Jowonews

Ukara Tanduk dalam Bahasa Jawa dan Beberapa Contohnya

Ukara Tanduk dalam Bahasa Jawa dan Beberapa Contohnya

SALATIGA – Dalam bahasa Jawa, kalimat juga disebut sebagai ukara. Ada berbagai jenis ukara dalam bahasa Jawa, salah satunya adalah ukara tanduk. Ukara tanduk dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kalimat aktif di mana dalam kalimat tersebut harus terdapat subjek yang sedang melakukan suatu pekerjaan. Dalam bahasa Jawa, ukara tanduk termasuk dalam pramasastra Jawa. Pramasastra Jawa merupakan ilmu yang mempelajari tentang penulisan, aksara, ejaan atau bacaan Jawa, serta tata bahasa dan kalimat dalam bahasa Jawa. Lalu, apa itu ukara tanduk dan bagaimana contoh kalimatnya? Simak penjelasannya di bawah ini. Pengertian Ukara Tanduk Ukara tanduk merujuk pada kalimat di mana subjeknya bertindak sebagai pelaku atau aktor. Kalimat ini mengandung predikat kata kerja aktif rensitif maupun kriya tanduk yang transitif, yang biasanya mendapatkan awalan anuswara (n-, m-, ng-, ny-). Subjek dalam ukara tanduk umumnya melakukan suatu pekerjaan, dan arah kata kerjanya bersifat maju. Ukara tanduk juga dikenal sebagai kalimat aktif karena subjeknya terlibat dalam suatu pekerjaan, yang mencerminkan suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan subjek terhadap objek. Ukara tanduk memiliki fungsi untuk menjelaskan aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Jenis-Jenis Ukara Tanduk Berdasarkan buku “Piwulang Basa Jawi” (2022) karya Heru Subrata, ukara tanduk dibagi menjadi tiga jenis, yaitu ukara tanduk mawa lesan, ukara tanduk tanpa lesan, dan ukara tanduk mawa lesan dan gagenep. Berikut penjelasannya: 1. Ukara Tanduk Mawa Lesan Ukara tanduk mawa lesan diartikan sebagai kalimat aktif transitif. Hal tersebut memiliki maksud bahwa ukara tanduk mawa lesan merupakan kalimat aktif yang memiliki sebuah objek: 2. Ukara Tanduk Tanpa Lesan Ukara tanduk tanpa lesan merupakan kalimat aktif intransitif. Ukara tanduk jenis ini merupakan kalimat aktif yang tidak memiliki objek: 3. Ukara Tanduk Mawa Lesan dan Gagenep Ukara tanduk mawa lesan dan geganep memiliki ciri-ciri, yaitu wasesanya terbentuk dari imbuhan gabungan ater-ater anuswara dan panambang-i utawa panambang -ake. Contoh ukara tanduk mawa lesan dan geganep seperti berikut: Bapak maringi adhik sanguIbu nggorengake masku iwak Ciri-Ciri Ukara Tanduk Terdapat beberapa ciri yang membedakan ukara tanduk dengan ukara yang lain: Contoh Ukara Tanduk

