiliki hubungan erat dengan kesucian jiwa dan raga. Oleh karena itu sebelum prosesi ruwatan perlu melaksanakan tapa brata agar tercapai kesucian lahir dan batin. Selain tersebut di atas, ruwatan juga memiliki makna hendaknya manusia dapat mengendalikan hawa nafsu. Seperti kata bijak dalam bahasa Jawa, “Unen-unen, mati sajroning urip, urip sajroning pejah”. Artinya bahwa yang hidup tetap hidup, tetapi yang mati adalah nafsu lahirnya. Orang yang tak mampu mengendalikan hawa nafsu berarti mati. Sebaliknya jika orang yang hidup tak memiiki nafsu juga mati. Demikian ulasan mengenai ruwatan yang dapat kami sajikan. … Baca Selengkapnya

Tingkeban, Tradisi Jawa Saat Usia Kandungan Tujuh Bulan

Tingkeban, Tradisi Jawa Saat Usia Kandungan Tujuh Bulan

Jowonews.com – Momen spesial merupakan hal yang perlu disyukuri dalam kehidupan. Banyak cara dilakukan untuk merayakan momen tersebut. Salah satu tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Jawa adalah Tingkeban. Tradisi Tingkeban adalah acara slametan yang dilakukan pada usia kehamilan menginjak tujuh bulan. Namun, tradisi Tingkeban hanya dilaksanakan untuk anak pertama yang dikandung si ibu. Terangkum dari beberapa sumber, prosesi acara Tingkeban ini, diawali dengan siraman yang dilakukan sesepuh dan suami. Namun setelah Islam masuk prosesi ini mengalami akulturasi budaya. Sebelum acara siraman, biasanya diawali dengan membaca Surat Al Fatihah, Surat Al-Ikhlas (3x), Surat Al-Falaq (1x), Surat An-Nas (1x), Ayat Kursi (7x) dan ditambahkan dengan membaca Surat Luqman dan Maryam. Ritual Tingkeban ini mengandung makna bahwa pendidikan bagi sang anak perlu ditanamkan sejak anak masih berada dalam kandungan sang ibu. Dalam upacara Tingkeban ini, sang ibu dimandikan dengan air yang dicampur kembang setaman. Acara siraman juga dibarengi dengan doa permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar bayi dalam kandungan dapat lahir dengan sehat dan selamat. Asal-Usul Tradisi Tingkeban Konon tradisi Tingkeban ini sudah dilakukan sejak Zaman kekuasaan Raja Jayabaya di Kerajaan Kediri. Dikutip dari jurnal karya Iswah Adriana berjudul Neloni, Mitoni atau Tingkeban, dikisahkan ada pasangan suami istri yang memiliki sembilan orang anak. Namun, semua anak mereka tidak berumur panjang. Pasangan suami istri bernama Sadiyo dan Niken Satingkeb itu kemudian mengadu kepada raja terkait cobaan yang mereka alami. Sang Raja kemudian meminta kepada Satingkeb agar ia mandi dengan air suci pada hari Rabu dan Sabtu menggunakan gayung tempurung disertai dengan doa. Seusai mandi, Satingkeb kemudian mengenakan kain yang bersih. Setelah itu ia menjatuhkan dua butir kelapa gading melalui jarak perut dan pakaian. Saat Satingkeb hamil, ia melilitkan daun tebu wulung di perutnya dan kemudian daun itu dipoting dengan keris. Seluruh petuah tersebut harus dijalankan secara teratur dan cermat. Sejak saat itulah masyarakat Jawa mulai melakukan ritual Tingkeban secara turun temurun. Perlengkapan Upacara Tingkeban Menurut berbagai sumber, perlengkapan Tradisi Tingkeban terbagi menjadi dua, yakni perlengkapan untuk golongan bangsawan dan untuk rakyat biasa. Perlengkapan Upacara Tingkeban Bangsawan Bagi para bangsawan, ubarampe upacara Tingkeban antara lain: tumpeng gundul, tumpeng robyong, sekul asrep-asrepan, sebutir kelapa, ayam hidup, jajanan pasara, dan lima macam bubur. Sementara itu untuk acara slametan terdiri dari berbagai jenis makanan antara lain tujuh macam