Jowonews

Kunci Sukses Mendirikan Startup Berbasis Teknologi

JAKARTA, Jowonews- Kolaborasi dan kerja sama tim adalah salah satu yang terpenting dalam mengeksekusi ide bisnis dalam perusahaan rintisan (startup) berbasis teknologi. Hal tersebut disampaikan Direktur Pemberdayaan Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI Bonifasius Wahyu Pudjianto melalui ShopeePay Talk bertema “Muda Mudi Bangsa, Bangkit Bangun Bisnis”, Jumat (21/5). “Idealnya, setiap startup terdiri dari beberapa anggota yang memiliki tiga karakter penting atau yang biasa dikenal sebagai ‘The Startup Triangle Team‘, antara lain: Hustler (orang yang ahli menjual ide dan memperkenalkan perusahaannya), Hipster (orang yang mahir membuat tampilan aplikasi maupun website yang menarik dan user friendly), dan Hacker (orang yang memiliki keahlian untuk memaksimalkan penggunaan teknologi bagi perkembangan bisnis),” tandas Boni sebagaimana dilansir Antara. “Kombinasi tim yang tepat akan menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi para investor. Sebagai salah satu regulator di Indonesia yang fokus mengembangkan industri startup Tanah Air, setiap program yang diinisiasi oleh Kementerian Kominfo selalu berupaya mencetak talenta digital yang berkualitas dan bisa mengemban peranan hipster, hustler, dan hacker dengan baik untuk bersaing di industri,” imbuhnya. Menambahkan, CEO startup di bidang kuliner Hangry Abraham Viktor mengatakan membangun dan menjalin relasi baik dengan berbagai pemangku kepentingan dapat menjadi gerbang utama untuk membantu membuka berbagai kesempatan kolaborasi bisnis di waktu mendatang. “Memperluas relasi atau networking termasuk kunci utama agar bisnis dapat terus berkembang. Tidak hanya memperluas jangkauan bisnis, networking juga dapat menambah wawasan baru, membuka kesempatan kerja sama dan peluang bisnis baru, atau bahkan menciptakan inovasi yang belum pernah terpikirkan sebelumnya,” kata Abraham. Lebih lanjut, Co-Founder & CEO startup edutech Pahamify, Syarif Rousyan Fikri, menambahkan, kiat selanjutnya adalah lihai menangkap peluang di tengah industri yang dinamis. “Di tengah industri digital yang dinamis, pelaku bisnis dan startup harus bisa peka terhadap keadaan, adaptif pada perubahan, dan lihai melihat peluang dengan mindset problem solving yang kreatif. Salah satu cara untuk membuka peluang baru adalah melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak,” kata Syarif. Menurutnya, selain mendorong inovasi, kolaborasi juga mampu memberikan nilai tambah dan memperkaya layanan serta produk. “Pahamify berkomitmen untuk terus meningkatkan pengalaman pengguna melalui kolaborasi dengan berbagai mitra, salah satunya ShopeePay yang menyediakan solusi kemudahan pembayaran. Dengan begitu, Pahamify dapat senantiasa mendampingi pelajar melalui layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan menjawab masalah yang ada,” pungkasnya.