Mengenal Tulisan Aksara Jawa atau Hanacaraka

Mengenal Tulisan Aksara Jawa atau Hanacaraka

Tulisan Aksara Jawa atau biasa disebut Hanacaraka adalah salah satu warisan budaya Jawa. Materi aksara Jawa biasanya masuk dalam pelajaran Bahasa Jawa di sekolah yang berdomisili di Jawa Tengah atau pun Jawa Timur. Aksara Jawa ternyata memiliki banyak ragamnya. Mengenal Aksara Jawa Hanacaraka Menurut buku Populer Aksara Jawa oleh Komunitas Genk Kobra Javaholic (2015: 2), aksara Jawa adalah keturunan dari aksara Brahmi dan Pallawa yang banyak digunakan untuk menulis bahasa Sansekerta yang pada saat itu menjadi bahasa internasional di wilayah Asia. Aksara ini memiliki sifat suku kata (silabik). Aksara tersebut dikenal sebagai Carakan yang merupakan huruf-huruf pokok yang perlu dipahami dalam mempelajari aksara Jawa. Selain Carakan, juga terdapat aksara Pasangan yang berfungsi untuk mematikan atau menghilangkan bunyi vokal pada aksara dasar. Sebagai contoh, pada huruf Ja menjadi J, Ba menjadi B, dan seterusnya. Misalnya kata ‘mangan’, pasangan digunakan untuk mengubah huruf terakhir, yaitu Na menjadi N. Setiap huruf dalam aksara Jawa memiliki pasangan yang berbeda. Berikut ini adalah bentuk aksara Jawa dan pasangannya: Di samping itu, juga dikenal sebagai aksara Sandhangan. Sandhangan merupakan huruf vokal yang tidak berdiri sendiri dan digunakan ketika berada di tengah kata. Sandhangan dibedakan berdasarkan cara pengucapannya. Berikut ini adalah contoh-contoh Sandhangan: Asal-usul Aksara Jawa Cerita rakyat mengatakan bahwa aksara Hanacaraka diciptakan oleh Aji Saka, penguasa Kerajaan Medang Kamulan, yang memiliki dua pengikut setia bernama Dora dan Sembada. Pada suatu waktu, Aji Saka mengirim Dora untuk menemui Sembada dan membawa pusaka tersebut. Dora kemudian mendatangi Sembada dan mengabarkan perintah dari tuannya. Namun, Sembada menolak karena sesuai dengan perintah Aji Saka sebelumnya, tidak ada yang diizinkan membawa pusaka tersebut kecuali Aji Saka sendiri. Akibatnya, kedua pengikut Aji Saka saling mencurigai bahwa mereka berdua berniat mencuri pusaka tersebut. Sembada dan Dora kemudian bertarung hingga keduanya meninggal. Ketika Aji Saka datang, ia menemukan kedua pengikutnya telah meninggal karena kesalahpahaman. Di depan jasad kedua pengikutnya itu, Aji Saka membuat puisi yang kemudian dikenal sebagai Hanacaraka atau aksara Jawa. Meskipun demikian, terdapat beberapa versi cerita tentang asal-usul Hanacaraka dari berbagai daerah. Makna Hanacaraka atau Aksara Jawa Hanacaraka tidak hanya sebatas aksara yang digunakan oleh masyarakat Jawa dalam karya tulis mereka, melainkan memiliki makna filosofis yang mendalam bagi kehidupan manusia. Dikutip dari laman Universitas Surabaya, berikut makna-makna yang terkandung dalam Hanacaraka. Ha Na Ca Ra Ka memiliki arti “Adanya pesuruh Tuhan”. Manusia diciptakan Tuhan untuk menjaga kelestarian hidup manusia dan kelestarian alam (Hamemayu Hayuning Bawono). Da Ta Sa Wa La memiliki arti “Tidak bisa disangkal bahwa semua sudah menjadi takdir Tuhan”. Segala sesuatu yang ada di dunia ini telah ditentukan oleh Tuhan. Manusia cukup menjalankannya saja sesuai dengan perannya. Pa Dha Ja Ya Nya memiliki arti “Dengan keseimbangan yang sejalan dengan takdirnya”. Dalam kehidupan, akan selalu ada situasi di mana hal-hal memiliki pasangan masing-masing. Manusia harus mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi tersebut. Ma Ga Ba Tha Nga memiliki arti “Manusia pasti memiliki dosa, lupa, kesalahan, kesialan, dan kematian”. Tidak ada manusia yang lepas dari kekurangan karena hal tersebut telah menjadi takdir manusia. Adanya kekurangan tersebut seharusnya dapat menjadi peringatan bahwa manusia harus selalu ingat dan waspada. Jenis Aksara Jawa atau Hanacaraka Mengutip buku ‘Bahasa Jawa SMA’ (2009) oleh Setya Amrih Prasaja, Hanacaraka terbagi menjadi beberapa jenis berbeda yang saling berkesinambungan, yaitu: Itulah penjelasan tentang aksara Jawa atau tulisan Hanacaraka dan variasinya. Aksara Jawa merupakan salah satu warisan budaya yang harus dijaga keberlanjutannya. Jadi, mari kita memulai belajar aksara Jawa untuk turut menjaga kelestariannya. Semoga penjelasan ini berguna bagi Anda.