nasi, nasi majemukan, pecel ayam, sayur menir, apem, ketan kolak, nasi gurih, nasi punar, ketupat, ingkung, rujak, dawet, air bunga dan kelapa tabonan. Perlengkapan Upacara Tingkeban Rakyat Biasa Sementara untuk rakyat biasa, ubarampe perlengkapan Tingkeban antara lain, jajanan pasar, sego hangan, jenang abang putih, jenang baro-baro, emping ketan, sego golong, tumpeng robyong, sego liwet, dan bunga telon. Sedangkan untuk acara slametan terdiri daro sego ambengan, sego gurih, jajanan pasar, ketan kolak, apem, sego jajajan, pisang raja, tujuh buah tumpeng, jenang, dan kembang boreh. Tata Cara Upacara Tingkeban Siraman Pada zaman dulu tradisi siraman biasa dilakukan di sumber mata air, atau sungai. Sesepuh atau keluarga yang menyiram biasanya berjumlah tujuh orang termasuk calon ayah dari jabang bayi. Ritual Siraman Tingkeban ini sebagai pengharapan bahwa agar kelak bayi yang dilahirkan suci bersih. Sementara itu tujuh orang berasal dari kata dalam bahasa Jawa yaitu pitu. Arti dari pitu sendiri adalah pitulungan (pertolongan). Hal ini sebagai bentuk pengharapan agar kelak bayi yang dilahirkan mendapatkan pertolongan dari Tuhan Yang Maha Kuasa beserta orang-orang di sekitarnya. Ketika prosesi penyiraman air dilakukan, sang ibu sang ibu harus memegang seekor ayam dan telur beserta buah kelapa yang nantinya akan disiram bersama. Memasukkan Telur Ayam Ke Sarung Setelah ritual Siraman selesai dilakukan sang ibu harus melepas ayam tadi telah disiram bersama. Prosesi selanjutnya adalah memasukkan telur ayam kampung. Calon ayah jabang bayi memasukkan telur ayam mentah ke dalam kain/sarung yang telah dikenakan oleh calon ibu. Telur tersebut dimasukkan sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini sebagai perlambang dan harapan, kelak bayi yang dilahirkan diberikan kelancaran dan kemudahan saat proses persalinan, seperti telur yang menggelinding tadi. Upacara Ganti Busana Selanjutnya sang calon ibu melakukan prosesi upacara ganti busana. Busana tersebut terdiri dari tujuh buah jenis kain dengan motif kain yang berbeda-beda. Calon ibu memakai kain putih sebagai dasar pakaian pertama. Pakain putih yang dikenakan tersebut sebagai simbol bahwa bayi yang dilahirkan adalah dalam keadaan suci. Kemudian calon ibu berganti pakaian sebanyak enam kali. Setiap selesai ganti pakaian biasanya diiringi pertanyaan, “Sudah pantas belum?” Kemudian dijawab tamu yang hadir, “Belum pantas”. Sampai pakaian paling terakhir dipakai atau ketujuh baru dijawab, “Pantas”. Menurut tradisi yang berkembang di tengah masyarakat, kain ketujuh adalah yang paling pantas dipakai. Motif kemben dan kain yang akan dipakai dipilih yang paling baik. Hal ini sebagai pengharapan agar kelak si jabang bayi juga memiliki kebaikan dan keutamaan yang tersirat dalam lambang kain. Sebagai tambahan informasi, biasanya kain yang dipakai saat upacara ganti pakaian atau ganti busana memiliki beberapa pilihan motif yang semuanya dapat dimaknai secara baik. Adapun motif-motif tersebut antara lain: Wahyu Temurun Sebagai perlambang dan pengharapan agar bayi yang dilahirkan nanti menjadi orang yang selalu mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa dan selalu mendapat perlindungan-Nya. Sido Asih Sebagai perlambang dan pengharapan agar bayi yang akan dilahirkan memiliki sifat belas kasih dan selalu mendapatkan cinta serta kasih oleh sesama. Sido Mukti Sebagai perlambang dan pengharapan agar bayi dilahirkan nantyi memiliki