Kesenian Ebeg Banyumasan berkembang pesat di wilayah Jawa Tengah, terutama di Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen. Seni tari tradisional ini mengisahkan tentang latihan perang seorang ksatria bernama Pangeran Diponegoro. Ebeg telah ada sejak masa perang Diponegoro (de java oorlog, 1925-1930) dan ditarikan oleh penari yang diiringi oleh gamelan. Tarian ini sebenarnya melambangkan dukungan masyarakat kepada Pangeran Diponegoro yang melawan penjajahan Belanda. Tarian Ebeg biasanya ditarikan oleh sekelompok penari yang mengenakan kostum kuda dan hiasan kepala menyerupai kepala kuda. Para penari menampilkan gerakan yang menggambarkan pergerakan kuda, seperti melompat, berlari, dan berputar. Irama musik dalam pertunjukan Ebeg dimainkan menggunakan alat musik tradisional, seperti kendang, gong, kenong, dan saron. Seni pertunjukan Ebeg memiliki perpaduan antara gerakan tari yang lincah dan menarik dengan irama musik yang memukau. Pertunjukan Ebeg biasanya dilakukan dalam berbagai acara, seperti perayaan hari raya keagamaan, festival budaya, dan acara pernikahan. Simbolisme Tarian Ebeg Selain dipertunjukkan sebagai hiburan dalam acara seni dan pertunjukan lokal. Kesenian Ebeg Banyumasan memiliki makna dan simbolisme yang unik dalam budaya Banyumas. Gerakan yang menirukan pergerakan kuda melambangkan keberanian, kekuatan, dan semangat juang. Ebeg juga dianggap sebagai simbolisasi upaya manusia untuk menaklukkan binatang yang kuat dan memanfaatkannya sebagai mitra dalam aktivitas pertanian dan transportasi. Pertunjukan ebeg biasanya menampilkan atraksi barongan, penthul, dan cepet (makhluk imajiner). Kesenian ini pada dasarnya mengajarkan pesan moral yang positif, yaitu tentang pentingnya manusia untuk selalu melakukan kebaikan dan selalu mengingat Sang Pencipta. Tarian ini biasanya dipentaskan di tempat terbuka dan lapang. Peralatan yang digunakan dalam kesenian ini meliputi Gendhing pengiring, seperti kendang, saron, kenong, gong, dan terompet. Selain itu, instrumen yang digunakan oleh penari meliputi kostum dan kuda yang terbuat dari bambu (ebeg). Sesaji (uba rampe) yang disediakan untuk pertunjukan ini meliputi bunga-bungaan, pisang, kelapa muda (degan), jajanan pasar, dan lain-lain. Lagu yang dimainkan untuk mengiringi kesenian ebeg ini merupakan lagu-lagu khas Banyumasan (berlogat ngapak) seperti ricik-ricik, Tole-Tole, Waru Doyong, sekar gadung gudril, blendrong, lung gadung, cebonan, dan lain-lain. Susunan Penari Ebeg Penari ebeg terdiri dari 1 orang sebagai penthul-tembem (pemimpin atau dalang) dan 7 orang sebagai pemain gamelan (niyaga) yang tersusun dalam formasi. Penthul-tembem (pemimpin) memakai topeng sebagai tanda khusus. Selain penari, seni ini juga melibatkan Penimbun atau orang yang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan mengusir roh ghaib dari tubuh para penari. Panimbun bertugas untuk menyembuhkan pemain yang mengalami trance pada fragmen terakhir. Penimbun/ penimbul merupakan tokoh masyarakat setempat yang ahli dalam menyembuhkan gangguan oleh roh-roh halus. Para penari mengalami trance sebagai akibat dari pembakaran kemenyan yang menjadi syarat penting dalam pementasan untuk persembahan kepada para arwah maupun penguasa makhluk halus di sekitar. Terdiri Dari Empat Fragmen Dalam pementasannya, tari ebeg terdiri dari empat bagian (seksi), yakni seksi buto lawas yang ditarikan dua kali, seksi senterewe, dan seksi begon putri. Tidak diperlukan teknik koreografi yang rumit dalam menari ebeg, namun penarinya harus dapat bergerak serentak dan padu sesuai irama musik gamelan. Banyak masyarakat yang menghubungkan seni ini dengan unsur magis, karena pada salah satu seksi tertentu, penari mengalami trance dan kehilangan kendali diri. Ketika para penari mulai terkena pengaruh trance, mereka secara tidak sadar makan pecahan kaca, bara api, dan benda berbahaya lainnya, mengonsumsi daun yang belum matang, dedhek/kathul (pakan ternak), kemudian mengupas serabut kelapa dengan gigi, dan berperilaku seperti monyet, ular, dan binatang lainnya. Ini melambangkan kekuatan Satria. Simbol lain dari ksatria juga ditunjukkan dengan menunggang kuda kepang yang melambangkan keberanian prajurit berkuda. Modifikasi Pertunjukan Ebeg Bersamaan dengan kemajuan zaman, ebeg terus berkembang dan mengalami penyesuaian. Ada beberapa kelompok ebeg yang bahkan mencampurkan unsur-unsur modern seperti musik kontemporer atau tarian koreografi untuk memberikan nuansa baru pada pertunjukan mereka. Meskipun berubah, ebeg tetap memperjuangkan nilai-nilai tradisional dan identitas budayanya. Ebeg menjadi salah satu warisan budaya yang sangat berharga dari Banyumas dan telah diakui sebagai warisan budaya tak benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pertunjukan ebeg tidak hanya menawarkan hiburan yang menarik, tetapi juga menyimpan nilai-nilai budaya dan sejarah yang penting bagi masyarakat Banyumas.