Jowonews

Turki dan Konteks Geopolitik

Oleh: DR Ahwan Fanani, Pemerhati Politik, Sosial dan Budaya, Dosen Fisip UIN Walisongo

Memperbincangkan Turki selalu menjadi hal yang menarik. Banyak pihak yang menganggap Turki sebagai representasi kekuatan Islam saat ini yang dianggap “berani’ terhadap kekuatan barat.

Presiden Turki Erdogan, dengan berbagai manuver politiknya, dipandang sebagai figur pemimpin muslim yang bisa membawa kembali kejayaan Islam.

Kekuatan politik Turki sendiri tak lepas dari sejarah panjangnya di masa lampau. Sebagai penerus sisa-sisa kejayaan Daulah Utsmaniyyah (Ottoman). Juga faktor geopolitik Turki yang selalu membuat banyak pihak tak bisa memandangnya sebelah mata.

Tulisan ini akan mencoba mengupas bagaimana sejarah Turki dan konteks geopolitik yang membentuk kekuatannya dalam percaturan politik global saat ini.

Sejarah Turki

Turki adalah salah satu negara dengan akar sejarah panjang dalam konteks sejarah Islam. Turki mulai muncul dalam peta sejarah Islam pada masa Daulah Abbasiyah Kedua.

Orang-orang Turki memiliki tradisi kepahlawanan dan militer yang kuat. Perannya politik mereka mencapai puncak dengan berdirinya Daulah Utsmaniyyah (Ottoman) tahun 1281 yang mampu menaklukkan Konstantinopel (Byzantium) pada 29 Mei Tahun 1453. Wilayah kekuasaan Ottoman membentang dari Afrika Utara, Jazirah Arab, Asia Tengah, dan Eropa Timur. 

Turki modern lahir dari reruntuhan Ottoman dengan wilayah mencakup sebagian wilayah di Benua Eropa dan sebagian besar wilayah di Benua Asia. Turki modern lahir dari proses modernisasi yang terjadi pada pertengahan abad ke-19 dan berlanjut hingga kekalahan Turki pada Perang Dunia I yang membuatnya kehilangan banyak wilayah.

Turki kemudian memilih bentuk negara Republik yang eksis hingga saat ini. Warisan sejarah panjang itu membentuk bangsa Turki yang memiliki kebanggaan tinggi atas warisan historisnya, dan masih memelihara kenangan itu di museum-museumnya.

Pasca keruntuhan Kekaisaran Utsmaniyah tahun 1924, Turki bertahan dengan mengadopsi sekulerisme ala Perancis oleh Musthafa Kemal, yang digelari Bapak Turki (Attaturk). Turki bertahan sebagai negara sekuler, sebagaimana negara-negara Eropa, dan tentara menjadi penjaga sekulerisme tersebut.

Sejak tahun 2002, Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan, yang cenderung konservatif, mampu memenangi Pemilu dan mendudukkan Abdullah Gul sebagai perdana Menteri dan digantikan oleh Recep Tayyib Erdogan pada tahun 2003.

Sejak itu, simbol-simbol Islam berkembang kembali pada ranah publik. Meskipun tetap mempertahankan sekulerisme, tapi simbol-simbol keislaman yang dihilangkan oleh Musthafa Kemal, mulai bermunculan kembali.

Beberapa tahun lalu, mahasiswi yang kuliah di kampus harus menanggalkan jilbabnya atau setidaknya membeli wig dan menutupi jilbabnya ketika masuk ke kampus. Azan dilakukan dengan bahasa Turki.

Namun, perubahan Hagia Sophia dari museum menjadi masjid dan pembukaan shalat Jumat dengan bacaan Alquran oleh Erdogan menandai penguatan kultur Islam populer di Turki. 

Di Bawah Partai AKP, Turki mulai mencoba menemukan kembali masa lalunya meski dalam konteks negara nasional.

