Jowonews

Logo Jowonews Brown

Tradisi Wiwit Kopi Di Lereng Pegunungan Muria Kudus

kopi kudusKudus, Jowonews.com – Tradisi “wiwit” kopi atau memulai panen tanaman kopi di Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, kembali dihidupkan sebagai ungkapan syukur. Tradisi yang digelar turun temurun sejak ratusan tahun lalu itu  merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil panen kopi tahun ini.

Warga berharap lewat ritual itu panen kopi tahun depan lebih melimpah dan sekaligus mampu menyejahterakan mereka. Selain itu, mereka juga berharap kopi asal lereng Muria ini lebih dikenal di dunia. Seperti apa?

Samiyono, 35, langsung membuka penutup ambengan yang ada di depannya saat pemuka agama Desa Colo mengakhiri doa penutup Wiwitan Kopi. Aktivitas yang sama juga dilakukan ratusan warga dan sejumlah pejabat
yang mengikuti tradisi tahunan itu.

Beragam lauk mulai dari ayam ingkung, ikan, tempe, dan gudangan terlihat menggoda di atas nasi putih ambengan. Tanpa dikomando, warga langsung melahap hidangan yang memiliki nilai filosofis ala Jawa itu.  “Ini bentuk syukur kita karena panen kopi tahun ini lumayan bagus,” kata Samiyono.

Total lahan kopi di Kabupaten Kudus seluas 452 hektar. Mayoritas lahan kopi itu ditanami bibit jenis robusta, namun ada juga jenis arabica. Bibit kopi ini dibawa oleh Belanda saat masa penjajahan ratusan tahun silam. Warga sekitar dikenakan wajib tanam paksa sehingga beberapa bagian areal hutan di kawasan Pegunungan Muria itu berubah menjadi lahan kopi. 

Khusus di lereng Pegunungan Muria yang masuk wilayah Desa Colo, luas lahan kopi sekitar 90 hektar. Tiap hektar lahan tahun ini mampu menghasilkan kopi dengan kisaran 1,5- 2 ton. Harga kopi panenan petani jika masih dalam bentuk biji kopi basah (belum dikeringkan atau diolah) sekitar Rp550 ribu per kwintal. 

Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Kabupaten Kudus Budi Santoso mengatakan pihaknya menggelar berbagai langkah agar kopi khas lereng Pegunungan Muria Kudus ini lebih dikenal khalayak luas. Salah
satu caranya dengan melakukan branding kopi Muria. Pihaknya mendorong petani agar kopi yang dipanen benar-benar sudah matang di pohon atau petik merah.

BACA JUGA  Anggota DPRD Kudus Segel Ruangan Pimpinan

“Agar kualitas yang dihasilkan bagus. Lokasi ini juga sudah dikelola kelompok sadar wisata (pokdarwis) jadi tidak hanya menawarkan kopi khas Muria saja namun juga pemandangan alamnya,” jelas Budi.

Gawe Wiwit Kopi kemarin juga dihadiri oleh puluhan penikmat kopi asal beberapa kota di Indonesia. Mereka menikmati kopi Muria yang diracik oleh barista asal Kedai Kopi Tong, Doni Dole.

Menurut Doni, kopi Muria memiliki cita rasa khas yang berbeda dari daerah lain. Aroma kopi Muria wangi dan ada rasa rempah-rempah serta akar-akaran. 

Sayangnya, kata Doni meski cita rasa khas namun kopi Muria masih diolah secara tradisional. Padahal hal itu tak cukup untuk membangkitkan antusiasme masyarakat untuk mencicipi kopi Muria. 

Berpijak dari kondisi itu, pihaknya pun berupaya mengenalkan cara pengolahan kopi yang lebih modern. Ada yang disajikan dengan gentong, V60, siphon, turkies dan lain sebagainya. “Kualitas kopi Muria tergolong cukup. Tapi kalau tak diolah dengan baik maka hasilnya tak maksimal. Makanya kita edukasi petani dan sekaligus penikmat kopi agar kopi Muria lebih dikenal masyarakat,” ucap Doni.

Areal kebun kopi di kawasan Pegunungan Muria selain menempati lahan milik warga, juga menggunakan tanah milik negara yang dikelola Perhutani Jawa Tengah. Petani menanam kopi di bawah tegakan pohon-pohon besar di kawasan hutan lindung itu.

Kepala Biro Perlindungan SDA dan Kelola Sosial Perum Perhutani Divre Jateng, Imam Fuji Raharjo mengapresiasi upaya yang dilakukan petani kopi di lereng Gunung Muria Kudus. Sebab upaya itu juga sekaligus bermanfaat untuk menjaga kelestarian hutan lindung di kawasan tersebut. “Perhutani mendukung karena daerah ini memang konservasi yang harus dipertahankan,” terangnya.

Hanya saja, Imam berharap agar warga sekitar bisa membentuk lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) yang menaungi kawasan tersebut. Sebab di Jateng,tercatat ada 1933 desa yang ada di tepian hutan. Dan warga ribuan desa itu sudah membentuk semacam LMDH sebagai bentuk kerjasama dengan Perhutani. “Tapi Colo ini satu-satunya desa yang belum kerjasama dengan kita. Semoga sebentar lagi mengikuti desa-desa lainnya,” tandasnya. (JN04)

Simak Informasi lainnya dengan mengikuti Channel Jowonews di Google News

Bagikan berita ini jika menurutmu bermanfaat!

Baca juga berita lainnya...