Jowonews

Didukung, Revisi Pasal Karet UU ITE

SEMARANG, Jowonews- Revisi pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), didukung berbagai kalangan. “Pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah cukup untuk urusan pencemaran nama baik,” kata Dr. Pratama Persadha yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC, Rabu (17/2). Sebelumnya, UU ITE ini pernah direvisi pada tahun 2016. Pada saat itu, kata Pratama, Menteri Komunikasi dan Informatika pada Kabinet Kerja (2014—2019) Rudiantara didesak untuk ubah ancaman pidana dari 6 tahun menjadi di bawah 5 tahun. Revisi undang-undang tersebut, menurut dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini, terkait dengan adanya aturan kehilangan hak politik bagi seseorang yang mendapatkan pidana di atas 5 tahun. Belakangan ini, lanjut dia, UU ITE makin mendapat sorotan masyarakat karena adanya saling lapor dari beberapa individu dan kelompok masyarakat menggunakan undang-undang ini, terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28. Beberapa parpol mendesak agar pasal karet dalam UU ITE dihapus. Bahkan, Presiden Jokowi sudah bersuara agar DPR segera merevisi pasal karet tersebut. “UU ITE ini memang sudah banyak dikeluhkan, terutama akhir-akhir ini digunakan untuk pelaporan banyak pihak,” kata Pratama sebagaimana dilansir Antara. Hal itu, kata Pratama, membuat kepolisian mendapatkan tekanan dari masyarakat. Masalahnya, masing-masing pihak ingin laporannya segera ditindaklanjuti. Pratama mencontohkan sejumlah kasus hoaks, penyebar informasi bohong saja yang ditangkap, padahal mereka ini juga korban karena terhasut dan tidak tahu konten yang di-posting adalah hoaks. Oleh karena itu, dia memandang perlu merevisi UU ITE agar kelak mampu mendorong aparat untuk mengusut dan menangkap aktor intelektual. Di dalam sebuah konten hoaks, lanjut dia, memang ada tersangka yang menyebarkan informasi bohong itu. Namun, ini sebenarnya mudah saja dibuktikan bahwa mereka ini bertindak sebagai korban, bukan bagian dari tim produksi dan penyebar. “Apalagi, edukasi antihoaks di tengah masyarakat ini hampir tidak ada. Jadi, masyarakat ini kesannya diancam tetapi tidak diberikan bekal,” katanya. Namun, bukan berarti Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28, misalnya dihapus atau direvisi, lalu hoaks bisa bebas tanpa hukuman. Menurut dia, ada pasal lain tentang pencemaran nama baik dan penghasutan di dalam KUHP yang bisa digunakan. Meski tindakannya sama, bedanya pelanggaran pasal UU ITE tersebut dilakukan di wilayah siber.

Bareskrim Polri Tangkap Para Petinggi KAMI

JAKARTA, Jowonews- Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap beberapa petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Diantaranya anggota Komite Eksekutif KAMI Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat. “Benar (Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat ditangkap),” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigjen Pol. Awi Setiyono, sebagaimana dilansir Antara, Selasa (13/10). Tidak hanya Syahganda dan Jumhur, petinggi KAMI lainnya, yakni Deklarator KAMI Anton Permana dan seorang penulis sekaligus eks caleg Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kingkin Anida juga ditangkap. “Untuk Anton kemarin ditangkap. Kalau Jumhur dan Syahganda pagi tadi,” kata Awi. Menurut Awi, penangkapan terkait dengan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diduga dilakukan oleh para petinggi KAMI tersebut. “Iya, terkait dengan demo pada tanggal 8 Oktober. Memberikan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan SARA dan penghasutan,” katanya. Namun, Awi belum menjelaskan status hukum keempat orang tersebut apakah masih berstatus saksi atau telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara itu di Medan, Sumatera Utara, polisi juga menangkap Ketua KAMI Sumatera Utara Khairi Amri dan beberapa aktivis, yakni Juliana, Devi, dan Wahyu Rasari Putri.