Jowonews

Nasi Pecel Gambringan Purwodadi, Kuliner Legendaris di Stasiun Kereta

Nasi Pecel Gambringan Purwodadi, Kuliner Legendaris di Stasiun Kereta

Nasi Pecel Gambringan merupakan salah satu kuliner legendaris yang telah ada di Purwodadi sejak tahun 1940-an. Pada awalnya, beberapa penduduk Desa Tambirejo menjual nasi pecel di Stasiun Gambringan, sehingga saat ini terkenal dengan nama nasi pecel Gambringan. Hidangan nasi pecel Gambringan serupa dengan pecel lainnya. Sebagai makanan berbasis sayuran, pecel dianggap sebagai “makanan universal” yang dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah Jawa. Bahkan, beberapa wilayah di Jawa terkenal memiliki pecel khas mereka masing-masing. Nama pecel diambil dari bahan yang digunakan atau daerah asalnya. Contohnya, pecel pakis khas Kudus dan pecel semanggi khas Surabaya. Pecel pakis disebut demikian karena salah satu sayurnya adalah daun pakis yang banyak ditemukan di pegunungan Muria. Begitu juga dengan pecel semanggi, dinamai demikian karena menggunakan daun semanggi sebagai sayur di dalam pecelnya. Pecel Gambringan dinamai demikian karena pada awalnya, pecel ini dijual di Stasiun Gambringan – sebuah stasiun kereta api yang terletak di Dusun Pucang Kidul, Kecamatan Tambirejo, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan. Pecel Gambringan terdiri dari sayuran khas seperti bunga turi, daun pepaya, dan kecipir, serta bayam dan kecambah. Rasa khasnya berasal dari sambal kacang yang gurih, pedas, dan sedikit asin. Pecel ini disajikan dengan rempeyek udang atau keripik tempe. Dulu, para pedagang menjajakan pecel ke penumpang di gerbong kereta api jurusan Stasiun Semarang Poncol – Stasiun Bojonegoro yang melintasi Stasiun Ngrombo dan Stasiun Gambringan di Grobogan. Pecel disajikan dengan pincuk daun pisang. Dalam foto jadul koleksi Stasiun Gambringan pada tahun 1980-an, terlihat para perempuan dari desa Tambirejo menjajakan nasi pecelnya dengan menggunakan dunak atau tampah sebagai tempat nasi dan pelengkap pecelnya, di dalam komplek Stasiun Gambringan. Foto lain menunjukkan para penjual nasi pecel gambringan sedang melayani para pembelinya yang kebanyakan laki-laki di antara gerbong dan rel kereta api di Stasiun Gambringan. Tahun 2012, PT KAI mengeluarkan regulasi yang melarang penjual makanan dan minuman serta dagangan lainnya masuk di dalam kompleks stasiun. Regulasi itu membuat para penjual sega pecel gambringan tak lagi bisa berjualan di dalam stasiun. Padahal Stasiun Gambringan telah menjadi tempat berjualan mereka selama puluhan tahun. Mulai saat itu, penjual nasi pecel Gambringan mencari tempat baru untuk berjualan di luar stasiun. Beberapa tetap berjualan di sekitar stasiun, namun ada juga yang mencari keberuntungan dengan membuka kedai dan lapak di lokasi yang sama sekali baru dan jauh dari stasiun, termasuk di kota Purwodadi – ibu kota Kabupaten Grobogan. Saat ini, hanya satu penjual nasi pecel Gambringan yang masih bertahan di sekitar Stasiun Gambringan, yaitu Sri Rahayu yang biasa dipanggil Mbak Yayuk. Pedagang yang tepat berjualan di selatan stasiun ini telah menggeluti usahanya selama 15 tahun dan telah merasakan pahit getirnya berjualan nasi pecel. Pada masa kejayaannya, ia bahkan beberapa kali diundang oleh PT KAI untuk menyajikan nasi pecel Gambringan di Semarang. Bahkan Menteri Perhubungan sempat mampir ke warungnya untuk mencoba kuliner yang cukup legendaris ini.

