Jowonews

Sejarah Tugu Lilin, Lambang Kota Solo yang Penuh Makna Sejarah Tugu Lilin Solo,

Sejarah Tugu Lilin, Lambang Kota Solo yang Penuh Makna Sejarah Tugu Lilin Solo,

Kota Solo, Jawa Tengah, memiliki lambang yang tak hanya menjadi ikon kota, tetapi juga cagar budaya nasional yang kaya akan sejarah dan makna. Lambang itu adalah Tugu Lilin, yang terletak di kawasan Penumping, Laweyan. Mari kita telusuri sejarahnya yang menarik dan mengapa tugu ini menjadi simbol kota Solo. Sejarah Tugu Lilin Pembangunan Tugu Lilin dimulai ketika sejumlah warga Solo mengikuti Kongres Indonesia Raya I pada tahun 1931 di Surabaya, Jawa Timur. Pada tahun 1933, Tugu Kebangkitan Nasional atau Tugu Lilin dibangun untuk memperingati 25 tahun berdirinya organisasi Boedi Oetomo. Inisiatif pembangunan tugu ini diambil oleh Budi Utomo melalui Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI). Ir. Soetjipto, seorang arsitek ternama, mengusulkan konsep Tugu Lilin. Konsep ini dipilih karena dianggap mencerminkan semangat kebangsaan yang mudah dimengerti oleh masyarakat luas. Tugu ini memiliki bentuk yang melambangkan kekuatan, sedangkan simbol lilin mewakili penerangan, harapan, dan semangat para pejuang kemerdekaan Indonesia. Meskipun mendapatkan izin dari Pakubuwono X pada akhir November 1933, pembangunan Tugu Lilin tidak berjalan mulus. Pemerintah Hindia Belanda menolak pembangunan tugu ini karena dianggap sebagai simbol pemberontakan. Bahkan, Pakubuwono X dipanggil oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bonifacius Cornelis de Jonge, karena mendukung pembangunan tugu tersebut. Perjuangan Mempertahankan Tugu Lilin Meskipun akhirnya mendapatkan izin pembangunan, Tugu Lilin menghadapi banyak hambatan. Pemerintah Hindia Belanda menolak nama Tugu Peringatan Pergerakan Kebangsaan 1908-1933 dan mengancam akan membongkarnya. Melalui mediasi antara Pakubuwono X dan pemerintah Hindia Belanda, Tugu Lilin tetap berdiri hingga saat ini. Pada tahun 1953, Tugu Lilin dijadikan logo resmi Kota Solo, menggambarkan maksudnya sebagai lambang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam lambang kota. Pada tahun 2017, Tim Ahli Cagar Budaya Nasional merekomendasikan Tugu Lilin sebagai Cagar Budaya peringkat Nasional melalui Surat Keputusan Nomor 369/M/2017. Tugu Lilin bukan sekadar tugu batu, tetapi simbol semangat kebangkitan nasional dan perjuangan menuju kemerdekaan. Sejarahnya yang kaya menjadi bagian penting dari perbendaharaan sejarah Indonesia dan menginspirasi generasi masa kini.

Kirab 1.000 Tumpeng di Masjid Gede Kauman, Semangat Kebersamaan di Kaloran Temanggung

Kirab Tumpeng 1.000

TEMANGGUNG – Ribuan warga dari 15 dusun di Desa Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, turut serta dalam kirab 1.000 tumpeng yang meriah dalam rangka Gerebek Maulid di Masjid Gede Kauman pada hari Kamis. Kirab ini menampilkan sekitar 1.000 tumpeng beserta hidangan tradisional seperti ingkung dan lauk-pauk lainnya, di mana pesertanya mengenakan busana adat Jawa. Camat Kaloran, Juli Riastiana, mengucapkan terima kasih dan mengapresiasi panitia Gerebek Maulid atas penyelenggaran kegiatan pertama kali ini di Kecamatan Kaloran. Riastiana berharap acara ini akan berjalan dengan lancar dan menggambarkan semangat persatuan warga Desa Kaloran dalam merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Gede Kauman Kaloran. “Semoga kirab ini dapat memperkuat ikatan ukhuwah Islamiyah dan menyatukan warga dari berbagai latar belakang agama dalam semangat persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ucapnya. Pelaksana Harian Sekda Temanggung, Eko Suprapto, menyatakan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari tradisi masyarakat Kaloran yang penting untuk dilestarikan karena mencakup unsur-unsur lokal, kearifan lokal, seni, budaya, dan pengembangan ekonomi. Dia menegaskan pentingnya menjadikan Gerebek Masjid Gede Kaloran sebagai ajang silaturahmi, persatuan, dan kesatuan dalam memajukan Kaloran menjadi lebih baik dan maju. Ketua Panitia Gerebek Maulid Masjid Gede Kauman, yang juga merupakan anggota DPRD Kabupaten Temanggung, Ahmad Syarif Yahya, menjelaskan bahwa kirab 1.000 tumpeng ini bertujuan untuk mempertahankan tradisi lama masyarakat Jawa dalam merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. “Kegiatan ini sekarang semakin kurang diminati dan semangatnya semakin meredup, sehingga penting untuk menghidupkannya kembali,” tandasnya. Selain itu, ia mencatat keunikan Kecamatan Kaloran, di mana masyarakatnya memiliki latar belakang agama yang beragam seperti Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu, namun hidup dalam damai. Oleh karena itu, Gerebek ini juga menjadi wadah untuk memperkuat ukhuwah wathaniyah, di mana tidak hanya masyarakat Muslim yang merayakannya, tetapi juga warga dari agama lain seperti Kristen dan Buddha turut serta dalam memeriahkan acara tersebut.