Jowonews

Mitos Larangan Menanam Pisang di Dukuh Mao Klaten, Tradisi yang Tetap Diikuti Hingga Kini

Mitos Larangan Menanam Pisang di Dukuh Mao Klaten, Tradisi yang Tetap Diikuti Hingga Kini

KLATEN – Pisang, tanaman yang tumbuh dengan mudah di Indonesia, menyajikan pemandangan yang umum di sekitar. Namun, kisah berbeda dapat ditemui di Dukuh Mao, Desa Jambeyan, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di sini, tanaman pisang tidak dapat ditemukan, baik di kebun, lahan kosong, atau halaman rumah. Alasannya adalah keyakinan masyarakat dalam mitos larangan menanam pisang. Dilansir dari Tribunsolo, warga setempat masih menghormati kepercayaan ini. Kisah tragis dari nenek moyang yang menanam pisang, meninggal muda ketika bekerja di sawah, dan kemudian istri mereka meninggal sebulan kemudian, menguatkan mitos ini. Meskipun dilarang menanam pisang, warga masih diperbolehkan menanam pohon lain yang dapat berbuah, seperti rambutan, sukun, atau melinjo. Selain itu, mereka tetap dapat menikmati pisang dengan cara membelinya di luar dusun. Yunanto, seorang warga setempat, menceritakan pengalaman keluarganya, “Mbah buyut saya dulu nggak percaya dan menanamnya di pekarangan rumah sampai beberapa tahun, Tapi kemudian meninggal di usia muda saat sedang angon bebek di sawah. Sebulan kemudian istrinya juga meninggal. Akhirnya mitos larangan nggak boleh menanam pisang jadi semakin kuat,” ujarnya. Meski beberapa warga mungkin tidak lagi mempercayai mitos ini, tradisi untuk menghindari menanam pisang tetap diikuti. Masyarakat Dukuh Mao tetap setia pada keyakinan ini, menghormati tradisi dan mempertahankannya dari generasi ke generasi. Hal ini demi menghindari konflik dengan warga yang masih meyakini kebenaran mitos tersebut. Asal-usul mitos ini dapat ditelusuri kembali ke masa Kerajaan Mataram Kuno, menurut penjelasan dari budayawan setempat, Hari Wahyudi. Temuan dua prasasti, yakni Prasasti Kurunan tertanggal 855 dan Prasasti Mao, menjadi bukti sejarah eksistensi mitos tersebut. Pada Prasasti Kurunan, terungkap bahwa pada akhir pemerintahan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi, Dukuh Mao dikenal dengan nama Wanua i Maho. Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di Prasasti Mao, yang mengungkapkan larangan menanam pohon pisang dan melarang aktivitas pada hari Jumat, terutama Jumat Pon. Warga juga dilarang menumbuk padi dengan lesung kayu, hanya diperbolehkan menggunakan lesung batu. Yunanto, seorang warga setempat, menjelaskan, “Nggak ada warga yang berani menanam padi di sawah pas Jumat Pon. Mitosnya kalau melakukannya nanti sawahnya jadi laut,” ungkapnya. Mitos larangan menanam pohon pisang di Dukuh Mao bukan hanya sekadar keyakinan lokal, tetapi juga sebuah warisan budaya yang bertahan selama berabad-abad. Meski beberapa warga mungkin telah kehilangan keyakinan, tradisi ini masih dijaga dengan harapan tetap terjaga dari generasi ke generasi. Apakah di tempatmu juga ada mitos serupa yang menarik untuk diungkap?

Resep Manisan Belimbing Sayur, Rasanya Manis dan Segar

Resep Manisan Belimbing Sayur, Rasanya Manis dan Segar

SEMARANG – Belimbing sayur atau belimbing wuluh, yang biasanya dikenal sebagai buah yang sangat masam, seringkali digunakan sebagai bumbu dalam masakan seperti garang asem. Namun, siapa sangka, belimbing sayur dapat diubah menjadi manisan yang memikat dengan rasa manis dan segar. Berikut adalah resep sederhana untuk membuat manisan belimbing sayur, diambil dari akun TikTok @kelincitertidur. Resep Manisan Belimbing Sayur Bahan-bahan: Cara membuat: Dengan mengikuti langkah-langkah ini, kamu dapat menikmati manisan belimbing sayur yang lezat dan siap dijadikan stok camilan di rumah. Selamat mencoba!

