Jowonews

Diresmikan, Tiga Fasilitas Kemenkumham di Jateng

SEMARANG, Jowonews- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna  meresmikan tiga fasilitas sekaligus milik Kementerian Hukum dan HAM wilayah Jawa Tengah, Selasa (16/2). Tiga fasilitas yang diresmikan tersebut masing-masing gedung Balai Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan HAM Jawa Tengah di Semarang, Rutan Klas II Boyolali, serta Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Semarang. Menurut Yasonna, pembangunan fasilitas-fasilitas ini merupakan bagian dari peningkatan pelayanan publik serta tata kelola pemerintahan yang baik. “Tanpa SDM yang baik, kita tidak akan mungkin membangun. Meningkatkan keterampilan untuk melayani masyarakat serta mengelola tata pemerintahan yang baik,” katanya sebagaimana dilansir Antara. Meski SDM menjadi prioritas, lanjut dia, hal tersebut harus didukung pula dengan fasilitas dan pengajar yang mendukung, salah satunya balai diklat ini. “Gedung yang baik tidak cukup tanpa guru yang baik, pelatih yang baik dan peserta yang disiplin,” tambahnya. Sementara Rutan Boyolali, menurut dia, merupakan bagian dari kerja sama dengan pemerintah daerah setempat. Kemenkumham memperoleh hibah tanah dan bangunan, sementara rutan yang lama akan diserahkan kepada Pemkab Boyolali “Semua ini untuk kepentingan masyarakat Boyolali, dalam rangka mengurangi kelebihan kapasitas,” katanya. Adapun Rupbasan Semarang yang baru, menurut dia, keberadaannya penting untuk menjaga kualitas barang sitaan yang disimpan. Ia menuturkan harga lelang barang rampasan negara ini kadang turun karena kondisinya juga turun. “Hal itu karena selama ini tidak tersimpan dengan baik,” katanya.

Digugat, Yasonna Klaim Asimilasi Napi Terkait COVID-19 Tak Melawan Hukum

JAKARTA, Jowonews.com – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly meyakini majelis hakim akan melihat bahwa program asimilasi dan integrasi narapidana terkait COVID-19 yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai kebijakan yang memiliki dasar hukum dan berjalan sesuai ketentuan. Hal tersebut dia sampaikan berkaitan dengan sidang perdana gugatan atas kebijakan asimilasi dan integrasi narapidana terkait COVID-19, yang digelar di Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah, Kamis. “Saya yakin hakim bisa melihat dengan jernih bahwa tidak ada unsur melawan hukum dari kebijakan ini serta pelaksanaannya,” ucap Yasonna dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis. Dia menilai kebijakan asimilasi dan integrasi terkait COVID-19 telah berjalan dengan benar dan sesuai ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 “Selain memiliki dasar hukum, program asimilasi ini juga dilakukan atas dasar kemanusiaan demi mencegah malapetaka luar biasa yang akan terjadi bila COVID-19 sampai masuk dan menyebar di lingkungan lapas atau rutan yang ‘over crowded’ dan tidak memungkinkan dilakukan ‘physical distancing’ sebagaimana prinsip pencegahan penularan virus ini,” ujar Yasonna. Yasonna menambahkan, mekanisme pengawasan terhadap narapidana yang dikeluarkan lewat program asimilasi dan integrasi COVID-19 juga telah berjalan efektif. Hal ini, kata dia, terlihat dari rasio narapidana asimilasi yang berulah kembali di masyarakat. Sejauh ini total narapidana dan anak yang dikeluarkan lewat program asimilasi dan integrasi terkait COVID-19 berjumlah 40.020 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 222 diantaranya terbukti melakukan pelanggaran ketentuan sehingga asimilasinya dicabut. Bila dikalkulasi, rasio narapidana asimilasi yang kembali berulah di masyarakat ini adalah 0,55 persen. Yasonna mengatakan angka tersebut jauh lebih rendah dari tingkat residivisme pada kondisi normal sebelum COVID-19 yang bisa mencapai 10,18 persen. “Tanpa mengecilkan jumlah tersebut, rendahnya tingkat pengulangan ini tak lepas dari pengawasan yang dilakukan terhadap narapidana asimilasi,” kata dia. Dia menyebut bahwa pengawasan yang dilakukan dalam tiga tahapan, yakni preemtif, preventif, dan represif itu tak hanya melibatkan petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan (Bapas), melainkan juga berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. “Salah satu evaluasi yang kami lakukan terkait program ini adalah pentingnya koordinasi pengawasan dan itulah yang kami lakukan. Pengawasan terhadap narapidana asimilasi tak cuma dilakukan oleh petugas PK Bapas, tetapi sampai berkoordinasi dengan penegak hukum lain dan jajaran Forkopimda hingga ke level RT/RW,” kata menteri berusia 67 tahun tersebut. Menanggapi tudingan soal keresahan publik akibat kebijakan asimilasi narapidana, Yasonna meyakini masyarakat sudah semakin paham dan menerima alasan di balik program tersebut. Hal ini disebutnya tak lepas dari upaya yang dilakukan jajarannya dalam memberi penjelasan ke publik, termasuk melakukan konfirmasi atas berita tidak benar terkait narapidana asimilasi. “Semakin ke sini masyarakat semakin bisa melihat bahwa memang ada faktor kemanusiaan sebagai alasan dikeluarkannya kebijakan asimilasi dan integrasi terkait COVID-19, bahwa ini kebijakan yang harus dilakukan negara dalam menghadapi pandemi ini,” kata Yasonna. Diketahui, kebijakan Kemenkumham memberikan asimilasi dan integrasi kepada puluhan ribu narapidana sebagai upaya pencegahan penularan COVID-19 di lingkungan rutan/lapas digugat oleh sekelompok advokat Kota Solo yang tergabung dalam Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997, Perkumpulan Masyarakat Anti Ketidakadilan Independen, serta Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia. Gugatan itu dilayangkan kepada Kepala Rutan Kelas I A Surakarta, Jawa Tengah, sebagai tergugat I, Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi Jawa Tengah sebagai tergugat II, serta Menkumham sebagai tergugat III. (jwn5/ant)

