Jowonews

Wayang Potehi dan Perkembangannya di Bumi Nusantara

Wayang Potehi dan Perkembangannya di Bumi Nusantara

SEMARANG – Kesenian wayang di Jawa Tengah tidak hanya terbatas pada wayang kulit dan wayang orang. Di Kota Semarang, muncul sebuah pertunjukan yang unik bernama Wayang Potehi. Keseniannya dipopulerkan oleh para pendatang asal Tiongkok, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kekayaan budaya Semarang. Meskipun pada pandangan pertama mirip dengan Wayang Golek karena menggunakan boneka, namun Wayang Potehi memiliki ciri khas yang sangat identik dengan kebudayaan Tionghoa. Pernak-pernik, properti, hingga cerita yang disajikan semuanya mencerminkan warisan dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Mengenal Lebih Dekat Wayang Potehi Wayang Potehi adalah pertunjukan boneka yang mengisahkan kisah-kisah menarik yang berasal dari Tiongkok. Popularitasnya sempat merajai kota Semarang, dan melibatkan lima individu yang memerankan peran penting, termasuk pemain musik, dalang, dan asisten. Dalam pertunjukan ini, para pemain, terutama dalang, tidak hanya diharapkan menghafal cerita, tetapi juga menghidupkan dan menghayati setiap bagian dari cerita tersebut di atas panggung. Meskipun jumlah pemain musik mungkin terbatas, berbagai alat musik tradisional seperti gembreng, kecer, dan simbal tetap digunakan untuk menambah kemeriahan. Cerita dalam Wayang Potehi pada awalnya berasal dari Tiongkok, namun seiring berjalannya waktu, seni ini berkembang dengan mengambil inspirasi dari novel atau tokoh terkenal seperti Kera Sakti. Meskipun pertunjukan awalnya dilakukan dalam dialek Hokkian, seiring inklusivitas dan penerimaan oleh masyarakat umum, Wayang Potehi beralih ke bahasa Indonesia. Wayang Potehi tidak hanya dihadirkan untuk hiburan semata, tetapi juga memiliki makna sosial dan ritual bagi masyarakat Tionghoa. Meskipun sempat mengalami masa sulit di masa lalu akibat kebijakan pemerintah, saat ini semakin banyak individu yang peduli dan bersedia meneruskan tradisi seni ini. Perjalanan Panjang Wayang Potehi di Indonesia Wayang Potehi tidak hanya menjadi persembahan seni yang menghibur, tetapi juga mengusung sejarah panjang di kawasan Jombang dan Surabaya, Jawa Timur. Tradisi ini diperkenalkan oleh para perantau Tionghoa yang membawa warisan budaya dari Cina Selatan. Nama “Potehi” sendiri berasal dari bahasa Cina yang mengartikan boneka kantong dari kain. Pertunjukan ini melibatkan lima orang, termasuk dua dalang dan tiga pemain musik, menciptakan harmoni yang memukau dalam setiap pentasnya. Cerita dalam Wayang Potehi umumnya bersumber dari legenda dan kepahlawanan Tiongkok. Namun, saat dipentaskan di luar kelenteng, ceritanya lebih dikenal luas seperti Kera Sakti, Sam Pek Eng Tay, atau Pendekar Gunung Liang Siang. Pada dekade 1920-an, Wayang Potehi merambah ke Jombang dan berkembang pesat di Klenteng Hong San Kiong Gudo. Meskipun awalnya diperkenalkan oleh para pedagang Tionghoa, kini seni ini telah melebur menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ketika warga Tionghoa merayakan liburan besar, seperti Imlek, Klenteng Hong Tiek Hian di Surabaya menjadi tempat ramai yang tidak hanya untuk ibadah, tetapi juga menonton pertunjukan seru Wayang Potehi. Seni Wayang Potehi telah hadir di Indonesia sejak abad ke-17 dan memiliki sejarah yang kaya. Oleh karena itu, penting untuk senantiasa mengenang dan melestarikan keberadaan Wayang Potehi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kekayaan budaya Indonesia.

