Jowonews

Pantai Tirang, Surga Tersembunyi Semarang yang Memikat

Pantai Tirang, Surga Tersembunyi Semarang yang Memikat

SEMARANG – Sektor pariwisata terus menjadi fokus utama dalam pengembangan Kota Semarang, dan salah satu destinasi unggulan yang menarik perhatian banyak wisatawan adalah Pantai Tirang, sebuah surga tersembunyi yang terletak di kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu. Pantai Tirang mempesona dengan luasnya, mencapai sekitar 240,70 hektar. Pengunjung dapat menikmati beragam aktivitas di sini, mulai dari bermain pasir hingga menikmati keindahan senja yang menawan. Meskipun tidak memiliki pasir putih, pasir di Pantai Tirang sangat halus, memungkinkan pengunjung untuk bermain dengan nyaman. Tak hanya itu, keindahan sunset dan panorama sunrise yang memukau bisa dinikmati dengan harga tiket masuk yang terjangkau, hanya Rp 10.000,00. “Bersih, enak, seger melihatnya, buat nyantai-nyantai oke, buat ngobrol-ngobrol sambil menikmati pemandangan pantai juga asyik,” ujar Yanti, salah seorang pengunjung. Selain keindahan pantainya, Pantai Tirang juga memiliki tambak ikan dan hutan bakau yang menambah pesonanya. Tambak ini dimiliki oleh warga sekitar, sementara pemerintah menanam hutan bakau untuk mengurangi abrasi. Pantai ini juga menjadi surga bagi para penggemar memancing dengan berbagai spesies ikan laut yang bisa ditemui di sini. Namun, untuk menjaga ekosistem, udang dan lobster tidak diperbolehkan dibawa pulang. Dio Hermansyah, ketua Pokdarwis Tambakharjo, menegaskan bahwa keselamatan pengunjung menjadi prioritas. “Kami bekerja sama dengan pihak terkait untuk memastikan keamanan pengunjung,” ungkapnya. Di samping itu, Pantai Tirang juga menawarkan berbagai lokasi yang cocok untuk pengambilan foto, dilengkapi dengan gazebo-gazebo warna-warni yang menarik untuk beristirahat sambil menikmati pemandangan laut. Meskipun memiliki akses yang terbatas hanya untuk mobil dan sepeda motor, pihak pengelola berharap akan adanya peningkatan aksesibilitas menuju pantai ini untuk memudahkan akses bagi wisatawan. “Dalam pengelolaan Pantai Tirang, kami juga melibatkan warga sekitar untuk turut memajukan kawasan tersebut,” tambah Dio. Dengan rencana pengembangan fasilitas seperti banana boat dan jetski, serta peluang bagi UMKM untuk berjualan, Pantai Tirang semakin menjanjikan sebagai destinasi wisata yang menarik di Kota Semarang.

Awal Mula Sebutah Little Netherland Kota Lama Semarang

Awal Mula Sebutah Little Netherland Kota Lama Semarang

SEMARANG – Sebuah perjalanan ke Semarang tak lengkap tanpa merasakan pesonanya di Kota Lama Semarang. Terletak di pusat kota, kawasan ini bukan hanya destinasi wisata biasa, melainkan suatu cagar budaya yang menjadi favorit bagi para pelancong, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Tak hanya menawarkan beragam tempat wisata menarik, Kota Lama Semarang memiliki daya tarik khusus yang membuatnya unik. Salah satunya terletak pada sebutan populer yang melekat padanya, yaitu ‘Little Netherland.’ Asal Sebutan Little Netherland Kota Lama Semarang Ternyata, sebutan ‘Little Netherland’ untuk Kota Lama Semarang tidak diberikan begitu saja. Menurut laman resmi Badan Otorita Borobudur, kawasan Kota Lama Semarang memamerkan bangunan-bangunan yang memikat dengan gaya arsitektur klasik zaman dulu. Di sini, kita dapat menemukan sejumlah bangunan yang mencirikan arsitektur Eropa pada abad ke-18. Bangunan-bangunan tersebut menjadi saksi bisu akan jejak sejarah masa kolonial Belanda yang menghiasi kawasan ini. Selain itu, kanal-kanal air yang dibangun oleh pemerintah kolonial juga menyusuri kawasan ini, menambah daya tarik Kota Lama Semarang. Dengan lanskap yang menghadirkan nuansa kuno, sebutan ‘Little Netherland’ juga terinspirasi dari bentuk geografisnya. Dilansir melalui laman resmi Wonderful Indonesia, Kota Lama Semarang menampilkan karakteristik seperti kota yang terpisah dari sekitarnya. Hal ini memberikan kesan bahwa kawasan ini seakan menjadi sebuah kota kecil tersendiri, membenarkan julukan ‘Little Netherland’ yang melekat padanya. Gedung Oudetrap dan Hubungannya Dengan Jalur Rempah Indonesia Pada era kolonial Belanda, Kota Lama Semarang menjadi pusat aktivitas jual-beli dan sekaligus bagian dari sistem pertahanan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Salah satu landmark yang tak terlewatkan di Kota Lama Semarang adalah Gedung Oudetrap. Meskipun kini difungsikan sebagai gedung teater dan tempat berbagai pertunjukan, Gedung Oudetrap memiliki sejarah yang erat dengan jalur rempah di Indonesia, seperti yang terungkap melalui laman resmi Kemdikbud RI. Dibangun pada tahun 1834, Gedung Oudetrap awalnya merupakan gudang gambir yang dimanfaatkan oleh VOC. Gambir, jenis rempah tertentu, kala itu menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, digunakan baik sebagai campuran obat maupun dalam penyajian sirih. Sebagai peninggalan bersejarah, gedung ini menjadi saksi bisu perkembangan Kota Lama Semarang selama berabad-abad.