Melihat Lebih Dekat Benteng Portugis Jepara, Jejak Kolonial dan Misteri Pusaran Air

Melihat Lebih Dekat Benteng Portugis Jepara, Jejak Kolonial dan Misteri Pusaran Air

JEPARA – Perjalanan melintasi Desa Banyumanis, Kecamatan Donorojo, akan membawamu menemui sebuah peninggalan bersejarah yang masih terjaga dengan baik, yaitu Benteng Portugis. Terletak tidak jauh dari perbatasan Kabupaten Pati, benteng ini menyimpan misteri sekaligus sejarah kolonial yang menarik. Meskipun sejarah pasti tentang benteng ini masih belum sepenuhnya terungkap, beberapa ahli sejarah menyebutkan bahwa Bangsa Portugis membangun Benteng Portugis pada abad ke-17. Tujuan pembangunannya adalah untuk melindungi kegiatan perdagangan rempah-rempah di Pulau Jawa dari serangan Belanda. Tak hanya benteng, Portugis juga mendirikan pos pengintaian di Pulau Mandalika, yang terletak di seberang benteng, yang kini menyisakan empat meriam sebagai saksi bisu sejarah. “Dulu memang daerah ini juga diincar Inggris dan Belanda,” ungkap Subekti, seorang warga sekitar yang memiliki pengetahuan tentang sejarah benteng, sebagaimana dilansir dari Tribunnews pada Sabtu (5/12/2015). Meski benteng ini hanya digunakan oleh Portugis dalam beberapa tahun, tetapi mitos tentang pusaran air laut di depan benteng menjadi salah satu elemen yang membuat mereka merasa tidak nyaman menjadikan lokasi ini sebagai pertahanan utama. Ada cerita mistis bahwa tentara Portugis mengalami nasib tragis, bahkan beberapa di antaranya ditemukan meninggal dengan cara misterius. Konon, kapal atau perahu Portugis yang berlayar di laut di depan benteng akan terseret oleh pusaran air, yang disebut sebagai gerbang Keraton Luweng Siluman yang dipimpin oleh Siuman Bajul Putih. “Iya, ceritanya dulu banyak orang Portugis meninggal tidak wajar. Mereka pun hanya bertahan beberapa tahun sebelum angkat kaki,” tambah Subekti. Benteng Portugis kehilangan fungsinya setelah runtuhnya Kesultanan Demak dan berubah menjadi Kesultanan Pajang yang beribukota di Pajang. Pusat perdagangan juga tidak lagi berpusat di Jepara. Meskipun begitu, pada masa penjajahan Jepang, benteng ini kembali dipergunakan dengan fungsi yang sama, yaitu sebagai tempat pertahanan dan pengintaian. Bahkan, kabarnya, Jepang mengerahkan pekerja paksa (romusha) untuk membuat lorong bawah tanah yang menghubungkan benteng dengan pantai di kaki bukit. Meskipun menyimpan berbagai kisah kelam, Benteng Portugis tetap menjadi bagian berharga dari warisan sejarah yang layak dilestarikan. Bagaimana denganmu, sudah pernah mengunjungi tempat ini?