sifat berwibawa dan disegani oleh sekelilingnya. Truntum Sebagai perlambang dan pengharapan agar keluhuran budi kedua orang tua menurun pada sang bayi. Sido Luhur Sebagai perlambang dan pengharapan agar agar jabang bayi kelak memiliki sifat berbudi pekerti luhur dan sopan santun. Semen Romo Sebagai perlambang dan pengharapan agar bayi yang dilahirkan memiliki rasa cinta kasih kepada sesama layaknya cinta kasih Rama dan Sinta kepada rakyatnya. Sido Dadi Sebagai perlambang dan pengharapan agar jabang bayi kelak senantiasa mendapatkan kesuksesan dalam hidupnya Babon Anggrem Sebagai perlambang dan pengharapan agar calon ibu dapat melahirkan secara lancar dan normal. Sido Derajat Sebagai perlambang dan pengharapan agar agar kelak bayi yang dilahirkan mendapat derajat yang baik dalam hidupnya. Setelah mengenakan pakaian yang ketujuh, ritual kemudian dilanjutkan dengan pemutusan benang lawe atau janur yang dililitkan di perut calon ibu. Pemutusan tersebut dilakukan oleh calon ayah dengan maksud agar kelak nantinya dalam … Baca Selengkapnya

Ritual Kenduren, Tradisi Ungkapan Syukur, Pengharapan, dan Perekat Persaudaraan Masyarakat Jawa

Ritual Kenduren, Tradisi Ungkapan Syukur, Pengharapan, dan Perekat Persaudaraan Masyarakat Jawa

Genduren atau Ritual Kenduren adalah upacara adat yang sering disebut juga dengan kenduri. Genduren berasal dari kata Gondo Rasa. Kurang lebih dalam bahasa Indonesia berarti curhat. Dalam pelaksanaannya kenduren dilaksanakan oleh seorang warga yang memiliki hajat, kemudian mengundang keluarga, kerabat atau tetangga untuk berdoa bersama agar hajat atau harapan dari pihak tuan rumah dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Ritual kenduren ini telah menjadi tradisi turun temurun yang dilakukan sejak zaman dahulu dalam kehidupan sosial masyuarakat Jawa sebelum agama Islam masuk. Pada masa Walisanga tradisi kenduren terus dilestarikan, namun ritual tersebut disesuaikan dengan ajaran Islam. Sebut saja misalnya pada saat acara kelahiran bayi. Pada masa sebelum Islam pada saat kelahiran bayi atau puputan puser dilakukan permainan kartu dengan taruhan uang. Setelah Islam datang tradisi tersebut di isi dengan acara doa dan membaca shalawat al barzanzi. Jenis-jenis Kenduren atau Kenduri Dalam masyarakat Jawa upacara kenduri juga dijadikan sebagai mekanisme sosial untuk merawat keutuhan dan persatuan dalam masyarakat. Melalui acara kenduren warga masyarakat dapat berkumpul, dan saling bersilaturrahmi. Acara Kenduri, Kenduren, Genduren atau Kepungan ini, biasanya dilaksanakan setelah waktu Maghrib atau Isya, dan dipimpin oleh seorang Pemuka Agama, Kyai, atau Sesepuh yang dituakan. Adapun tempat pelaksanaannya bergantung pada jenis kenduren yang dilakukan. Misal Kenduren Selapanan, dilaksanakan di rumah yang baru saja memiliki bayi/ hajat. Atau Kenduren Muludan dilaksanakan di Masjid atau Musholla untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Dalam tradisi masyarakat Jawa, Kenduri atau Kenduren ini ada beberapa macam, di antaranya: Selapanan, Wetonan, Puputan, Sabanan, Likuran, Muludan, Ba’dan, Ujar, Mitoni, Kepaten, Syukuran, Angsumdahar, dan seterusnya. Kenduren Selapanan Ritual Kenduri Selapanan dilaksanakan untuk mendoakan anak yang baru lahir atau usia 35 hari agar diberikan keselamatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, terhindar dari penyakit dan mara bahaya, berbakti kepada orang tua, menjadi anak yang bermanfaat bagi