Nasi Opor Sunggingan Kudus, Kelezatan Rasa Dari Resep Turun Temurun

Nasi Opor Sunggingan Kudus, Kelezatan Rasa Dari Resep Turun Temurun

Nasi Opor Sunggingan Kudus ialah salah satu lambang hidangan khas Kudus yang cukup ternama. Opor ini memiliki keunikan khas, yang jarang dijumpai di daerah lain. Dikenal sebagai opor bakar Sunggingan karena hidangan ini berasal dari Desa Sunggingan, Kabupaten Kudus. Untuk membuat hidangan spesial ini, bahan utama yang digunakan adalah ayam kampung dan bumbu-bumbunya terdiri dari bawang merah, bawang putih, kemiri, garam, jintan, dan santan kelapa. Perbedaan opor Sunggingan dengan opor ayam biasa adalah ayamnya yang dibakar secara utuh. Selain itu, opor Sunggingan tidak memakai kunyit, sehingga warna kuahnya tidak kuning seperti opor ayam pada umumnya. Hidangan Favorit Sunan Kudus Selain berbeda dari opor ayam biasa, Nasi Opor Sunggingan Kudus juga memiliki sejarah yang menarik. Hidangan ini diyakini sebagai hidangan favorit salah satu anggota Walisongo, yaitu Sunan Kudus. Walaupun sampai saat ini tidak ada sumber yang valid dapat dirujuk, namun cerita turun-temurun menyatakan bahwa opor sunggingan adalah makanan kesukaan Sunan Kudus yang aslinya bernama Raden Ja’far Shadiq. Hal ini diungkapkan oleh Nadjib Hassan, Ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK). Ia mengatakan bahwa opor sunggingan adalah hidangan favorit Sunan Kudus. Apabila cerita ini benar, maka opor sunggingan seharusnya sudah ada sejak abad ke-16 ketika Sunan Kudus masih hidup. Ini juga berarti bahwa opor sunggingan bukanlah jenis masakan baru seperti yang disebutkan dalam buku 100 Mak Nyus Jalur Mudik, Jalur Pantura dan Jalur Selatan Jawa (2018) oleh Bondan Winarno. Opor sunggingan sebenarnya adalah warisan kuliner yang sudah ada selama berabad-abad. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika opor sunggingan sering dihidangkan sebagai hidangan utama setiap kali ada acara di kompleks Menara Kudus. Contohnya adalah acara tradisi jamasan keris milik Sunan Kudus. Tradisi ini adalah ritual pembersihan keris peninggalan Sunan Kudus yang diadakan setiap tahun sekali. Setelah acara selesai, hidangan nasi opor sunggingan selalu disajikan kepada para tamu. Keaslian Resep Terjaga Turun Temurun Resep tradisional Nasi Opor Sunggingan Kudus masih dijaga dengan baik hingga saat ini, termasuk cara memasaknya yang masih menggunakan kayu bakar. Sehingga rasa autentiknya tetap terjaga dari dulu hingga sekarang. Untuk membuat opor sunggingan, ayam yang dipilih adalah ayam kampung besar dan tua jenis babon (betina). Lemak dari jenis babon tua ini berwarna kuning dan memberikan rasa yang sangat lezat. Ayam yang sudah dibersihkan utuh dan direbus dengan bumbu seperti bawang merah dan putih, merica, kemiri, ketumbar, dan jintan. Pemasakannya memakan waktu sekitar lima jam agar daging ayam empuk dan bumbunya meresap. Setelah direbus, ayam ditiriskan selama sekitar enam jam hingga dingin. Kemudian ayam dibakar atau dipanggang dengan arang dari kayu karet dengan jarak tertentu agar ayam tidak mudah terbakar. Pada saat dipanggang, ayam tidak perlu diputar. Metode ini menghasilkan kematangan yang merata, aroma panggang yang harum, dan rasa daging yang lebih lezat. Selanjutnya, kuah areh dibuat sebagai pelengkap opor sunggingan. Membuat santan ini membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Proses lama ini bertujuan agar santan tidak cepat basi. Santan yang telah dimasak kemudian diangkat dan menjadi santan areh yang kental. Santan atau areh ini yang memberikan rasa asin dan lezat pada opor sunggingan. Dalam penyajiannya, nasi diletakkan di atas daun pisang, diberi suwiran ayam panggang yang dipotong-potong, ditambah sambal tahu goreng yang manis dan pedas, baru kemudian disiram dengan kuah opor dan kuah areh. Makanan ini tidak menggunakan sendok logam, tetapi menggunakan suru, yaitu sendok dari daun pisang. Jika disimpulkan, hidangan nasi opor sunggingan menawarkan sensasi kenikmatan yang lengkap. Terdapat rasa asin dan gurih, serta manis dan pedas. Untuk pecinta rasa pedas yang tinggi, tersedia cabai utuh yang direbus dalam wadah terpisah sebagai tambahan. Populer Sejak Tahun 1960-an Sejak tahun 1960-an, opor sunggingan mulai populer di kalangan pecinta kuliner. Satu-satunya restoran yang menyajikan hidangan ini adalah Rumah Makan Opor Sunggingan, yang terletak di Jalan Niti Semito 9, Ploso, Kudus. Pendirinya adalah Warsito Sudadi dan Ngadilah, suami-istri. Sekarang, restoran ini telah diwarisi oleh generasi kedua, yaitu Suroso dan Siti Sundari. Nama “sunggingan” dalam “opor sunggingan” berasal dari sebuah kampung di Kelurahan Sunggingan, Kecamatan Kota Kudus, Kudus, tempat hidangan ini pertama kali dibuat. Kampung ini dinamai menurut seorang Tionghoa bernama Sun Ging, yang tinggal di sana pada abad ke-16, pada masa hidup Sunan Kudus. Meskipun restoran telah pindah ke lokasi baru di Jalan Niti Semito 9, Desa Ploso, Kecamatan Jati, Kudus pada tahun 2004, nama “opor sunggingan” masih tetap populer. Sebagai hidangan yang khas dan terkenal, opor sunggingan memiliki banyak penggemar, termasuk masyarakat umum, pejabat, dan artis. Beberapa artis yang pernah mencicipi hidangan ini antara lain Duta Sheila On 7, Jamal Mirdad, Sandra Dewi, Farhan, ST 12, Tantri Kotak, dan banyak lagi. Bahkan beberapa atlet bulu tangkis nasional seperti Liem Swie King, Susi Susanti, dan Alan Budi Kusuma juga pernah menikmati hidangan ini.