Getuk Dalangan Kudus, Menikmati Jajanan Klasik yang Legendaris

Getuk Dalangan Kudus, Menikmati Jajanan Klasik yang Legendaris

KUDUS – Jajanan tradisional yang masih sangat populer adalah getuk, dan jika Anda berada di Kudus, Jawa Tengah, ada varian khas yang patut dicoba, yaitu getuk dalangan. Getuk dalangan dapat ditemukan di Dukuh Dalangan, Desa Barongan, Kecamatan Kota Kudus, yang berjarak kurang dari 500 meter dari Alun-alun Kudus. Warung ini sudah eksis selama sekitar 40 tahun dan dikelola oleh tiga generasi keluarga. Rochimah, pengelola saat ini, meneruskan usaha dari mertuanya, Suwarni. Dia membuat dan meracik sendiri getuk-getuk yang dijajakan, menekankan kepentingan kesegaran getuk sebagai daya tarik utama. “Semuanya saya buat sendiri, dari getuk sampai juruhnya. Getuknya harus fresh. Soalnya itu yang bikin Getuk Dalangan dicari banyak orang,” ungkap Rochimah. Singkong terbaik dipilih untuk membuat getuk, dan juruh (saus parutan kelapa muda dicampur dengan gula jawa cair) yang disiram ke getuk juga harus memiliki rasa yang istimewa. Selain getuk dalangan, di tempat ini juga tersedia berbagai jajanan tradisional seperti lopis, puli, moto belong, dan ketan. Warung ini buka setiap hari, kecuali Minggu, Ramadan, dan hari-hari besar, mulai pukul 10.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB. Harga getuk yang dijajakan terjangkau, berkisar antara Rp3 ribu sampai Rp5 ribu. Pembeli juga dapat memilih apakah ingin getuknya disiram juruh atau tidak. Ada juga varian getuk berukuran besar berbentuk gunungan tumpeng dengan harga mulai Rp25 ribu, yang sering dipesan untuk acara lamaran. “Mau gula atau kelapa bisa dipilih. Kalau pengin manis ya pakai gula, kalau nggak yang tinggal disiram kelapa,” jelas Ima, salah satu karyawan di warung tersebut. Jadi, jika Anda berada di Kudus, Getuk Dalangan Kudus bisa menjadi pilihan yang menarik untuk dicicipi.

Candi Mangkubumen, Keunikan Arsitektur Eropa di Tengah Solo

Candi Mangkubumen, Keunikan Arsitektur Eropa di Tengah Solo

SURAKARTA – Candi Mangkubumen di Solo memiliki keunikan yang mencolok karena tidak mengikuti desain candi Hindu atau Buddha, melainkan menampilkan arsitektur khas Belanda atau Eropa. Meskipun disebut sebagai “candi,” bangunan ini tidak digunakan untuk peribadatan. Sekilas Candi Mangkubumen Candi Mangkubumen, yang berlokasi di Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo, Mangkubumen, Solo, merupakan sebuah peninggalan sejarah yang memikat dengan keanggunan arsitektur klasiknya. Pembangunannya dilakukan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV di Kesultanan Mataram. Meskipun disebut sebagai candi, bangunan ini memiliki desain yang indah dan megah, menampilkan ciri khas Eropa pada periode masa lalu. Bangunan ini menghadap ke arah barat dan tidak mencerminkan pengaruh Hindu-Buddha seperti kebanyakan candi pada umumnya. Faktanya, Candi Mangkubumen sebenarnya bukanlah candi sejati, melainkan dikenal sebagai ‘Candi Mangkubumen’. Lebih menyerupai sebuah tugu dengan ketinggian sekitar 3 meter, bangunan utama ini dikelilingi oleh pagar, dan terdapat tempat dupa yang digunakan untuk kegiatan berziarah. Sebelum menjadi struktur berdiri sendiri di tanah kosong seperti sekarang, Candi Mangkubumen sebelumnya dikelilingi oleh bangunan lain. Salah satunya adalah RSUD Dr. Moewardi, yang kemudian direlokasi ke Jebres. Tempat Persemayaman Tali Pusar Patih Sasranegara Menurut informasi dari laman resmi Pemerintah Kota Solo, Candi Mangkubumen didirikan pada tahun 1840 dengan tujuan utama untuk menjadi tempat persemayaman tali pusar atau ari-ari Patih Sasranegara. Patih Sasranegara merupakan tokoh kunci dalam sejarah Kesultanan Mataram pada abad ke-18. Pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono II, Sasranegara menjabat sebagai patih, sebuah posisi yang setara dengan perdana menteri dalam pemerintahan Mataram. Pentingnya peran Sasranegara dalam membangun dan mengelola kebijakan pemerintahan kesultanan membuat namanya mencuat dalam sejarah. Ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang bijaksana dan berwibawa, terlibat dalam banyak kebijakan strategis, termasuk upaya untuk menjaga stabilitas di tengah goncangan politik dan ketegangan dengan pihak Belanda. Meskipun tidak selalu sejalan dengan kebijakan penguasa saat itu, Sasranegara tetap setia dan memberikan kontribusi besar dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan Kesultanan Mataram. Dengan demikian, Candi Mangkubumen tidak dapat dianggap sebagai candi seperti Prambanan atau Borobudur. Sebaliknya, bangunannya lebih menunjukkan pengaruh desain Eropa yang kental. Apakah Anda tertarik untuk melihatnya secara langsung?