Arti Serat Wedhatama, Pokok Ajaran Hingga Arti dalam Bahasa Indonesia

Arti Serat Wedhatama, Pokok Ajaran Hingga Arti dalam Bahasa Indonesia

Karya sastra Jawa banyak yang memiliki arti filosofis bagi manusia, salah satunya adalah Serat Wedhatama. Serat Wedhatama adalah karya sastra Jawa baru yang sedikit dipengaruhi Agama Islam dan tergolong sebagai karya legendaris. Pencipta serat ini adalah KGPAA Mangkunegara IV, yang memerintah Praja Mangkunegaran dari 1853 sampai 1881. Serat Wedhatama mengandung banyak ajaran mengenai kehidupan manusia yang masih relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Serat Wedhatama berisi lima tembang macapat (pupuh) dan terdiri atas 100 bait. Kelima pupuh itu adalah pangkur, sinom, pocung, gambuh, dan kinanthi. Serat tersebut memuat pesan-pesan yang mendorong manusia beretika dalam bersikap. Wedhatama hanya satu dari beberapa karya Mangkunegara IV. Soetomo Siswokartono, dalam Sri Mangkunagara IV Sebagai Penguasa dan Penyair (2006:257), mencatat sejumlah karya penting lain yang ditulis Mangkunegara IV, yakni Serat Warayagnya, Serat Wirawiyata, Serat Darmawasita, Serat Salokatama, dan Serat Paliatma. Mengutip ulasan berjudul “Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Serat Wedhatama” yang ditulis Sumarno dalam Jurnal Patrawidya (Vol. 15, No. 2, 2014), sastra Jawa kuno biasanya dibuat oleh kalangan penyair keraton. Serat Wedhatama merupakan salah satu yang paling terkenal. Kepopuleran Serat Wedhatama bahkan mempengaruhi sejumlah karya seni kontemporer. Sebagai contoh, musikus Gombloh pernah menyertakan sebagian lirik Serat Wedhatama dalam lagu ciptaannya, “Hong Wilaheng.” Nilai-nilai Jawa dan Islam saling terhubung secara erat dalam Serat Wedhatama. Mangkunegara IV yang tumbuh dalam kebudayaan Jawa dan tradisi Islam kejawen yang kuat menjadi latar belakangnya. Pesan-pesan seperti menghargai budaya Jawa, dan kewajiban manusia untuk melaksanakan perintah Allah dapat ditemukan dalam Serat Wedhatama. Naskah asli Serat Wedhatama hingga saat ini disimpan di Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran di Surakarta. Arti Serat Wedhatama Menurut laman Jogja Belajar yang dikelola oleh Balai Tekkomdik DIY, Serat Wedhatama adalah karya sastra yang digubah oleh KGPAA Mangkunegara IV pada abad ke-19. Wedhatama berasal dari kata Wedha dan Tama. Dalam Kamus Bahasa Jawa-Indonesia, wedha memiliki arti ilmu, pengetahuan. Sedangkan tama berasal dari kata utama yang memiliki arti utama, baik dalam sikap, budi, maupun perilaku. Secara harfiah, Serat Wedhatama dapat diartikan sebagai serat atau buku yang berisi tentang pengetahuan, nasihat untuk berperilaku, bertindak, dan berkelakuan yang baik. Serat Wedhatama awalnya ditulis KGPAA Mangkunegara IV untuk anak dan keturunannya. Namun, setelah diketahui bahwa ajaran yang terkandung di dalamnya sangatlah mulia, akhirnya banyak kalangan masyarakat yang menilai bahwa Serat Wedhatama dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran bagi masyarakat umum. Pokok Ajaran Serat Wedhatama Dikutip dari Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI Al Fithrah berjudul ‘AJARAN TASAWUF DALAM SERAT WEDHATAMA KARYA KGPAA MANGKUNEGARA IV’ oleh Siswoyo Aris Munandar dan Atika Afifah, ajaran yang terdapat dalam Serat Wedhatama dapat digolongkan menjadi dua, yaitu ajaran untuk kelompok muda dan untuk kelompok tua. Ajaran untuk kelompok muda meliputi rendah hati, mencari mentor yang baik, tidak tergoda oleh kesenangan dunia, mengendalikan diri, tawakal kepada Tuhan, merasa puas dengan nikmat-Nya, dan pengenalan hakikat. Sedangkan ajaran untuk kelompok tua meliputi kesabaran, cinta kasih, dan ajaran penghormatan Mangkunegara IV terhadap tubuh, pikiran, jiwa, dan perasaan. Urutan Isi Serat Wedhatama Serat Wedhatama mengandung lima tembang macapat (puisi tradisional Jawa) dengan total 100 bait. Berikut ini pembagian dan urutan tembang macapat yang terdapat dalam Serat Wedhatama.Pangkur (14 pupuh, 1 – 14)Sinom (18 pupuh, 15 – 32)Pocung (15 pupuh, 33 – 47)Gambuh (35 pupuh, 48 – 82)Kinanthi (18 pupuh, 83 – 100) Konten dari Serat Wedhatama berupa filsafat kehidupan yang menggabungkan nilai-nilai Jawa dan Islam. Misalnya seperti bagaimana