masyarakat, dan taat dalam menjalankan ajaran agama. Kenduren Puputan Ritual Kenduri Puputan atau puput puser dilaksanakan saat terlepasnya tali pusar bayi. Kenduren ini biasaya dilakukan saat bayi belum berumur selapan atau 35 hari. Kenduren ini dimaksudkan agar bayi senantiasa diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala penyakit. Apabila tali pusar juga dilepas pada hari ke-35, pelaksanaan Kenduren Puputan dan Selapanan biasaya dilakukan dalam waktu bersamaan. Kenduren Mitoni Ritual Kenduri Mitoni dilakukan sebagai bentuk syukur karena usia kandungan atau jabang bayi dalam kandungan telah berusia tujuh bulan. Kenduren Mitoni biasa juga disebut dengan Nuju Bulan. Tujuan Kenduri Mitoni adalah mendoakan jabang bayi dalam kandungan agar senantiasa diberikan keselamatan, kesehatan, dan musibah hingga proses kelahiran nanti. Kenduren Kepaten Ritual Kenduri Kepaten atau Kenduri Kematian dimaksudkan untuk mengirimkan doa ke anggota keluarga yang meninggal dunia. Dalam masyarakat Jawa, Kenduri Kepaten ini biasa juga disebut dengan Tahlilan. Dalam pelaksanaannya Kenduri Kepaten dilakukan dalam beberapa waktu, yakni:Tahlilan Hari Ketiga (telung dinanan), Tahlilan Hari Ketujuh (pitung dinanan), Tahlilan Hari Keempat puluh (patang puluhan), Tahlilan Hari Keseratus (Nyatus), dan Tahlilan Hari Keseribu (Nyewu). Kenduren Syukuran Ritual Kenduri Syukuran dilaksanakan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena hajat yang diinginkan telah tercapai. Dalam masyarakat misal baru saja membeli sepeda motor atau mobil, anak lulus ujian sekolah. diangkat jadi pegawai negeri dan seterusnya. Dalam pelaksanaannya biasanya kenduren ini hanya mengumpulkan tetangga terdekat saja. Kenduren Angsumdahar Ritual Kenduri Angsumdahar dilaksanakan dengan maksud agar calon pengantian sebelum melakukan pernikahan diberikan keselamatan. Kenduren Angsumdahar biasanya dilaksanakan dua hari sebelum calon pengantin melangsungkan pernikahan. Kenduren Suronan Ritual Kenduri Suronan adalah prosesi selamatan yang biasa dilakukan masyarakat Jawa untuk memperingati tahun Jawa. Kenduri Suronan biasanya dilaksanakan pada malam 1 Suro/ 1 Muharram dalam kalender Islam. Selain itu sebagian masyarakat juga ada yang melaksanakan kenduri pada tanggal 10 Suro. Pada ritual Kenduri Suronan masyarakat akan membawa berkat dalam bentuk tumpeng atau bentuk lain yang telah disepakati sesuai adat setempat, kemudian melakukan prosesi doa yang dimpin oleh pemuka agama atau sesepuh setempat, dan berkat tersebut kemudian dibawa pulang kembali. Kenduren Badan (Lebaran/ Mudunan) Ritual Kenduri Badan/ Lebaran/ Mudunan adalah kenduri yang dilaksanakan pada tanggal 1 Syawal. Tujuan dari Kenduri ini adalah untuk memohonkan ampun dosa-dosa para anggota keluarga yang telah meninggal/ ahli kubur agar dilapangkan kuburnya dan diberikan tempat terbaik di Sisi Allah Subhanahuwata’ala. Kenduri badan biasanya didahului dengan ziarah kubur ke makam masing-masing anggota keluarga. Kenduren Mauludan Ritual Kenduri Mauludan dilakukan pada tanggal 12 bulan Maulud atau Rabiul Awwal. Maksud dari kenduri ini adalah untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu’alaihiwasallam. Ruang Lingkup Kenduren Dalam pelaksanaannya di tengah masyarakat Jawa, ruang lingkup kenduri ini terdiri dari dua, yakni lingkup kecil dan lingkup yang lebih luas. Kenduri dalam lingkup kecil diselenggarakan oleh pemilik hajat dengan mengundang hanya kerabat atau