Open Bar Kedai Titilaras, Pengalaman Unik Minum Kopi di Solo

Open Bar Kedai Titilaras, Pengalaman Unik Minum Kopi di Solo

SURAKARTA – Di Pasar Gede Solo, Kedai Titilaras menarik perhatian dengan konsep uniknya di tengah popularitas kedai kopi dan teh di Kota Solo. Pemilik kedai, Arkha Tri Maryanto (31), menciptakan pengalaman interaktif tanpa menu dan jam buka yang pasti. Kedai ini dikenal sebagai “open bar” karena pengunjung tidak hanya memesan minuman, tetapi juga berinteraksi dengan Arkha yang meracik kopi atau teh. Saat detikJateng mengunjungi kedai di lantai 2 Pasar Gede, pengunjung terlihat menikmati obrolan sambil mengabadikan momen ketika Arkha menyajikan minuman. Dengan luas hanya 2×1 meter, Arkha melayani pengunjung dengan pertanyaan apakah mereka ingin memesan teh atau kopi, karena tidak ada menu yang tetap. Kedai ini menjadi karya idealis Arkha yang diriset sejak 2017 dan diwujudkan pada 2022. Arkha, lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, awalnya bermimpi mendirikan kedai di rumah tua, namun proyek tersebut terlaksana di sudut Pasar Gede. Pria berkeluarga ini dikenal di media sosial karena gaya pakaian khasnya. Kedai Titilaras memiliki dekorasi menarik dengan bunga kering, postcard aktivitas Pasar Gede, dan tulisan filosofis. Selain berbisnis, Arkha ingin menjadikan kedainya sebagai ruang interaksi untuk mengatasi kehilangan keterampilan interpersonal manusia. Melalui ruang interaksi, ia menjadi pendengar bagi pengunjung yang ingin curhat. Kedai ini memiliki aturan unik seperti hari libur dua kali seminggu dan menu yang selalu berganti sesuai dengan bahan baku yang tersedia. Arkha menjalankan kedainya sendiri dan menyatakan keterusan membuat teh dan kopi sampai mati. Meskipun baru dibuka pada 2022, Titilaras telah menarik perhatian pengunjung dari berbagai daerah, termasuk Jakarta dan Lampung.

