Langit di atas Kali Wangsit masih gelap, apalagi sekitar tempat dengan rerimbun pepohonan itu. Suara gemericik aliran air sungai menjadi terasa kuat menabuh gendang telinga.
Penari muda Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Nabila Rifani, menuruni jalan tanah setapak pendek dengan sejumlah anak tangga. Dengan langkah perlahan dan suasana sunyi, kakinya menyibak air hingga kemudian beroleh pijakan di bebatuan sungai yang pada masa lampai diberi nama Tuk Mudal, sekitar 300 meter timur Candi Mendut.
Setelah erupsi Gunung Merapi 2010 disusul banjir lahar hujan 2011 yang mengubah alur sungai-sungai berhulu di gunung itu, pemimpin tertinggi yang juga budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut mulai berbicara tentang perubahan sebutan Tuk Mudal menjadi Kali Pabelan Mati.
Pada masa lalu, sungai kecil itu diperkirakan kuat sebagai alur lama Sungai Pabelan. Di dekat ruas sungai itu terdapat titik pusat aktivitas seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Menoreh) berupa Studio Mendut dikelola pemiliknya, Sutanto Mendut.
Melalui suatu acara seni budaya –setelah relatif mereda banjir lahar hujan 2011– sekitar 30 pegiat komunitas dengan dipimpin pematung dari Merapi, Ismanto (54), ditempatkan secara apik dan memorial di tepi sungai tersebut 66 balok batu untuk ditatah bersama dalam rangkaian penamaan tempat itu menjadi Museum Kali Wangsit.
Lalu, 11 tahun kemudian, Senin (8/8) 2022 pagi yang masih bersuasana gelap sekitar pukul 05.00 WIB, di tempat sama, komunitas itu membuka agenda mandirinya, Festival Lima Gunung XXI/2022, melalui performa seni “Ritus Kali”.
Dengan dipimpin Ismanto didampingi sejumlah tokoh komunitas, Nabila yang mengenakan pakaian Jawa kebaya tipe modern dan selendang warna putih, melakukan simbolisasi pengungkapan tema besar festival tahun ini, “Wahyu Rumagang”.
Penari muda yang awal tahun ini lulus kuliah jurusan tari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan bergabung dengan Komunitas Lima Gunung sejak 2014 itu, menjalani dengan hening dan berkarisma performa ritual tersebut.
Di bawah ancak wadah setumpuk kembang mawar dengan topangan sebilah bambu berbalut kain putih dan berhias janur kuning, ia menyibakkan air sungai dengan gerak tariannya lalu menaburkan kembang mawar merah putih di sungai yang mencatatkan tersendiri jalan sejarah ruang, waktu, dan alamnya.
Kekidungan ditaburkan sejumlah tokoh komunitas diiringi bunyian dengung “singing bowl” (mangkuk bernyanyi) dari kuningan serta penyulutan puluhan batang hio, seakan memimpin lantunan doa dan uluk salam pengantar cahaya Matahari pagi menyibak gelap di Museum Kali Wangit.
Setelah seorang tokoh utama-berpengaruh Komunitas Lima Gunung, Sitras Anjilin (63), membabarkan dengan khidmat, “Wahyu Rumagang”, beberapa waktu setelah rampung “Ritus Kali” pemimpin tertinggi komunitas, Sutanto Mendut (68), memotong tumpeng dilengapi aneka sayuran dan lauk-pauk. Potongan tumpeng diberikan kepada Nabila Rifani (24). Ia merepresentasikan kalangan muda seniman petani Komunitas Lima Gunung di bawah usia 30-an tahun, yang tahun ini menjadi pandega festival.
Gelap pagi berubah terang dengan langit di atas Museum Kali Wangsit biru cerah. Bunyi-bunyian gemericik air sungai makin elok oleh timpukan kicauan burung-burung di pepohonan sekitarnya. Alam terasa hadir membuka festival kebanggaan komunitas seniman petani itu.
Festival Lima Gunung XXI dimulai pada 8 Agustus 2022 di Studio Mendut dengan berbagai pementasan kesenian, pidato kebudayaan, performa seni, dan pameran foto, kartun, serta lukisan. Rencananya, festival memasuki puncak selama tiga hari, 30 September hingga 2 Oktober 2022, di kawasan Gunung Andong di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang dengan berbagai pertunjukan seni dan acara budaya.