Kesenian Ebeg Banyumasan, Tradisi Dukungan Perjuangan Pangeran Diponegoro

Kesenian Ebeg Banyumasan, Tradisi  Dukungan Perjuangan Pangeran Diponegoro

Kesenian Ebeg Banyumasan berkembang pesat di wilayah Jawa Tengah, terutama di Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen. Seni tari tradisional ini mengisahkan tentang latihan perang seorang ksatria bernama Pangeran Diponegoro. Ebeg telah ada sejak masa perang Diponegoro (de java oorlog, 1925-1930) dan ditarikan oleh penari yang diiringi oleh gamelan. Tarian ini sebenarnya melambangkan dukungan masyarakat kepada Pangeran Diponegoro yang melawan penjajahan Belanda. Tarian Ebeg biasanya ditarikan oleh sekelompok penari yang mengenakan kostum kuda dan hiasan kepala menyerupai kepala kuda. Para penari menampilkan gerakan yang menggambarkan pergerakan kuda, seperti melompat, berlari, dan berputar. Irama musik dalam pertunjukan Ebeg dimainkan menggunakan alat musik tradisional, seperti kendang, gong, kenong, dan saron. Seni pertunjukan Ebeg memiliki perpaduan antara gerakan tari yang lincah dan menarik dengan irama musik yang memukau. Pertunjukan Ebeg biasanya dilakukan dalam berbagai acara, seperti perayaan hari raya keagamaan, festival budaya, dan acara pernikahan. Simbolisme Tarian Ebeg Selain dipertunjukkan sebagai hiburan dalam acara seni dan pertunjukan lokal. Kesenian Ebeg Banyumasan memiliki makna dan simbolisme yang unik dalam budaya Banyumas. Gerakan yang menirukan pergerakan kuda melambangkan keberanian, kekuatan, dan semangat juang. Ebeg juga dianggap sebagai simbolisasi upaya manusia untuk menaklukkan binatang yang kuat dan memanfaatkannya sebagai mitra dalam aktivitas pertanian dan transportasi. Pertunjukan ebeg biasanya menampilkan atraksi barongan, penthul, dan cepet (makhluk imajiner). Kesenian ini pada dasarnya mengajarkan pesan moral yang positif, yaitu tentang pentingnya manusia untuk selalu melakukan kebaikan dan selalu mengingat Sang Pencipta. Tarian ini biasanya dipentaskan di tempat terbuka dan lapang. Peralatan yang digunakan dalam kesenian ini meliputi Gendhing pengiring, seperti kendang, saron, kenong, gong, dan terompet. Selain itu, instrumen yang digunakan oleh penari meliputi kostum dan kuda yang terbuat dari bambu (ebeg). Sesaji (uba rampe) yang disediakan untuk pertunjukan ini meliputi bunga-bungaan, pisang, kelapa muda (degan), jajanan pasar, dan lain-lain. Lagu yang dimainkan untuk mengiringi kesenian ebeg ini merupakan lagu-lagu khas Banyumasan (berlogat ngapak) seperti ricik-ricik, Tole-Tole, Waru Doyong, sekar gadung gudril, blendrong, lung gadung, cebonan, dan lain-lain. Susunan Penari Ebeg Penari ebeg terdiri dari 1 orang sebagai penthul-tembem (pemimpin atau dalang) dan 7 orang sebagai pemain gamelan (niyaga) yang tersusun dalam formasi. Penthul-tembem (pemimpin) memakai topeng sebagai tanda khusus. Selain penari, seni ini juga melibatkan Penimbun atau orang yang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan mengusir roh ghaib dari tubuh para penari. Panimbun bertugas untuk menyembuhkan pemain yang mengalami trance pada fragmen terakhir. Penimbun/ penimbul merupakan tokoh masyarakat setempat yang ahli dalam menyembuhkan gangguan oleh roh-roh halus. Para penari mengalami trance sebagai akibat dari pembakaran kemenyan yang menjadi syarat penting dalam pementasan untuk persembahan kepada para arwah maupun penguasa makhluk halus di sekitar. Terdiri Dari Empat Fragmen Dalam pementasannya, tari ebeg terdiri dari empat bagian (seksi), yakni seksi buto lawas yang ditarikan dua kali, seksi senterewe, dan seksi begon putri. Tidak diperlukan teknik koreografi yang rumit dalam menari ebeg, namun penarinya harus dapat bergerak serentak dan padu sesuai irama musik gamelan. Banyak masyarakat yang menghubungkan seni ini dengan unsur magis, karena pada salah satu seksi tertentu, penari mengalami trance dan kehilangan kendali diri. Ketika para penari mulai terkena pengaruh trance, mereka secara tidak sadar makan pecahan kaca, bara api, dan benda berbahaya lainnya, mengonsumsi daun yang belum matang, dedhek/kathul (pakan ternak), kemudian mengupas serabut kelapa dengan gigi, dan berperilaku seperti monyet, ular, dan binatang lainnya. Ini melambangkan kekuatan Satria. Simbol lain dari ksatria juga ditunjukkan dengan menunggang kuda kepang yang melambangkan keberanian prajurit berkuda. Modifikasi Pertunjukan Ebeg Bersamaan dengan kemajuan zaman, ebeg terus berkembang dan mengalami penyesuaian. Ada beberapa kelompok ebeg yang bahkan mencampurkan unsur-unsur modern seperti musik kontemporer atau tarian koreografi untuk memberikan nuansa baru pada pertunjukan mereka. Meskipun berubah, ebeg tetap memperjuangkan nilai-nilai tradisional dan identitas budayanya. Ebeg menjadi salah satu warisan budaya yang sangat berharga dari Banyumas dan telah diakui sebagai warisan budaya tak benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pertunjukan ebeg tidak hanya menawarkan hiburan yang menarik, tetapi juga menyimpan nilai-nilai budaya dan sejarah yang penting bagi masyarakat Banyumas.

