Awal Mula Angkringan atau Warung ‘HIK’, Hidangan Khas Klaten
Angkringan populer juga disebut sebagai HIK (hidangan khas desa). Namun, sebagian orang juga menyebutnya dengan Hidangan Khas Klaten. Mengapa Klaten seringkali disebut-sebut atau dikaitkan dengan kuliner angkringan ini? Popularitas Angkringan tidak hanya di Yogyakarta, Klaten atau Solo dan daerah lain di Jawa Tengah, tetapi juga menyebar ke kota-kota besar lainnya. Salah satu yang khas dari angkringan ini adalah nasi kucing atau nasi bungkus dengan porsi yang sangat kecil. Selain itu, biasanya pada gerobak angkringan juga terdapat panci atau tangki yang terus-menerus mendidih. Biasanya, angkringan menggunakan arang untuk merebus air. Selain untuk merebus air, fungsi lainnya adalah untuk bakaran, baik sate, atau bacem yang dibakar. Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, Angkringan bukan berasal dari Yogyakarta melainkan dari Klaten. Awal mulanya dimulai pada tahun 1930-an. Dikisahkan seorang warga Desa Ngerangan, Kabupaten Klaten bernama Karso Dikromo, yang kemudian akrab disapa Eyang Karso. Eyang Karso, yang juga akrab dipanggil Jukut, memutuskan pergi ke wilayah Solo untuk mencari nafkah. Eyang Karso menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal. Sebelumnya Eyang Karso sempat menggeluti berbagai macam profesi. Singkat cerita, Mbah Karso bertemu dengan Mbah Wiryo, hingga keduanya akhirnya mendirikan usaha makanan yang menjadi cikal bakal Angkringan saat ini. Pada awalnya, mereka berjualan terikan, yakni makanan khas Jawa Tengah yang terbuat dari bahan dasar aneka protein dan dimasak dengan kuah kental. Mereka biasa menjual makanan ini pada malam hari, karena pada waktu itu tak banyak yang menjajakan makanan pada malam hari. Seiring berjalannya waktu, Eyang Karso dan Mbah Wiryo perlahan terus menambahkan berbagai jenis olahan dan variasi menu makanan dan minuman yang disajikan. Hingga akhirnya tercetus ide untuk menjual minuman seperti wedang jahe, teh manis panas, kopi panas dan berbagai minuman sehat tradisional lainnya yang bisa dikonsumsi untuk menghangatkan tubuh di malam hari. Selain itu, mereka juga menambahkan menu camilan atau jajanan seperti pisang raja bakar, kentang goreng ubi jalar, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka tak heran jika angkringan juga disebut dengan HIK. Namun ada juga yang menyebut Hidangan Istimewa Klaten, karena menyebut asal daerahnya. Perlahan Usaha Eyang Karso dan Mbah Wiryo mulai membuahkan hasil. Banyak orang kemudian mengikuti langkah mereka menjadi penjual angkringan. Seiring berjalannya waktu angkringan tersebut tak lagi dipikul, melainkan menggunakan gerobak dorong. Perubahan ini terjadi pada kurun tahun 1970-an. Konon ada salah seorang pedagang ketumpahan air panas dari gerobak pikulnya. Ia terjatuh karena tersandung di jalanan. Mulai saat itu, gerobak dorong mulai digunakan sebagai alternatif untuk keselamatan pedagang. Hal ini agar kejadian serupa tak terulang lagi. Namun setelah dijalani, ternyata menggunakan gerobak dorong memiliki lebih banyak keuntungan. Diantaranya dagangan yang dimuat jadi lebih banyak, dan orang-orang yang bersantap jadi lebih leluasa Angkringan kini telah menjadi tempat makan yang fenomenal. Adapun alasan mengapa angkringan lebih identik dan populer di Yogyakarta, hal itu karena banyak pedagang yang kemudian memilih menjajakan angkringannya di sana, karena Yogyakarta telah menjadi magnet bagi wisatawan maupun pelajar. Jualan di Yogyakarta dinilai lebih menguntungkan dibanding jualan di lokasi lainnya. Terlebih konsep angkringan yang menyediakan menu makanan cukup lengkap dengan harga bersahabat, menjadikan tempat ini menjadi pilihan masyarakat Yogyakarta. Selain makan, mereka biasanya bercengkerama sembari menghabiskan waktu di malam hari. Kini Angkringan tak hanya bergaya tradisional tetapi telah menjelma menjadi sebuah kafe. Tak heran jika konsep angkringan ala modern bisa ditemukan di kota-kota besar. .