Kekuatan Erdogan adalah pada kemampuan untuk melakukan pembaharuan ekonomi dan kondisi hidup masyarakat. Erdogan pandai memainkan kartu dalam percaturan politik dalam negeri maupun geopolitik yang sedang menghangat di sekitar Turki.  

BACA JUGA  Kualifikasi Piala Dunia 2022, Belanda dan Kroasia Tumbang

Konteks Geopolitik

Geopolitik Turki berada pada wilayah yang strategis. Pusat geopolitik dunia adalah Timur Tengah dan Eropa. Sebagian wilayah Turki masuk ke wilayah Asia dan sebagian masuk wilayah Eropa.

Di utara, wilayah Turki berhadapan daerah Kaukasus (Rusia, Armenia, Azerbaijan, dan Georgia) yang berada di antara Laut Kaspia dan Laut Hitam. Di Timur, wilayah Turki berhadapan dengan negara-negara Asia Tengah (Kazakhstan, Kyrgistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan). Di Selatan Turki membentang wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, dan Timur Tengah dengan Laut Tengah atau Mediterania yang memisahkan Afrika dengan Eropa.

Turki memiliki kesamaan akar budaya dengan negara-negara Asia Tengah dan Azerbaijan serta beberapa negara kecil semi otonom di Kaukasus. Negara Asia Tengah sebagian besar adalah pecahan Uni Soviet dan dengan bahasa yang hampir sama dengan Turki, kecuali Tajikistan. Mereka tergabung dalam kerjasama negara-negara berkebudayaan Turki serta membentuk Turkic Council.  

Dahulu, Angkatan Laut Turki berjaya di Laut Mediterania dan merebut wilayah-wilayah Lautan Mediterania, baik wilayah Eropa maupun Afrika, dari negara-negara Balkan, Spanyol, dan Italia sampai ke Malta.

Kondisi itu membuat perdagangan Eropa menjadi sulit meski Turki menerapkan perdagangan bebas. Kondisi itulah yang mendorong ekspedisi-ekspedisi ortang-orang Eropa untuk mencari Dunia Baru, termasuk VOC.

Ekspedisi itu melahirkan kolonialisme Eropa di negara-negara Asia, Afrika, dan Benua Amerika. Belanda, misalnya, memperoleh tanah jajahan di Afrika Selatan, Indonesia, Amerika Latin (Suriname), dan New Amsterdam. New Amsterdam sekarang menjadi New York City setelah terjadi tukar guling Pulau Rhun di Kepulauan Banda Maluku antara Inggris dengan Belanda.

Dahulu, dalam perjalanan menuju India, orang Eropa harus memutari benua Afrika dan ada yang tersesat di Benua Amerika.

Turki pada masa lalu adalah mimpi buruk bagi Eropa. Pasukan Turki menyerbu Eropa dan hampir menaklukkan wilayah Austria, setelah menguasai negara-negara Balkan yang didiami etnik Albania, Bulgaria, Yunani, Rumania dan Hungaria.

Meski penaklukan Eropa Barat gagal di Austria, sebagian Eropa Timur menjadi wilayah Turki dan banyak penduduk setempat yang masuk Islam, yang sekarang tersebar di negara Bosnia-Herzegovina, Kosovo, Albania, Makedonia, Bulgaria, dan Siprus.

Turki terlibat persaingan politik dengan dengan Kekaisaran Rusia dan Kekaisaran Austria-Hungaria serta Jermania Raya di Eropa serta Daulah Safawi di Iran.

Perang Rusia dan Turki terjadi beberapa kali dan ketegangan dengan Rusia pun terjadi pula akhir-akhir, seperti penembakan pesawat Rusia yang dituduh masuk wilayah Turki. Kekalahan Turki pada Perang Dunia I membuat banyak wilayah Turki lepas.  

Sejak lama Turki bersaing dengan Daulah Safawi di Persia yang kini menjadi Iran. Persaingan itu menjadikan Safawi sebagai representasi kekuatan Syiah dan Ottoman sebagai representasi suni. Iran dan komunitas Syiah saat ini cukup kuat di Timur Tengah dan berpengaruh di Irak, Lebanon, Syiria, Yaman dan Bahrain.