Wayang Potehi dan Perkembangannya di Bumi Nusantara

Wayang Potehi dan Perkembangannya di Bumi Nusantara

SEMARANG – Kesenian wayang di Jawa Tengah tidak hanya terbatas pada wayang kulit dan wayang orang. Di Kota Semarang, muncul sebuah pertunjukan yang unik bernama Wayang Potehi. Keseniannya dipopulerkan oleh para pendatang asal Tiongkok, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kekayaan budaya Semarang. Meskipun pada pandangan pertama mirip dengan Wayang Golek karena menggunakan boneka, namun Wayang Potehi memiliki ciri khas yang sangat identik dengan kebudayaan Tionghoa. Pernak-pernik, properti, hingga cerita yang disajikan semuanya mencerminkan warisan dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Mengenal Lebih Dekat Wayang Potehi Wayang Potehi adalah pertunjukan boneka yang mengisahkan kisah-kisah menarik yang berasal dari Tiongkok. Popularitasnya sempat merajai kota Semarang, dan melibatkan lima individu yang memerankan peran penting, termasuk pemain musik, dalang, dan asisten. Dalam pertunjukan ini, para pemain, terutama dalang, tidak hanya diharapkan menghafal cerita, tetapi juga menghidupkan dan menghayati setiap bagian dari cerita tersebut di atas panggung. Meskipun jumlah pemain musik mungkin terbatas, berbagai alat musik tradisional seperti gembreng, kecer, dan simbal tetap digunakan untuk menambah kemeriahan. Cerita dalam Wayang Potehi pada awalnya berasal dari Tiongkok, namun seiring berjalannya waktu, seni ini berkembang dengan mengambil inspirasi dari novel atau tokoh terkenal seperti Kera Sakti. Meskipun pertunjukan awalnya dilakukan dalam dialek Hokkian, seiring inklusivitas dan penerimaan oleh masyarakat umum, Wayang Potehi beralih ke bahasa Indonesia. Wayang Potehi tidak hanya dihadirkan untuk hiburan semata, tetapi juga memiliki makna sosial dan ritual bagi masyarakat Tionghoa. Meskipun sempat mengalami masa sulit di masa lalu akibat kebijakan pemerintah, saat ini semakin banyak individu yang peduli dan bersedia meneruskan tradisi seni ini. Perjalanan Panjang Wayang Potehi di Indonesia Wayang Potehi tidak hanya menjadi persembahan seni yang menghibur, tetapi juga mengusung sejarah panjang di kawasan Jombang dan Surabaya, Jawa Timur. Tradisi ini diperkenalkan oleh para perantau Tionghoa yang membawa warisan budaya dari Cina Selatan. Nama “Potehi” sendiri berasal dari bahasa Cina yang mengartikan boneka kantong dari kain. Pertunjukan ini melibatkan lima orang, termasuk dua dalang dan tiga pemain musik, menciptakan harmoni yang memukau dalam setiap pentasnya. Cerita dalam Wayang Potehi umumnya bersumber dari legenda dan kepahlawanan Tiongkok. Namun, saat dipentaskan di luar kelenteng, ceritanya lebih dikenal luas seperti Kera Sakti, Sam Pek Eng Tay, atau Pendekar Gunung Liang Siang. Pada dekade 1920-an, Wayang Potehi merambah ke Jombang dan berkembang pesat di Klenteng Hong San Kiong Gudo. Meskipun awalnya diperkenalkan oleh para pedagang Tionghoa, kini seni ini telah melebur menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ketika warga Tionghoa merayakan liburan besar, seperti Imlek, Klenteng Hong Tiek Hian di Surabaya menjadi tempat ramai yang tidak hanya untuk ibadah, tetapi juga menonton pertunjukan seru Wayang Potehi. Seni Wayang Potehi telah hadir di Indonesia sejak abad ke-17 dan memiliki sejarah yang kaya. Oleh karena itu, penting untuk senantiasa mengenang dan melestarikan keberadaan Wayang Potehi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kekayaan budaya Indonesia.