cara menjalankan agama dengan bijak, menjadi manusia yang utuh, dan menjadi orang yang memiliki sifat ksatria. Terdapat juga beberapa kutipan yang dianggap sebagai kritik terhadap konsep ajaran Islam yang konservatif, yang mencerminkan perjuangan budaya Jawa dengan gerakan penyucian Islam. Isi Serat Wedhatama PUPUH I PANGKUR Mingkar-mingkur ing angkara/akarana karenan mardi siwi/sinawung resmining kidung/sinuba-sinukarta/mrih kretarta pakartining ilmu luhur/kang tumrap ing tanah Jawa/agama ageming Aji//Menghindar dari kejahatan,karena senang mendidik anak,Dibuat dalam bentuk nyanyian yang indah,Dibuat baik dan indah,Agar sejahtera pada perilaku ilmu luhur,yang diterapkan di tanah Jawa,Agama sebagai pegangan raja. Jinejer neng wedhatama/mrih tan kemba kembanganing pambudi/mangka nadyan tuwa pikun/yen tan mikani rahsa/yekti sepa sepi lir sepah asamun/samangsane pakumpulan/gonyak-ganyuk nglelingsemi// Dijelaskan dalam Wedatama,Agar tidak kendor dalam berusaha,Padahal walau tua renta,Kalau tidak mengetahui jiwa,Sungguh tidak enak seperti ampas tidak berguna,ada saat pertemuan,Tidak sopan membuat malu. Gugu karsane priyangga/nora nganggo peparah lamun angling/Lumuh ingaran balilu/Uger guru aleman/Nanging janma ingkang wus waspadeng semu/Sinamun ing samudana/Sesadoningadu manis// Semaunya sendiri,Tidak memakai aturan kalau berkata,Tidak mau dikatakan bodoh,Mengikuti teladan sanjungan,Tetapi manusia yang sudah bijaksana terhadap simbolDisamarkan dalam perangainya,Semuanya diterima dengan baik. Si pengung nora nglagewa/Sangsayarda denira cecariwis/Ngandhar-andhar angendhukur/Kandhane ora kaprah/Saya elok alangka longkangipun/Si wasis waskitha ngalah/Ngalingi marang si pingging//Orang yang bodoh tidak menduga,Semakin meluas dalam berbicara,Panjang lebar tidak berisiPerkataannya tidak karuan,Semakin menjadi-jadi kebohongannya,Si orang yang pandai bijaksana mengalah,Menutupi kepada orang yang bodoh. Mangkono ngelmu kang nyata/Sanyatane mung weh reseping ati/Bungah ingaran cubluk/Sukeng tyas yen den ina/Nora kaya si punggung anggung gumunggung/Ugungan sadina-dina/Aja mangkono wong urip// Demikian ilmu yang sesungguhnya,Sesungguhnya hanya memberikan kesenangan di hati,Senang (jika) dikatakan bodoh,Senang hatinya jika dihina,Tidak seperti orang yang bodoh selalu sombong,Senang disanjung setiap hari,Janganlah demikian orang hidup itu. Uripe sepisan rusak/Nora mulur nalare ting saluwir/Kadi guwa gung asirung/Sinerang ing maruta/Gumarenggeng anggereng anggung gumunggung/Pindha padhane si mudha/Prandene kudu kumaki// Hidupnya sekali saja rusak,Tidak luas pikirannya bercabang-cabang,Seperti gua besar yang menakutkan,Diterjang oleh angin,Bergema membahana menakutkan,Itu sama ibaratnya dengan si bodoh,Namun demikian sangat sombong. Kikisane mung sapala/Palayune ngandelken yayah bibi/Bangkit tata-basa luhur/Telesih tatakrama/Balik sira sarawungan bae durung/Wruh atining tatakrama/Nggon-anggon agama suci// Perbatasannya hanya sedikit,Akhirnya mengandalkan ayah ibunya,Pandai berbahasa halus,Cermat tatakramanya,Sebaliknya dirimu kenal saja belum,Mengetahui inti tatakrama,penerapannya agama suci. Socaning jiwangganira/Jer katara lamun pocapan pasthi/Lumuh kasor kudu unggul/Sumengguh sesongaran/Yen mangkana kena ingaran katungkul/karem ing reh kaprawiran/Nora enak iku kaki// Mata hati dalam jiwamu,Pasti selalu kelihatan kalau berbicara,Tidak mau kalah harus menang,Merasa bisa menyombongkan diri,Kalau demikian itu dapat disebut terlena,Senang terhadap kesaktian,Tidak enak itu nanda. Kekerane ilmu karang/Kekarangan saking bangsaning gaib/Iku boreh paminipun/Tan rumasuk ing jasad/Among aneng sajabaning daging kulup/Yen kapengkok pancabaya/Ubayane balenjani// Tempatnya ilmu tebakan,Karangan dari yang gaib,Itu bedak param umpamanya,Tidak masuk ke dalam badan,Hanya di luar daging saja nanda,Kalau terkena bencana,Akhirnya mengingkari. Marma ing sabisa-bisa/Bebasane muriha tyas basuki/Puruhita ingkang patut/Lan traping angganira/Ana uga angger ugering kaprabun/Abon-aboning panembah/Kang kambah ing siyang ratri// Oleh sebab itu sedapat mungkin,Ibaratnya berusahalah agar hati selamat,Mengabdilah dengan baik,Sesuai dengan keadaan … Baca Selengkapnya