Jowonews

Sega Tiwul, Kuliner Legendaris Hasil Kreativitas di Masa Penjajahan

Apakah kamu pernah menikmati Sega Tiwul? Jika kamu berkunjung ke pasar-pasar tradisional Jawa Tengah atau Yogyakarta, khususnya Wonogiri dan Gunung Kidul, mungkin kamu akan mendapati kuliner tradisional ini.

Makanan ini terbuat dari bahan dasar singkong yang dijemur hingga kering. Masyarakat setempat menyebutnya gaplek. Gaplek yang telah benar-benar kering, ditumbuk halus dan kemudian dikukus hingga matang.

Dari dulu hingga kini, tiwul dikenal sebagai jajanan pasar yang sangat merakyat. Biasanya penjual tiwul menjajakannya sejak subuh hingga menjelang siang hari. Di pasar tradisional, biasanya cemilan manis ini dibungkus menggunakan daun pisang dengan porsi yang kecil. Sehingga sangat cocok sebagai pengganjal perut di pagi hari.

Selain sebagai jajanan, pada beberapa daerah tiwul juga pernah/menjadi makanan pokok pengganti nasi karena lokasinya yang tandus. Nasi Tiwul atau yang biasa disebut dengan Seqa Tiwul ini juga dikonsumsi bersama dengan lauk pauk dan sayuran.

Sejarah Tiwul, Makanan Pokok Masa Penjajahan Jepang

Jika menelisik sejarahnya, tiwul sebenarnya adalah kuliner yang muncul saat kondisi ekonomi sedang sulit. Saat harga beras mahal, konon masyarakat mengonsumsi tiwul agar perut tetap kenyang. Kondisi ini terjadi pada era penjajahan Jepang dan pada era tahun 1960-an.

Tak seperti yang kita jumpai sekarang, pada masa lalu tiwul juga dimakan selayaknya makanan pokok seperti nasi. Disajikan bersama dengan lauk pauk serta sayuran.

Sementara yang kita jumpai sekarang ini, tiwul pada umumnya dikonsumsi bersama dengan parutan kelapa dan siraman gula merah. Selain itu, biasanya juga disajikan dengan makanan pelengkap lainnya seperti ketan hitam, jagung rebus pipilan, dan singkong rebus yang diserut.

Sega Tiwul, Makanan Pokok Saat Musim Kemarau
Sega Tiwul sebagai makanan pokok disajajikan dengan lauk pauk dan sayuran

Saat musim kemarau di daerah tandus seperti sebagian wilayah Wonogiri, dan Sukoharjo. Masyarakat yang kesusahan menanam padi, biasa menjadikan tiwul biasa sebagai makanan pokok pengganti nasi. Salah satunya adalah masyarakat di Dusun Kalisonggo, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo. Tak jarang masyarakat di dusun itu menyantap tiwul sepanjang tahun.

BACA JUGA  Asal-usul Kue Nagasari, Perlambang Ketulusan dan Tolak Bala

Dusun Kalisonggo memang dikenal sebagai daerah tandus. Tanaman yang dapat tumbuh di daerah tersebut hanya palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah, dan singkong.

Dalam penyajiannya, untuk menghemat pengeluaran, biasanya masyarakat mencampur tiwul dengan perbandingan satu banding dua.



Cara Pembuatan Tiwul
Gaplek sebagai bahan utama pembuatan Sega Tiwul

Tiwul terbuat dari singkong yang dijemur hingga kering, atau biasa disebut gaplek. Gaplek ditumbuk hingga halus, kemudian dikukus hingga matang. Hasil kukusan inilah yang disebut dengan tiwul. Ketika dikonsumsi sebagai makanan pokok, tiwul dapat dihidangkan bersama lauk pauk antara lain tempe gembus goreng, sayur lombok ijo, dan sambal.

Tiwul Kaya Akan Gizi

Walaupun pada masa lalu tiwul identik dengan makanan orang miskin, bukan berarti kadar gizi dalam tiwul rendah.

Kepala Program Studi Agribisnis Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Kusnandar memastikan kalau kandungan karbohidrat tiwul ternyata tidak jauh berbeda dari beras.

“Tidak selalu harus makan nasi. Bisa diganti dengan singkong (bahan utama tiwul) dan jagung,” ungkap Kusnandar.

Bagikan:

Google News

Dapatkan kabar terkini dan pengalaman membaca yang berbeda di Google News.

Berita Terkait