tetangga kanan kiri saja. Acara kenduri diawali dengan sambutan tuan rumah, pembacaan doa tahlil atau yasinan dipimpin oleh Kyai, Pemuka Agama setempat atau Sesepuh. Seusai pembacaan doa, rangkaian acara ditutup dengan makan bersama dengan pembagian berkat oleh tuan rumah. Sementara itu ritual kenduren yang lebih luas biasanya diselenggarakan secara bersama-sama oleh masyarakat untuk melakukan doa bersama. Kenduri dalam lingkup luas biasanya dikoordinir oleh Kepala Desa, Kadus atau Pemuka Agama, atau Sesepuh setempat pada saat hari-hari atau bulan-bulan tertentu. Misalnya seperti Kenduri Rajaban, Muludan, Suronan, Likuran, Badan dan seterusnya. Hingga saat ini tradisi kenduren ini masih banyak dilakukan oleh berbagai elemen atau lingkup masyarakat. Terutama masyarakat di pedesaan. Selain sebagai perwujuduan syukur dan bentuk pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas hajat dan harapan, tradisi kenduri juga memiliki nilai sosial positif di tengah masyarakat. Adanya ritual kenduri dapat menjadi mekanisme sosial untuk menyambung tali silaturrahmi dan kerukunan antar warga masyarakat.

Polisi Selidiki Ritual Sembilan Bangkai Ayam Dikubur di Makam

KUDUS, Jowonews.com – Aparat Kepolisian Resor Kudus, Jawa Tengah, menyelidiki pelaku dugaan ritual ilmu sihir dengan mengubur sembilan bangkai ayam dengan kain kafan berbentuk pocong bayi di Makam Bakalan Krapyak Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus. “Setelah kami bongkar dari dua makam di Pemakaman Desa Bakalan Krapyak Kamis (18/6) malam, ternyata sembilan bungkusan berbentuk pocong berisi bangkai ayam,” kata Kasat Reskrim Polres Kudus AKP Agustinus David di Kudus, Kamis. Ia menduga bangkai ayam tersebut sebagai ritual untuk menyihir seseorang, mengingat di dalam bungkusan tersebut terdapat foto seseorang perempuan dan ada jarum serta tulisan yang diduga mantra. Atas kasus tersebut, kata dia, pihaknya masih melakukan penyelidikan, guna mengungkap ada tidaknya unsur tindakan pidananya. Demikian halnya, kata dia, penyelidikan tersebut juga untuk mengungkap motifnya. Sembilan bungkusan bangkai ayam dengan kain kafan berukuran pocong bayi tersebut, ditemukan dari dua makam yang dikubur di atas makam persis. Kasus temuan pocong yang awalnya diduga jasad bayi tersebut, berawal ketika salah seorang peziarah hendak berziarah ke makam orang tuanya pada Kamis (18/6) pukul 16.30 WIB. Akan tetapi, peziarah yang bernama Muhammad Kafid asal Desa Daren, Jepara itu, curiga dengan makam ibunya terdapat tanah urukan baru. “Saya sempat curiga dengan kondisi makam orang tua saya, karena tanahnya terdapat timbunan baru,” ujar Muhammad Kafid. Selain itu, kata dia, terdapat banyak lalat di sekitar makam orang tuanya yang usia pemakamannya baru 100 hari. Setelah berdoa, kata dia, dirinya mencoba membongkar tanah urukan yang kelihatannya belum lama. Ternyata, terdapat bungkusan dengan kain kafan yang membentuk jenazah bayi baru lahir. Mengetahui hal itu, dia melaporkannya kepada penjaga makam, namun pihak penjaga makam tidak mengetahui itu. Kemudian dilaporkan kepada perangkat desa setempat, dilanjutkan ke kepolisian setempat. Setelah di bongkar, awalnya ditemukan tujuh bungkus menyerupai pocong jenazah bayi kemudian bertambah menjadi sembilan bungkusan. Di lokasi pemakaman, tampak ratusan warga yang penasaran dengan informasi adanya temuan bungkus berbentuk pocong bayi, meski setelah dibuka hanya berupa bangkai ayam. (jwn5/ant)