Asal Nama Jepara dan Julukan Kota Ukir Kelas Dunia

Asal Nama Jepara dan Julukan Kota Ukir Kelas Dunia

JEPARA – Jepara, sebuah kota yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah, Indonesia, menyimpan kekayaan sejarah dan keunikan budaya yang memikat. Asal-usul Jepara dapat ditelusuri hingga zaman kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara, di mana daerah ini menjadi pusat perdagangan dan peradaban maritim yang kaya. Namun, yang benar-benar membuat Jepara dikenal di seluruh dunia adalah julukannya sebagai ‘kota ukir dunia’. Gelar ini tidak diberikan dengan sia-sia, melainkan tercermin dari warisan seni ukir kayu yang membanggakan, yang telah menjadi ciri khas kota ini. Jepara mempunyai sejarah yang panjang, dan julukan sebagai kota ukir berkelas dunia bukanlah suatu kebetulan. Berikut ini adalah penjelasan mengenai sejarah dan asal-usul Jepara. Asal Muasal Nama Jepara Dikutip dari laman resmi PPID Kabupaten Jepara, asal nama Jepara berasal dari kata Ujung Para yang kemudian mengalami perubahan menjadi Ujung Mara dan Jumpara, hingga akhirnya menjadi Jepara. Kata “Jepara” memiliki arti sebagai tempat pemukiman para pedagang yang melakukan niaga ke berbagai daerah. Kata “ujung para” terdiri dari dua kata, yaitu “ujung” dan “para”. Dalam kamus bahasa Indonesia, “ujung” memiliki arti sebagai bagian darat yang menjorok (jauh) ke laut, sementara “para” memiliki arti menunjukkan arah. Oleh karena itu, “ujung para” jika digabungkan memiliki arti sebagai suatu daerah yang letaknya menjorok ke laut. Sejarah Kota Jepara sebagai Kota Ukir Berkelas Dunia Kota Jepara, yang sering disebut sebagai The World Carving Center atau kota ukir dunia, membanggakan sejarahnya yang kaya dalam seni ukir kayu. Sejak abad ke-19, Jepara telah menjadi pusat kerajinan ukiran kayu dan mebel terbesar di Indonesia, bahkan dikenal hingga mancanegara. Seni ukir kayu di Jepara telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya, seni, dan ekonomi masyarakatnya. Tradisi ini diwariskan dari generasi ke generasi, mencerminkan perkembangan zaman. Kota Jepara saat ini menjadi salah satu produsen kerajinan ukiran kayu terbesar di Indonesia, dan produknya telah diekspor ke berbagai negara di dunia. Lalu, bagaimana sejarah Jepara mendapatkan julukan sebagai kota ukir berkelas dunia? Dikutip dari laman resmi Indonesia.go.id, sejarah ini bermula pada zaman Prabangkara, seorang ahli lukis dan ukir, yang dipanggil oleh Raja Brawijaya untuk melukis istrinya tanpa busana sebagai tanda cinta. Prabangkara, tanpa melihat permaisuri secara langsung, melukis dengan sempurna. Namun, tahi lalat jatuh di lukisan, dan sang raja menuduh Prabangkara melihat permaisuri tanpa busana berdasarkan lokasi tahi lalat yang persis. Prabangkara dihukum dengan diikat di layang-layang, diterbangkan, dan jatuh di belakang gunung yang kini dikenal sebagai Mulyoharjo. Prabangkara kemudian mengajarkan seni ukir kepada warga Jepara, dan keahlian ini bertahan hingga saat ini. Seni ukir Jepara sudah ada sejak pemerintahan Ratu Kalinyamat pada tahun 1549. Retno Kencono, putri ratu, memiliki peran besar dalam perkembangan seni ukir. Pada era ini, seni ukir berkembang pesat dengan dukungan Sungging Badarduwung, seorang menteri ahli ukir asal Campa. Di belakang Gunung, ada kelompok pengukir yang melayani kebutuhan ukir keluarga kerajaan. Meskipun perkembangan seni ukir terhenti setelah Ratu Kalinyamat, Raden Ajeng Kartini, pahlawan wanita Jepara, memainkan peran penting dalam menghidupkan kembali seni ini. Kartini memanggil pengrajin dari daerah belakang Gunung untuk membuat ukiran seperti peti jahitan, meja kecil, figura, dan barang cinderamata lainnya. Kartini menjual produk-produk ini ke Semarang dan Batavia (sekarang Jakarta), memperkenalkan kualitas ukiran Jepara kepada dunia. Peranan Kartini juga melibatkan pengenalan seni ukir Jepara ke luar negeri. Semua hasil penjualan diserahkan kepada pengrajin, meningkatkan taraf hidup mereka. Ciri Khas Ukiran Jepara Ukiran Jepara memiliki ciri khas yang membedakannya, terutama dari motifnya. Motif yang terkenal adalah Daun Trubusan, terdiri dari dua jenis, yang keluar dari tangkai relung dan yang keluar dari cabang atau ruasnya. Ciri lainnya adalah motif Jumbai, di mana daunnya membuka seperti kipas dengan ujung meruncing. Tiga atau empat biji keluar dari pangkal daun dalam motif ini. Tangkai relung yang memutar dengan gaya memanjang dan menjalar membentuk cabang-cabang kecil juga menjadi ciri khas yang menghiasi dan memperindah ukiran Jepara. Semua ini menciptakan identitas unik dan tak tergantikan bagi seni ukir kota ini.