Sejarah Gambang Semarang, Kesenian Tradisional Perpaduan Budaya Jawa Tionghoa

Sejarah Gambang Semarang, Kesenian Tradisional Perpaduan Budaya Jawa Tionghoa

Gambang Semarang merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dan berkembang di Semarang, meliputi unsur musik, lagu, tari dan komedi. Berikut penjelasan lengkap tentang Gambang Semarang dan sejarahnya. Dua Pendapat Tentang Gambang Semarang Dikutip dari Jurnal Gambang Semarang: Sebuah Identitas Budaya Semarang yang Termarginalkan (Jurnal Imajinasi Vol X No 2, 2016) karya Sri Sadtiti, ada dua pendapat tentang asal muasal Gambang Semarang. Pendapat Pertama: Dari Gambang Kromong Jakarta Dalam jurnal yang ditulis oleh seorang guru di SMAN 14 Semarang, pendapat pertama dan paling benar adalah bahwa Gambang Kromong berasal dari kesenian Gambang Kromong dari Jakarta. Dulu, karena penduduk Semarang merupakan campuran penduduk asli Jawa, Cina, dan Arab, sulit untuk menciptakan karya seni yang unik di Semarang. Sebab, setiap bangsa membawa peradabannya masing-masing. Maka seorang Tionghoa bernama Lie Ho Sun pada awal tahun 1930-an berinisiatif untuk mengembangkan Gambang Kromong (Jakarta) di Semarang. Inisiatif ini kemudian menjadi kenyataan dengan persetujuan walikota Semarang saat itu. Sepulang dari Jakarta, Lie Ho Sun membawa seperangkat gamelan Gambang Kromong dan rombongan seniman. Singkatnya, komunitas seni Gambang Kromong terbentuk di Semarang. Konon masyarakat Semarang saat itu sangat antusias dengan kesenian ini, karena didukung oleh penduduk asli dan Tionghoa. Pada akhir tahun 1930-an, seorang pria Tionghoa bernama Oe Yok Siang menciptakan sebuah lagu berjudul Ampat Penari. Lagu filosofis tentang Gambang Semarang. Sejak saat itu, istilah Gambang Semarang dikenal dengan kesenian “gado-gado” ini. “Pendapat inilah yang diyakini kebenarannya karena terdapat rentang waktu yang tidak terlalu jauh diantara keduanya,” tulis Sri Sadtiti dalam jurnalnya (2016: 144). Hingga saat ini, lagu Ampat Penari masih menjadi ciri khas Stasiun Tawang dalam setiap pemberangkatan atau kedatangan kereta api. Dikutip dari website Dinas Pengembangan Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, berikut petikan lirik Penari Ampat: Empat penari, kian kemariJalan berlenggang, aduh …Sungguh jenaka menurut suaraIrama Gambang. Pendapat Kedua: Gambang Kromong Jakarta dari Semarang Pendapat kedua datang dari seniman asal Jakarta, Gambang Kromong, yang mengatakan bahwa Gambang Kromong sebenarnya dari Gambang Kromong di Semarang. Dalam