Jowonews.com, GEDUNG BERLIAN – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Karena itu perlu ada implementasi tindak lanjut dari UU tersebut.
Anggota Komisi E DPRD Jateng Yudi Indras Windarto menyatakan, tindak lanjut dari UU itu dirasa sangat penting supaya ada payung hukum yang dapat melindungi korban kekerasaan seksual maupun pelaku. Ia pun setuju DPRD Jateng bersama dinas terkait memandang adanya UU TPKS sangat menolong para korban kekerasan atau pelecehan seksual mendapat keadilan secara pasti dan perlindungan bagi korban.
Hal tersebut disampaikannya dalam dialog “Diskusi Mengawal Implementasi UU TPKS”. Turut diikuti Kepala Bidang Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Sri Dewi Indrajati, Dirut Legal Resources Centre Keadilan Gender Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Nur Lailah Hafidoh dan akademisi Pusat Studi Gender Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Muna Yastuti di Ruang Banggar Gedung Berlian, Semarang, Kamis (16/6/2022).
Yudi menembahkan dorongan tindakan kejahatan tersebut karena faktor ekonomi yang lemah. Karena itu, pemerintah provinsi harus terus membuat terobosan bagi perempuan agar bisa mandiri dan kuat secara ekonomi lewat pelatihan-pelatihan khususnya bagi para korban kekerasan seksual agar bisa bangkit juga kembali di tengah masyarakat.
“Kami bersama eksekutif, DP3AKB dan instansi terkait lainnya terus mengawal pelaksanaan UU TPKS sampai benar-benar tuntas, salah satu caranya meningkatkan kembali kesejahteraan perempuan lewat pemberian pelatihan di balai-balai kerja,” tegas politikus Gerindra.
Sri Dewi Indrajati menyambut baik adanya UU TPKS. Menurutnya aturan tersebut bisa memberi ruang bagi para korban kekerasan seksual mendapatkan kembali haknya tanpa ada intervensi damai secara kekeluargaan. Menurut dia, dampak traumatis sangat membekas dan perlu adanya penangan secara berkelanjutan.
“Kasus kekerasan seksual baik terhadap perempuan dan anak di Jateng menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya, yang meningkat pesat selama masa pandemi juga faktor dampak ekonomi tidak stabil,” kata dia.
Dari pandangan Nur Lailah Hafidoh lebih mengutamkan pendampingan hukum secara penuh dan perlindungan korban kekerasan seksual selama masa proses peradilan berjalan sampai tuntas. Di sisi lain, pendampingan post traumatis juga harus dikawal karena ditakutkan banyak yang takut kembali ke masyarakat karena korban kekerasan seksual masih dipandang tabu.
“Kami terus mendampingi korban kekerasan seksual sampai tuntas, dari mulai pendampingan pengacara selama masa persidangan sampai pemulihan fisik dan psikologis sampai pulih. UU TPKS sangat memberikan hak secara luas bagi para korban untuk mendapatkan keadilan sepenuhnya, mengingat kasus kekerasan seksual sebelumnya sangat sulit mendapatkan dukungan penuh dari semua pihak. Adapun, terkait penanganan post traumatic akan terus diberikan sampai para korban siap kembali ke masyarakat sebagai pribadi yang kuat,” terang dia.
Muna Yastuti memandang permasalah kekerasan seksual belum tuntasnya dan maraknya kasus serupa karena konstruksi sosial masyarakat bagi para korban juga pelaku masih sangat minim. Perlu adanya edukasi secara luas, bahwa para korban harus kembali diterima masyarakat tanpa perlu memandang hal tabu yang sudah terjadi.
“Karena melihat konstruksi gender perempuan sebagai sosok lemah sangat kuat, apabila terjadi kasus kekerasan seksual seringkali dikucilkan,” jelas dia.