Napi Asimilasi Berulah, Yasonna Minta Jajarannya Koordinasi dengan Kepolisian

JAKARTA, Jowonews.com – Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly meminta seluruh jajarannya untuk meningkatkan koordinasi dengan pihak kepolisian terkait adanya narapidana yang kembali melakukan tindak kriminal usai dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi di tengah pandemik COVID-19. “Saya harapkan seluruh Kakanwil dan Kadivpas berkoordinasi dengan para Kapolda di seluruh daerahnya agar warga binaan pemasyarakatan yang mengulangi tindak pidana setelah mendapatkan asimilasi dan integrasi untuk segera dikembalikan ke lembaga pemasyarakatan usai menjalani BAP di kepolisian, agar yang bersangkutan langsung menjalani pidananya,” ujar Yasonna dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin. Hal tersebut disampaikan Yasonna saat memberikan pengarahan secara daring kepada seluruh Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Selain pihak kepolisian, Yasonna juga meminta jajarannya untuk berkoordinasi dengan forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda). Dia pun mengingatkan kepada Kakanwil Kemenkumham dan Kadivpas untuk melengkapi administrasi para narapidana dan anak yang dibebaskan, serta basis data pasca program asimilasi terkait COVID-19, agar koordinasi bisa berjalan baik. Dalam kesempatan itu, Yasonna juga meminta jajarannya untuk melakukan evaluasi serta meningkatkan pengawasan terhadap warga binaan yang dibebaskan melalui asimilasi dan integrasi. Menurutnya, upaya ini penting dilakukan guna menekan jumlah warga binaan yang kembali melakukan tindak pidana setelah mendapatkan program tersebut. “Narapidana asimilasi yang melakukan pengulangan tindak pidana didominasi kasus pencurian, termasuk curanmor. Ke depan, semua warga binaan kasus pencurian yang akan mendapat program asimilasi harus dipantau lagi rekam jejaknya. Apabila ada yang tidak benar, jangan diberikan asimilasi karena dapat merusak muruah dari program ini,” ujarnya menegaskan. Yasonna juga menekankan agar Kakanwil turut memonitor narapidana dan anak yang telah dibebaskan. “Cek langsung ke keluarga tempat warga binaan menjalani asimilasi. Saya minta seluruh Kakanwil memantau program ini 24 jam setiap harinya,” ucap Yasonna. Yasonna menyebut pengarahan ini dilakukan sebagai bentuk evaluasi atas sikap masyarakat yang mengeluhkan kebijakan asimilasi dan integrasi terkait wabah COVID-19. Keluhan ini, kata dia, muncul akibat sejumlah kasus pengulangan tindak pidana oleh warga binaan yang dibebaskan lewat kebijakan tersebut. Kendati angka pengulangan tindak pidana tersebut dinilai rendah, Yasonna tetap meminta dilakukan berbagai evaluasi untuk memulihkan rasa aman di dalam masyarakat. Hingga Senin, pukul 07.00 WIB, jumlah narapidana dan anak yang dibebaskan lewat program asimilasi mencapai 38.822 orang. “Hal ini sangat penting kita lakukan. Dari 38 ribu lebih warga binaan yang dibebaskan lewat program ini, asumsikan saja 50 orang yang kembali melakukan tindak pidana. Angka pengulangan ini sebenarnya masih sangat rendah, bahkan jauh di bawah rate residivisme sebelum COVID-19 ini,” ujar Yasonna. “Tapi, kita tidak boleh beralasan demikian. Terlebih saat ini publik disuguhi informasi yang mengerikan, termasuk yang sebenarnya merupakan hoaks, terkait warga binaan asimilasi di sejumlah daerah. Karenanya, bila ada berita di media terkait pengulangan tindak pidana, saya minta setiap kanwil bertindak aktif memastikan kebenarannya di kepolisian. Hal ini harus dilakukan agar masyarakat tidak jadi ketakutan akibat berita miring yang tidak benar,” tuturnya. Dalam sesi pengarahan itu, Yasonna kembali mengingatkan agar kebijakan asimilasi ini bersih dari pungli. “Hukuman berat menanti bila ada pegawai melakukan pungli terhadap narapidana yang berhak mendapatkan program asimilasi. Saya sampaikan, jangan ada yang mencoba bermain,” kata dia. (jwn5/ant)