Menaklukkan Valley of Death

Oleh: Hari Tjahjono, Mentor bisnis dan teknologi Dalam dunia start up, ada istilah yang sangat terkenal dan ditakuti. Yaitu Valley of Death. Lembah kematian. Disebut lembah kematian karena begitu sulitnya melewati fase yang menakutkan ini. Ialah fase dimana cash flow perusahaan sudah sangat menipis, tetapi produk/service yang diluncurkan belum benar-benar menghasilkan revenue dari real customer. Sekali lagi, real customer. Banyak sekali start up yang gagal melewati fase ini, walaupun mereka memiliki ide bisnis yang sangat bagus. Mereka gagal mendapatkan customer pada saat yang genting. Karena mereka juga gagal mendapatkan investor, akhirnya mereka gulung tikar. Itulah mengapa success rate sebuah start up itu sangat kecil. Dunia inovasi di lembaga penelitian atau perguruan tinggi juga menghadapi tantangan yang sama. Setelah berhasil membuat prototipe, mereka mulai kesulitan membawa produknya ke pasar. Sebelum dibawa ke pasar, prototipe tersebut mesti diproduksi menjadi produk yang handal ketika dipakai pengguna. Artinya, prototipe yang sudah lulus uji fungsi, mesti diuji keandalannya. Apakah dengan beban penggunaan yang tinggi parameter output masih konsisten? Di titik ini pun banyak produk inovasi yang gagal. Produk skala laboratorium atau workshop itu gagal melewati uji keandalan karena para peneliti biasanya tidak familiar dengan teknologi produksi. Akibatnya, banyak sekali produk penelitian yang juga gagal melewati Valley of Death ketika melakukan hilirisasi produknya. Bagaimana dengan Vent-I, ventilator portable Indonesia? Lagi-lagi pandemi Covid-19 membuat perbedaan. Berkat pandemi, dorongan untuk berkolaborasi tiba-tiba meningkat drastis. Begitu mendengar sekelompok peneliti sedang mengembangkan Vent-I, banyak pihak dari berbagai latar belakang yang tergerak membantu. Rombongan dokter dari UNPAD spontan membantu dari sisi medis. Rombongan dosen dan mahasiswa dari ITB bergerak membantu dari sisi engineering. Rombongan alumni dengan latar belakang teknik produksi juga membagikan ilmunya. Begitu pula rombongan alumni dengan latar belakang bisnis. In short, dalam waktu sangat singkat pengalaman puluhan tahun dari berbagai bidang itu melebur menjadi satu, mendukung pengembangan Vent-I. Sehingga dalam waktu sangat singkat, Vent-I dapat diproduksi dan didistribusikan ke end user. Hilirisasi produk tiba-tiba mewujud dalam waktu sangat singkat. Sebuah pencapaian yang luar biasa. Apakah masalah telah selesai? Apakah Vent-I telah berhasil melewati Valley of Death? Tentu saja belum. Real revenue dari real customers belum didapatkan. Seribu produk yang didistribusikan ke end customer itu didanai oleh donatur, bukan oleh real customer. Beruntung ITB memiliki PT Rekacipta Inovasi ITB (RII). RII lah yang bertugas melakukan komersialisasi Vent-I, yang berjuang menaklukkan Valley of Death tersebut. Banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan untuk menghasilkan real revenue dari real customers. Yang pertama tentu saja masalah perizinan. Sebagai produk kesehatan, Vent-I membutuhkan banyak perizinan. Ada izin produksi, izin distribusi, dan izin edar. Sebuah proses yang ternyata tidak sederhana, walaupun sudah banyak relaksasi akibat pandemi. Masalah paten dengan segala kerumitannya pun ditangani RII. Dan sebelum mendapatkan partner produksi dan distribusi, product support dan customer service juga menjadi wilayah yang harus ditangani. Kebayang kan, kerumitan dan kerepotan yang dihadapi RII supaya bisa melewati Valley of Death. Karena tidak mungkin terus-terusan bekerja dengan mode pemadam kebakaran, RII pun mencari partner strategis supaya aman melewati Valley of Death. Belasan partner untuk produksi dan distribusi didekati satu per satu. Ratusan man-hour dihabiskan untuk menjajagi kerjasama untuk setiap calon partner tersebut. Masing-masing dengan kompleksitas masalahnya sendiri-sendiri. Secara total, sudah ribuan man-hour dihabiskan untuk mencari partner yang tepat. Setelah melewati proses yang sangat panjang dan melelahkan, akhirnya dipilih beberapa partner strategis terbaik. Tidak main-main, salah satunya adalah perusahaan multinasional yang sudah lama bergelut di industri alat-alat kesehatan, dengan jaringan luas tidak hanya di Indonesia tetapi juga dunia. Partner itu bernama PT PHC Indonesia yang dahulu kita kenal dengan Panasonic Health Care Indonesia. Apakah dengan demikian Valley of Death telah ditaklukkan? Memang belum, tapi saya bisa mengatakan Valley of Death itu sudah hampir ditaklukkan. Dengan diproduksi dan didistribusikan oleh jaringan PHC Indonesia dan Gobel Dharma Nusantara, kepercayaan end customer ke produk Vent-I Insya Allah akan meningkat pesat. Dan itu modal yang sangat bagus untuk mendapatkan real revenue dari real customer. Selain project Vent-I, saat ini RII juga melakukan hilirisasi produk Katalis Merah Putih, yang merupakan hasil riset Prof Bagjo dan tim. Pabriknya dibangun bermitra dengan Pupuk Kujang dan Pertamina. Produk-produk lain yang sedang dilakukan hilirisasi juga antara lain ventilator Airgency, Anti petir i-GSW, Heatrax (IoT pengukur suhu dan masker pengunjung, dengan self capture camera+display ), HFNC, Dental Aerosol Suction dan VTM (Viral Transport Media untuk swab test). Selamat untuk RII, semoga pengalamanmu berjuang menaklukkan Valley of Death untuk produk Vent-I menjadi modal sangat berharga untuk menaklukkan Valley of Death untuk produk-produk berikutnya. Semoga.

Menkominfo Sebut Tahun Ini Bakal Ada Unicorn dan Decacorn Baru

JAKARTA, Jowonews.com – Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengisyaratkan akan ada perusahaan rintisan yang menjadi unicorn tahun ini. “Ada beberapa, tapi, jangan saya sebutkan,” kata Johnny, ditemui usai acara Indonesia Millenial Summit 2020 di Jakarta, Sabtu. Tak hanya unicorn baru, menurut Johnny akan ada unicorn yang naik kelas jadi decacorn tahun ini. “Ada yang potensial naik jadi unicorn, ada juga unicorn yang naik jadi decacorn,” kata Johnny. Menteri Johnny belum mau memberikan informasi sektor mana yang akan menghasilkan unicorn tahun ini, namun menyebutkan unicorn baru itu berasal dari multiplatform. Indonesia saat ini memiliki empat perusahaan rintisan yang menembus tingkatan unicorn, yaitu memiliki valuasi di atas 1 miliar dolar Amerika Serikat, mereka adalah Bukalapak, Tokopedia, Traveloka dan yang terbaru platform pembayaran digital OVO. Gojek sudah berhasil menembus strata decacorn, satu tingkat di atas unicorn dengan valuasi minimal 10 miliar dolar AS. Sejak tahun lalu, diperkirakan unicorn baru akan datang dari sektor pendidikan atau kesehatan karena cukup banyak APBN yang digelontorkan terutama untuk sektor pendidikan. (jwn5/ant)