Masyarakat Kecamatan Jatinom, Klaten, memiliki tradisi Yaqowiyu yang dihadiri ribuan masyarakat dari berbagai daerah di Jawa Tengah setiap tahunnya. Tradisi ini diselenggarakan dalam rangka Haul Ki Ageng Gribig, seorang pendakwah Islam.
Sekilas Tentang Ki Ageng Gribig
Ki Ageng Gribig dikenal sebagai seorang da’i yang kreatif pada masanya. Ki Ageng terkenal dengan doa-doa yang hingga kini dilestarikan seperti Yaqowiyu.
Ki Ageng Gribig adalah keturunan Raja Majapahit Brawijaya V. Putra Brawijaya, Pangeran Guntur pada mulanya ahli dalam spiritualitas atau wasi.
Ki Guntur adalah seorang wasi yang masuk Islam melalui perantara Sunan Bonang. Dari Ki Guntur lahirlah tiga orang putra, salah satunya adalah Ki Pangantibagno atau Wasibagno.
Pangantibagno kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Gribig I. Dari Ki Ageng Gribig memiliki keturunan Ki Ageng Gribig II yang bernama asli Rangkasnyono.
Nama asli Ki Ageng Gribig II adalah Rangkasnyono dan nama asli Ki Ageng Gribig III adalah Pangeran Jatayu. Dari Ki Ageng Gribig III ini menurunkan Ki Wasibagno Timur atau Ki Ageng Gribig IV.
Menurut beberapa sumber, Ki Ageng Gribig IV saat berdakwah lebih filosofis, cerdas dan arif. Selain itu, ia juga seorang ahli strategi politik. Dipercaya bahwa Ki Ageng Gribig IV hidup di bawah kekuasaan Mataram Islam pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Diperkirakan tradisi Yaqowiyu sudah ada sejak saat itu. Yaqowiyu adalah tradisi atau festival yang diadakan setiap bulan Sapar di Jatinom, Klaten. Ciri khas tradisi Yaqowiyu adalah tradisi penyebaran atau pembagian kue apem yang terbuat dari tepung beras.
Tradisi ini bermula dari Ki Ageng Gribig yang pulang kampung setelah menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Setelah itu, Ki Ageng Gribig mengamanatkan agar masyarakat melaksanakan tradisi ini setiap tahun.
Asal Usul Tradisi Yaqowiyu
Yaqowiyu merupakan tradisi yang pertama kali diperkenalkan oleh Ki Ageng Gribig. Ki Ageng Gribig adalah seorang ulama besar dari Klaten dan sekitarnya yang berperan dalam menyebarkan agama Islam. Tradisi Yaqowiyu dimulai saat Ki Ageng Gribig pulang usai melaksanakan ibadah haji.
Ki Ageng Gribig membawa bingkisan berupa kue apem dan akan dibagikan kepada kerabat, santri dan tetangganya. Namun, oleh-oleh yang dibawaoleh Ki Ageng Gribig tersebut tidak cukup, sehingga ia meminta keluarganya untuk membuat kue apem untuk dibagikan.
Sejak tahun 1589 M atau 1511 Saka, Ki Ageng Gribig selalu membagikan apem kepada orang-orang sekitar. Sejak saat itu, Ki Ageng Gribig menugaskan masyarakat Jatinom, Klaten, untuk memasak sesuatu untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan.
Amanat Ki Ageng Gribig inilah yang kemudian melahirkan tradisi yaqowiyu.
Asal Muasal Nama Yaqowiyu
Tradisi Yaqowiyu diambil dari akhir doa permohonan kekuatan dalam bahasa Arab, yaitu yaa qowiyyu, yaa aziz, qowwina wal muslimiin, yaa qowiyyu warzuqna wal muslimiin.
Selanjutnya, penggunaan apem dalam tradisi ini memiliki tujuan tersendiri. Kue apem diambil dari bahasa arab yaitu affum. Arti kata affum adalah maaf. Oleh karena itu, makanan yang dibagikan menurut tradisi ini kemudian disebut apem Yaqowiyu.
Tradisi Yaqowiyu dilakukan setiap bulan Sapar menurut penanggalan Jawa. Biasanya, ribuan kue apem akan dibagikan dari panggung permanen di sebelah selatan masjid di kompleks pemakaman Ki Ageng Gribig.
Banyak masyarakat mempercayai bahwa kue apem Yaqowiyu dapat membawa kemakmuran bagi yang menerimanya. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini kemudian menjadi agenda unggulan khas Klaten. Bahkan, masyarakat sekitar, seperti Boyolali, Solo, Sragen, di Yogyakarta datang ke Klaten untuk mengikuti festival atau tradisi Yaqowiyu ini.