Jowonews

Kemenkes Ingatkan Tidak Perjualbelikan Obat Anti Tuberkulosis karena Gratis

JAKARTA, Jowonews.com – Kementerian Kesehatan memperingatkan rumah sakit untuk tidak memperjualbelikan obat anti tuberkulosis (OAT) yang termasuk dalam program pemerintah untuk eliminasi TB di Indonesia karena sudah disediakan gratis bagi para penderita TB. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Wiendra Waworuntu saat dihubungi di Jakarta, Kamis, menyatakan Kementerian Kesehatan akan memberikan peringatan keras kepada rumah sakit yang terbukti menjual OAT kepada pasien TB. “Saya sangat prihatin jika ini banyak terjadi di masyarakat ternyata masalah obat yang harus bayar,” kata Wiendra. Dia menegaskan bahwa pemerintah sedang fokus dalam program eliminasi TB pada 2030 sehingga mengupayakan berbagai hal untuk mencapai target tersebut, termasuk dengan menyediakan obat TB secara gratis. Sebelumnya salah seorang jurnalis Antara yang juga pasien TB kelenjar, Aditya, harus membayar OAT sebesar Rp1.758.480 untuk 120 tablet atau dosis selama satu bulan pada salah satu rumah sakit di Depok. Dia diharuskan membayar untuk OAT tersebut dikarenakan mendaftar sebagai pasien umum dengan pembayaran secara pribadi. Padahal sebelumnya Aditya pernah mendaftar sebagai pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan mendapatkan obat yang sama secara gratis. Wiendra menjelaskan Kementerian Kesehatan telah memasok OAT ke Puskesmas dan rumah sakit di seluruh Indonesia dalam rangka percepatan program eliminasi TB di Tanah Air. Obat tersebut disediakan oleh pemerintah dan tidak boleh diperjualbelikan. Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kementerian Kesehatan Saidah mengatakan Kementerian Kesehatan telah memasok OAT secara cuma-cuma kepada RSUD dan RS swasta yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan di seluruh Indonesia. Saidah menegaskan bahwa RSUD maupun RS swasta tidak diperkenankan untuk memperjualbelikan OAT kepada pasien TB karena obat tersebut telah disediakan gratis dari pemerintah. Aditya juga pernah membeli obat yang memiliki komposisi sama dengan OAT yang disediakan pemerintah secara pribadi di apotek. Dia membelinya berbekal resep dokter hasil konsultasi secara daring melalui aplikasi telemedicine Halodoc. Namun obat tersebut dikemas secara berbeda dengan dosis yang berbeda pula. Karena perbedaan jenis dan dosis obat tersebut, Aditya mengurungkan niat untuk mengonsumsi obat itu karena khawatir akan berpengaruh pada terapi pengobatan yang telah dijalankan. Uniknya, harga obat yang dibelinya di apotek untuk dosis selama 10 hari hanya mencapai Rp35 ribu atau sekitar Rp105 ribu untuk dosis selama 30 hari. Harga tersebut jauh lebih rendah dibandingkan yang dijual oleh salah satu rumah sakit di Depok dengan harga Rp1.758.480 untuk 30 hari. (jwn5/ant)

Cegah Tuberkulosis, Jateng Sasar Ribuan Pondok Pesantren

SEMARANG, Jowonews.com – Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit tuberkulosis (TBC) yang dilakukan Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) yang berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyasar ribuan pondok pesantren (ponpes) yang tersebar di 35 kabupaten/kota se-Jateng. “Kami akan menyusun program salah satunya melakukan literasi melek tuberkulosis di ribuan ponpes yang tersebar di Jateng,” kata Ketua PPTI Jawa Tengah dr Hartanto usai bertemu dengan Wakil Gubernur Jateng Taj Yasin Maimoen di Semarang, Senin. Ia menyebutkan ribuan ponpes di Jateng dengan jumlah santri yang mencapai puluhan ribu itu menjadi salah satu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program PPTI pada 2020. Melalui program kesehatan itu, kata dia, para santri diharapkan dapat memahami apa itu penyakit tuberkulosis, cara penularannya, gejala-gejalanya apa saja, serta cara pencegahan dan pengobatannya. Menurut dia, tidak sedikit ponpes yang menempatkan santrinya tidur bersama di satu ruangan sehingga jika ada salah satu santri yang menderita penyakit Tuberkulosis, maka dikhawatirkan penularnnya akan lebih mudah dan cepat. Dijelaskannya, penyakit TBC disebabkan oleh bakteri “mycobacterium tuberculosis “yang biasanya menyerang paru-paru, namun tidak jarang pula bakteri dapat mempengaruhi bagian tubuh lainnya. “Tuberkulosis sangat tergantung atau dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Kita mendukung program Pemprov Jateng yang sedang gencar memberantas penyakit ini, kemudian kami masuk pada masyarakat yang risikonya tinggi terhadap penularan tuberkulosis, antara lain di ponpes,” katanya. Ia mengatakan bahwa tuberkulosis sudah ada obatnya sehingga penderitanya tidak perlu khawatir tidak bisa sembuh. “Jika selama enam bulan diobati dan patuh minum obat maka pasien akan sembuh dari Tuberkulosis, obatnya sendiri dapat diperoleh secara gratis di puskesmas,” kata Hartanto. Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen menyatakan mendukung program literasi melek tuberkulosis di ponpes-ponpes yang dilakukan PPTI Jateng. Terlebih tidak sedikit ponpes di Jateng mempunyai kebiasaan melakukan berbagai aktivitas bersama-sama di lingkungan pondok. “Kami mengapresiasi program-program PPTI Jateng, kami juga sangat mendukung program melek Tuberkulosis di lingkungan ponpes, apalagi kasus Tuberkulosis di Jateng cukup tinggi,” ujarnya. Selain ponpes, penyuluhan tentang tuberkulosis juga perlu dilakukan di panti-panti lansia dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang rentan tertular penyakit ini, demikian Wagub Jateng yang akrab disapa Gus Yasin itu. (jwn5/ant)