RAPAT PARIPURNA: Pelantikan Ketua DPRD Jateng

RAPAT PARIPURNA: Pelantikan Ketua DPRD Jateng

SEMARANG – Peresmian pengangkatan Ketua DPRD Provinsi Jateng menjadi agenda utama dalam rapat paripurna, Senin (5/6/2023). Dalam agenda itu, Sumanto diangkat sebagai Ketua DPRD sesuai Keputusan Mendagri. Pembacaan salinan keputusan itu dibacakan Sekretaris DPRD Urip Sihabudin. Sementara, pengambilan sumpah/ janji dipandu oleh Ketua Pengadilan Tinggi Jateng Charis Mardiyanto. Usai pengambilan sumpah dan penandatangan pakta integritas, dilakukan penyerahan palu sidang dari Wakil Ketua DPRD Sukirman ke Sumanto. Dilanjut sambutan Ketua DPRD yang telah dilantik. Dalam sambutannya, Sumanto berharap dirinya mampu mengemban tugas sebaik-baiknya. “Saya akan melaksanakan tugas ini dengan sepenuh hati. Posisi Ketua DPRD sebagai amanah untuk Jateng yang lebih maju. Kita wujudkan DPRD sebagai Parlemen Modern, yang sejatinya adalah perubahan mental yakni meningkatkan kedisiplinan,” kata Sumanto.

