TEGAL – Tegal, selain dikenal sebagai kota Warteg, juga menyimpan cerita menarik tentang produksi teh di Indonesia. Di wilayah Pantura Jawa ini, terdapat enam produsen teh terkenal, dan masing-masing memiliki kisah unik di baliknya. Nah, bagaimana sih awal mula produksi teh di Tegal ini?
Setidaknya, ada enam merek teh besar yang beroperasi di Tegal. Teh Tongtji, yang berdiri sejak tahun 1938, menjadi salah satu yang paling populer, bersama Teh Gopek (1942), Teh Dua Tang (1942), Pabrik Teh Gunung Slamat yang memproduksi Teh Sosro dan Teh Poci (1940), serta Teh Tatah.
Cerita menarik dimulai dari era tanam paksa pada masa penjajahan Belanda yang dikenal sebagai cultuurstelsel, yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Graf Johannes van den Bosch pada tahun 1830. Saat itu, petani di beberapa wilayah Nusantara dipaksa menanam tanaman yang dianggap mahal dan menguntungkan di Eropa, termasuk teh.
J.I.L.L Jacobson, yang menyadari nilai berharga teh pada masa itu, menyelundupkan bibit pohon teh dari Taiwan pada tahun 1832. Meskipun uji coba penanaman di Karawang, Jawa Barat, tidak berhasil, Jacobson tidak menyerah. Ia menyelundupkan kembali bibit teh, kali ini dari Tiongkok, dan berhasil menanamnya di Bandung. Meskipun awalnya tindakan ilegal, Jacobson akhirnya dianggap sebagai inspektur Hindia Belanda dalam penanaman teh.
Sejak saat itu, Jacobson aktif menanam teh di berbagai wilayah, termasuk Karawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Banyumas, Kedu, Bagelen, Besuki, dan Banten. Di Tegal, penanaman teh dimulai di Kaki Gunung Slamet pada tahun 1846. Menariknya, kebun teh yang dikenal sebagai Bumijawa ini masih berdiri kokoh hingga kini.
Di Bumijawa, jenis teh yang ditanam adalah Camelia Sinensis, yang dikenal sebagai bahan pembuatan teh wangi. Setidaknya, Teh 2 Tang, Teh Gopek, dan Teh Tongtji mendapatkan bahan utama mereka dari kebun teh ini.
Sejarah pabrik teh pertama di Tegal dimulai pada tahun 1928, dengan berdirinya pabrik Teh Tatah di Slawi. Lie Seng Hok menjadi perintisnya, dan cucu pendiri teh ini, Laurensius Agung Sugiharto, menceritakan kisahnya. Namun, pamor Teh Tatah mulai merosot pada tahun 1956 karena persaingan bisnis. Meskipun dulu mampu mencapai pasar Jakarta, Teh Tatah kemudian hanya dijual untuk pasar lokal hingga pabriknya tutup pada tahun 1975.
Meskipun begitu, semangat produksi teh di Tegal tetap berkobar. Pada tahun 1940-an, generasi baru pabrik teh mulai bermunculan dan belajar untuk membuat teh. Laurensius Agung Sugiharto, dengan santai, bahkan membagikan resep pengolahan teh hijau dan melati yang menjadi ciri khas pabrik-pabrik teh besar di Slawi.
“Dulu, teh langsung digoreng manual, pakai paso, diungkep sama melati,” cerita Sugiharto.
Selain itu, petani melati memberikan kuncup melati pada sore hari, sehingga wangi melati dapat meresap pada teh.
Melalui perjalanan sejarah ini, Tegal menjelma menjadi pusat produksi teh besar di Indonesia yang memiliki keunikan dan kelezatan tersendiri.