Sejarah Stasiun Tuntang, Tempat Syuting Gadis Kretek

Sejarah Stasiun Tuntang, Tempat Syuting Gadis Kretek

SEMARANG – Film ‘Gadis Kretek’ telah menjadi sorotan para pecinta film, tak hanya karena jalan ceritanya yang memikat, tetapi juga karena proses di balik layar yang terus membangkitkan rasa penasaran penggemar. Dilakukan sebagian besar di Jawa Tengah, film ini mengambil beberapa adegan di lokasi menarik, termasuk Stasiun Tuntang di Kabupaten Semarang. Stasiun ini menjadi latar belakang untuk adegan terakhir antara Mas Raja dan Jeng Yah. Dalam adegan tersebut, Mas Raja mengucapkan kalimat menggoda, “Temui saya di stasiun minggu depan, saya akan pulang.” Sepenggal kalimat yang diucapkan Mas Raja pada Jeng Yah dalam film ‘Gadis Kretek’. Lokasi-lokasi seperti Stasiun Tuntang memberikan nuansa autentik dan memikat, menambah keindahan visual film ini. Keputusan untuk memilih lokasi syuting yang unik di Jawa Tengah juga memberikan sentuhan khusus pada film ini. Stasiun Tuntang Didirikan oleh NIS Stasiun Tuntang, yang didirikan oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), berdiri kokoh sejak tahun 1871 dan diresmikan pada 21 Mei 1873. Stasiun kecil ini membanggakan gaya arsitektur “Chalet NIS,” yang umumnya digunakan pada rancangan stasiun-stasiun pada awal abad ke-20. Meskipun ukurannya terbilang kecil, Stasiun Tuntang memiliki peran vital dalam bidang pengangkutan produk perkebunan. Stasiun ini melayani pengiriman berbagai hasil perkebunan, termasuk karet, gula, kopi, dan coklat yang diangkut menuju Ambarawa. Selain fungsi kereta api, Stasiun Tuntang juga pernah menjadi tempat transit untuk layanan bus milik NIS dengan trayek Stasiun Tuntang-Kota Salatiga. Pada tahun 1921, layanan bus tersebut akhirnya diakuisisi oleh perusahaan otobus swasta, Eerste Salatigasche Transport Onderneming (ESTO). Sempat Mangkrak dan Kembali Beroperasi sebagai Jalur Wisata Pada tanggal 1 Juni 1970, Stasiun Tuntang mengalami masa nonaktif dan hanya dijadikan sebagai museum. Keputusan ini diambil karena Stasiun Tuntang dianggap tidak lagi bersaing dengan moda transportasi lain dan kendaraan pribadi. Stasiun ini sempat mencoba melayani kereta wisata Ambarawa-Tuntang, namun upaya tersebut tidak berlangsung lama karena adanya kerusakan pada rel. Akibatnya, layanan kereta wisata ke Tuntang dihentikan dan jalur tersebut pun mangkrak. Setelah 32 tahun lamanya tidak aktif, Stasiun Tuntang akhirnya dibuka kembali sebagai jalur wisata pada tahun 2002 setelah mengalami proses renovasi. Awalnya, stasiun ini hanya mampu melayani lori Ambarawa-Tuntang. Namun, sejak tahun 2009 ketika menjalani renovasi lebih lanjut, stasiun ini kembali melayani kereta uap wisata. Saat ini, para pengunjung dapat menikmati keindahan Stasiun Tuntang dengan menaiki kereta uap wisata yang ditarik oleh lokomotif diesel vintage, membawa pengunjung dalam perjalanan yang menghadirkan nostalgia dan pesona dari era kereta api yang klasik.