Jowonews

Tradisi Saparan Masyarakat Jawa, Wujud Syukur dan Tolak Bala

Tradisi Saparan Masyarakat Jawa, Wujud Syukur dan Tolak Bala

Masyarakat Jawa mempunyai tradisi yang berbeda-beda dalam mengingat waktu, termasuk tradisi Saparan. Tradisi Sapara biasanya berlangsung pada bulan Sapar atau bulan kedua penanggalan Jawa. Tradisi merupakan hasil kreativitas, pertumbuhan dan tujuan hidup manusia, yang tersusun dari unsur-unsur kompleks yang tersusun dari berbagai hal seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, perilaku, budaya. Kemudian, apa yang dimaksud dengan tradisi Saparan? Berikut beberapa informasi terkait tradisi Saparan yang diambil dari penelitian berjudul Tradisi Saparan dalam Budaya Masyarakat Jawa di Lumajang oleh Tutuk Ningsih dalam Jurnal Kajian Islam dan Budaya. Seputar Tradisi Saparan Saparan adalah sebuah tradisi yang dijalankan oleh masyarakat Jawa, baik di wilayah Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Namun, setiap daerah memiliki keunikan dan perbedaan dalam prosesi pelaksanaannya. Saparan berasal dari istilah shafar yang merupakan sebutan bagi bulan dalam kalender Jawa. Sehingga, tiap bulan safarlah pelaksanaan tradisi ini. Bulan Safar adalah bulan kedua dalam kalender Hijriah menurut penanggalan Islam. Tradisi Saparan adalah ritual yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan pengharapan akan mendapatkan berkah dan rezeki yang melimpah, serta menjauhkan diri dari bencana dan kesialan. Bentuk Pelestarian Tradisi Saparan Setiap daerah mempunyai cara yang berbeda-beda dalam melestarikan tradisi Saparan, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu melestarikan budaya lokal, dan sebagai wujud rasa syukur. Pagelaran Pewayangan Sehari sebelum pelaksanaan tradisi Saparan, di berbagai daerah sering diadakan pagelaran pewayangan, yaitu pertunjukan wayang kulit. Kirab Budaya Kirab budaya adalah salah satu prosesi dalam tradisi Saparan, yaitu masyarakat berbondong-bondong melakukan kirab keliling, dengan mengusung gunungan yang terbuat dari hasil bumi. Arak Tumpeng Arak tumpeng adalah bentuk pelestarian tradisi Saparan, yaitu dengan mengarak tumpeng yang berisi hasil bumi pada masyarakat desa kemudian diarak dan nantinya tumpeng tersebut akan dibagikan oleh masyarakat. Larung Sesaji Biasanya masyarakat di daerah pantai melakukan tradisi Saparan dengan pelarungan sesaji. Adapun sesaji yang dilarungkan umumnya seperti buah-buahan, ayam ingkung, dan kepala sapi yang sudah terlebih dahulu dihiasi dengan bunga setaman, menyan, dan payung.

Rabu Wekasan, Tradisi Bulan Safar Untuk Tolak Bala

Rabu Wekasan, Tradisi Bulan Safar Untuk Tolak Bala

Berbagai daerah di Indonesia mempunyai tradisinya masing-masing, salah satunya Rebo Wekasan atau Rabu Wekasan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa. Lalu, apa sebenarnya tradisi Rebo Wekasan? Temukan serba serbinya. Biasanya, acara-acara tradisional di Indonesia sering kali diadakan pada periode waktu tertentu. Adapun pelaksanaannya ditentukan dengan menggunakan metode penanggalan tradisional atau agama seperti penanggalan Hijriah. Tradisi Rebo Wekasan adalah suatu tradisi yang dilaksanakan pada bulan Safar berdasarkan penanggalan Hijriyah. Pengertian Rebo Wekasan Menurut desasuci.gresikkab.go.id, tradisi Rebo Wekasan dikenal juga dengan sebutan Rebo Wekasan atau Rebo Akhir. Kata “Rebo” adalah nama hari dalam bahasa Jawa dan berarti Rabu dalam bahasa Indonesia. Sedangkan “Wekasan” adalah kata dalam bahasa Jawa yang berarti akhir atau “akhir”. Artinya, Rebo Wekasan secara literal mengacu pada hari Rabu terakhir. Rebo Wekasan adalah suatu acara budaya yang diadakan pada hari Rabu terakhir dalam bulan Safar, yang merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriyah. Kebudayaan ini banyak berkembang di Pulau Jawa, misalnya di Gresik, Probolinggo, Banten, Kudus, Tegal, Cirebon, dan lain-lain. Tradisi Rebo Wekasan diadakan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya bencana atau kesialan. Beberapa bentuk kegiatan tradisi ini meliputi sholat tolak bala, melakukan dzikir bersama, dan mengadakan selamatan. Sejarah Rebo Wekasan Asal usul tradisi ini dan orang pertama yang memulainya tidak tercatat dalam bentuk dokumen tertulis. Hingga saat ini, belum ada penjelasan yang mengungkapkan asal mula tradisi tersebut. Meskipun demikian, kebiasaan ini sudah menyebar luas di masyarakat dan tampaknya telah menjadi suatu aspek yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Seolah-olah jika tidak dilaksanakan, sebagian masyarakat merasa akan ada risiko bencana dan permasalahan di kemudian hari. Tradisi Rebo Wekasan memiliki hubungan erat dengan penyebaran nilai-nilai Islam dan ulama yang menyebarkannya di Indonesia di masa lalu. Berdasarkan informasi yang dicantumkan dalam situs resmi Desa Pejengkolan, Kebumen, terdapat beberapa kejadian yang terjadi pada hari Rabu Wekasan ini jika dilihat dari catatan sejarah. Hal itu menjadi alasan mengapa para ulama merekomendasikan untuk melaksanakan banyak perbuatan baik pada hari Rebo Wekasan. Beberapa diantaranya seperti shalat dan memberi bingkisan yang dapat mengusir keberkahan. Sebagian masyarakat meyakini bahwa hari terakhir di bulan Safar merupakan hari pertama saat Nabi Muhammad SAW jatuh sakit dan berlanjut selama 12 hari berturut-turut hingga wafatnya Rasulullah. Di samping itu, beberapa para ahli spiritual yang terampil dalam pengetahuan batiniyah berpendapat bahwa setiap tahun Allah menghadirkan sebanyak 320.000 cobaan atau bencana. Semua ini dikeluarkan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Karenanya, penting bagi umat Islam untuk melakukan ibadah seperti sholat, berdoa, berdzikir, dan melaksanakan perbuatan baik yang terdapat dalam acara Rebo Wekasan ini.