BACA JUGA  Kualifikasi Piala Dunia 2022, Belanda dan Kroasia Tumbang

Orang-orang Houthi yang saat ini menguasai Yaman mulai masuk wilayah Saudi. Bersama Rusia, Iran menjadi penantang pengaruh Amerika di Timur Tengah.

Posisi geopolitik Turki itulah yang dibutuhkan oleh Amerika dan Eropa. Amerika butuh untuk dukungan ke Timur Tengah dan menahan pengaruh Uni Soviet maupun negara-negara Kaukasus dan Asia Tengah (Eurasia).

Sejak tahun 1950-an, Turki masuk ke Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Turki dibutuhkan Amerika dalam  menghadapi pengaruh Iran dan Rusia di Timur Tengah maupun untuk berhubungan dengan negara-negara eks Uni Soviet.

Di NATO, Turki duduk bersama bersama Israel, sebagai negara aliansi non-NATO, meski keduanya sering menunjukkan hubungan tidak akur.

Dilema Uni Eropa

Eropa membutuhkan Turki meski memiliki hubungan historis kurang baik. Penguasa-penguasa Turki memiliki hubungan nasab dengan Eropa karena Khalifah-Khalifah Utsmani mengisi haremnya dengan wanita-wanita Eropa yang kemudian melahirkan mereka.

Eropa membutuhkan butuh jalur gas atau energi sehari-hari dan sumber daya alam yang berasal atau melewati Turki. Eropa juga butuh Turki untuk menahan imigran dari Timur Tengah dan Asia.

Sudah lama Turki ingin masuk Uni Eropa karena sebagian wilayahnya ada di benua Eropa. Proses negosiasi itu sudah dimulai sejak 80 tahun silam dan sudah dijanjikan keanggotaan penuh di Uni Eropa sejak tahun 1999, namun hasilnya menggantung.

Eropa Barat menyoroti isu Demokrasi dan HAM untuk mengulur atau menggantung keinginan Turki menjadi anggota penuh Uni Eropa, meski kerjasama ekonomi sudah berjalan lama.

Terakhir adalah isu genosida terhadap armenia di masa lalu dan kemunduran demokrasi sandungan bagi keanggotaan Turki. Isu genosida terjadi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, dalam upaya Turki menguasai kembali Armenia yang lepas akibat Perang dengan Rusia pada pertengahan abad ke-19.

Di sisi lain, dukungan Turki terhadap Azerbaijan dalam konflik Azerbaijan dengan Armenia memperburuk hubungan keduanya. Turki juga memberi suaka kepada puluhan ribu orang Azerbaijan yang menjadi korban gerakan nasionalis Armenia.

Isu lain yang menjadi kekhawatiran Eropa adalah persoalan demografi. Orang-orang Turki banyak tersebar di Eropa dan membuka bisnis di sana. Mesjid-Mesjid Eropa sebagian didirikan oleh warga Turki dan imamnya dibayai Turki.

Jika Turki masuk, Uni Eropa maka tenaga kerja Turki akan mengalir ke Eropa, di saat negara-negara Eropa Barat mengalami tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat rendah dan penduduk yang mulai menua.

Sebaliknya, Turki memiliki laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi. Belum lagi, ada perbedaan sosial-budaya dan agama antara Turki dan negara-negara Eropa. Dimana negara Eropa merasa sebagai pewaris Yudeo-Kristiani, dan negara Eropa adalah negara Kristen Sekuler. 

Sungguh, Turki menjadi dilema tersendiri bagi Uni Eropa. Kehadirannya dinanti sekaligus “dibenci”.

Akankah kekuatan Turki sebagai representasi kekuatan politik Islam kontemporer bakal semakin mendominasi dalam konstelasi politik global? Perjalanan sejarah yang akan menjawabnya.

Bagikan:

Google News

Dapatkan kabar terkini dan pengalaman membaca yang berbeda di Google News.

Berita Terkait