Jurnal Imajinasi terbitan Universitas Negeri Semarang, disebutkan bahwa pendapat kedua ini diperkuat dengan adanya seniman-seniman kuno yang akrab dengan irama Gambang Semarang. Meski berbeda pendapat, Gambang Kromong dan Gambang Semarang merupakan kearifan lokal yang harus dilestarikan. Gambang Semarang Kini Dalam perjalanannya menjadi kesenian khas Semarang, Gambang Semarang memiliki kisa perjalanannya tersendiri. Sejak pertama kali dikenal, pementasan Gambang Semarang tidak pernah sepi. Hingga tahun 1970-an, setiap acara di Semarang selalu menyuguhkan Gambang Semarang sebagai salah satu pengisi acaranya. Namun, pada awal 1980-an, minat masyarakat terhadap seni tradisional ini mulai berkurang. Pementasan Gambang Semarang hanya dilakukan secara insendental saja. Dikutip dari laman budaya.pdkjateng.go.id, Gambang Semarang diresmikan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) pada tahun 2018 berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Saat ini Gambang Semarang sering dimainkan di berbagai acara seperti perayaan tahun baru cina, pernikahan, potong rambut, festival, dugderan (tradisi merayakan bulan Ramadhan), penyambutan turis asing di luar, dll. Perpaduan Budaya Jawa-Tionghoa Menurut laman budaya.pdkjateng.go.id, lagu Gambang Semarang diciptakan oleh Lie Hoo Soen pada tahun 1898-1986, seorang anggota volksraad yang suka bermain keroncong dan merupakan anggota kesenian organisasi “Krido Handoyo”. Alat musik yang digunakan oleh Gambang Semarang antara lain bonang, gambang, gong suwuk, kempul, pekin, saron, kendang dan ketipung. Terompet serta bunyi krenceng adalah campuran bahasa Jawa dan Cina musik Kesenian bernuansa Jawa-Cina ini juga terdapat pada kostum para penyanyi dan penari khususnya kebaya bordir dan sarung pantai. Tiga Jenis Gerak Baku Dalam bidang tari, Gambang Semarang memiliki tiga jenis gerak baku, yaitu ngodhek, ngyek dan genjot. Ketiganya adalah gerakan yang berfokus pada pinggul. Ketiga jenis gerakan tersebut disertai dengan gerakan tangan (lambeyan) yang berasal dari pergelangan tangan, sarana gerakannya dibatasi dari pusar sampai mata. Menurut laman budaya.pdkjateng.go.id, tari Gambang Semarang menggambarkan ekspresi kegembiraan empat penari pada suatu malam saat mereka berkumpul, bernyanyi dan menari bersama. Gerak tari pesisir Jawa yang lugas, dinamis dan cair, membuat tari Gambang Semarang indah dan enak dipandang mata. Dalam setiap pertunjukan terdapat urutan pertunjukan yang diawali dengan lagu pembuka instrumental.