DIALOG PROAKTIF: Ngainirricadl, Dekat Kalangan Milenial dan Peduli Kalangan Disabilitas

DIALOG PROAKTIF: Ngainirricadl, Dekat Kalangan Milenial dan Peduli Kalangan Disabilitas

WONOSOBO – Muda dan enerjik. Itulah yang pertama kali terkesan dari seorang Muhammad Ngainirricadl. Sebagai anggota DPRD Jateng, mobilitasnya turun ke daerah pemilihannya sangat tinggi. Saat bersua dengan warga pun, Mas Ricardl-sapaan akrabnya, tak tebang pilih. Tua dan muda disambanginya. Pada program Proaktif DPRD Jawa Tengah, dia memperlihatkan aktivitasnya sebagai wakil rakyat. Pada Sabtu (3/6/2023), Ricardl didaulat menjadi narasumber pada acara almamaternya-UIN Walisongo. Dalam kesempatan itu dia mengisi Sekolah Legislasi yang diinisiasi oleh Fakultas Syariah. Kepada para mahasiswa, Sekretaris Komisi B itu mengatakan bahwa pendidikan politik sangat penting. Politik yang dimaksudkannya itu bukan berarti harus masuk dalam sebuah partai. Dalam organisasi mana pun, politik selalu ditanamkan dalam gerak dan langkah sebuah organisasi. “Politik itu sifatnya fleksibel. Dia (politik) bisa mengisi ruang-ruang kebuntuan. Termasuk saat masuk sebuah partai pun juga demikian. Bukan tidak mungkin kita semua menjadi anggota legislatif di kemuadian hari, kaum milenial harus mampu mewarnai dunia politik, jangan hanya melulu pada lingkup kampus saja,” ucapnya. Setelah selesai kegiatan, perjalanan dilanjutkan menuju Dapil IX. Singgah di Temanggung, Richadl menyapa kelompok tani di daerah Parakan. Tak berselang lama, ia pun meluncur ke Wonosobo. Di daerah tinggi itu, mendatangi tempat oleh-oleh yang dikelola oleh para disabilitas. Tempat oleh-oleh itu dinamakan “Diang”. Maryam dan juga Ipung, selaku pengelola dan juga Ketua Himpunan Wanita Disabilitas dan juga Ketua Ikatan Disabilitas Wonosobo mengaku sangat terbantu dengan peran Richadl. Dengan demikian munculah semangat untuk mengoptimalkan kalangan disabilitas untuk memiliki karya. “Perhatian dari Mas Ricardl sangat berarti bagi kami. Kami pun punya semangat untuk menunjukkan kaum disabilitas itu mampu menjadi seperti orang pada umumnya,” ucap Maryam. Ngainirrichadl berjanji untuk tetap memperhatikan para kaum disabilitas seperti halnya mengadakan pelatihan seperti yang pernah dia berikan beberapa waktu yang lalu untuk pelaku UMKM yang pesertanya juga ada sebagian dari kaum disabilitas. Ke depannya dia akan mengadakan lagi pelatihan khusus untuk kaum disabiliatas. “ini sebagian bentuk kepedulian kami selaku anggota DPRD Jawa Tengah, selain memberikan pelatihan UMKM , saya juga akan promosikan produk-produk yang dihasilkan para disabilitas,” katanya mengakhiri perbincangan. Dalam kesibukannya , Mas Richadl tak lupa menyempatkan diri menikmati kopi yang ada di Wonosobo. Tomo Kopi yang merupakan kedai Kopi dengan suasana rumah jadul namun banyak dikunjungi kaum milenial, Tomo kopi ini dikelola oleh Adam, anak muda dengan banyak kreativitas. “Tomo Kopi ini, meskipun suasana rumah dibuat jadul namun pengunjung banyak sekali kaum muda yang dating pada malam hari ini untuk sekedar ngopi dan asyik untuk tongkrongan, kedai ini sudah berdiri sejak tahun 70an, nah saya ini merupakan generasi ketiga,” kata Adam. (Adv)