Pihak panitia yang kalangan seniman muda komunitas telah mencatat berbagai kesenian dari grup-grup komunitas dan jejaringnya dari berbagai kota yang akan menggelar karya seni, kirab budaya, pidato, dan pementasan pada puncak festival mendatang.
Menangkap Gaung
Festival mereka secara mandiri atau tanpa sponsor itu, seakan juga hendak menangkap gaung pemerintah selama ini tentang keseriusan menghadapi bonus demografi pada 2045 dengan menyiapkan generasi muda bangsa agar unggul saat era “Indonesia Emas” atau seabad Republik Indonesia.
Melalui berbagai program pembangunan, pemerintah antara lain serius mengatasi stunting, membangun kesehatan dan pendidikan berkualitas, serta mewujudkan infrastruktur teknologi digital yang memadai.
Gaung pemerintah itu terasa dihadirkan secara kultural-simbolik dalam tema besar “Wahyu Rumagang” untuk festival komunitas tersebut. Sebagaimana disampaikan Sitras bahwa secara wantah, “wahyu” sebagai ilham dari Sang Pencipta jagat raya, sedangkan “rumagang” sebagai bangkit dan bersemangat berkarya secara kreatif dan bertanggung jawab.
Digunakan oleh dia diksi “gumregah” untuk menunjuk pemaknaan atas ketulusan, bangkit, dan bersemangat, sebagai pusaka rohaniah penting dalam berkarya, termasuk mengelola aktivitas seni-budaya secara tulus. Tentu saja, termasuk dengan tetap mewaspadai potensi penularan pandemi COVID-19. Apalagi, sekarang muncul mutasi virus menjadi bermacam-macam varian meskipun upaya pengendalian dilakukan pemerintah semakin mantap.
“Wahyu Rumagang” memang diarahkan kepada kalangan muda komunitas yang saat inilah secara kodrati sebagai waktu mereka lebih berperan aktif mengelola Festival Lima Gunung. Peranan mereka pascapandemi dianggap pas oleh para tokoh komunitas berbasis desa dan gunung tersebut, termasuk karena mereka familier dengan perkembangan dinamis teknologi digital.
Dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat karena pandemi, Komunitas Lima Gunung tetap beraktivitas seni-budaya. Mereka memanfaatkan kegiatan itu dengan model daring, luring, pembatasan sosial, dan bersiasat terhadap ruang serta waktu. Ihwal demikian yang membuat pandemi dua tahun tearkhir ini, tak menghentikan komunitas tersebut dalam menggelar tradisi festival tahunannya.
Ungkapan terhadap komunitas yang inspiratif disampaikan Nabila ketika menerima potongan tumpeng pembukaan festival. Rangkaian acara seharian itu juga ditayangkan secara daring melalui kanal Youtube “Terminal Mendut”, dikelola kalangan muda Komunitas Lima Gunung.
Pernyataan dia itu bukan sekadar tertuju kepada personalia ketokohan komunitas. Akan tetapi juga menyangkut catatan ingatan atas perjalanan panjang komunitas mengelola tantangan kerumitan persoalan, menghadirkan kearifan lokal-kontemporer, dan manajemen proporsi bungah melalui aktivitas kebudayaan sehingga menjadi kekayaan batin bersama.
Diakui bahwa kalangan muda tidak lepas dari cantelan nilai-nilai keteladanan para tokoh komunitas. Oleh karenanya, mereka merasa penting beroleh bekal, berupa “Wahyu Rumagang”.
Dalam pernyataan Sutanto, wahyu turun kepada sosok-sosok komunitas yang “tandang gawe” atau bekerja keras, tekun, dan bergereget. Bukan sekadar “nyambut gawe” (bekerja).
Dengan menangkap ruang makrokosmos, ia mengemukakan keluhuran dicapai nenek moyang karena “tandang gawe” menghadirkan legasi, sedangkan generasi muda saat ini penting menyerap nilai-nilai adiluhung tersebut menjadi bekal “maneges” (perjalanan spiritual-rohaniah). “Maneges” itu, baik secara pribadi, komunitas, desa, bangsa, maupun negara, melahirkan peradaban baru Nusantara yang “rahmatan lil alamin” atau rahmat untuk seluruh alam.
Budayawan Yogyakarta yang juga pengajar Ilmu Religi dan Budaya Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Romo Gregorius Budi Subanar mengelaborasi penilaian Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang Muhammad Nafi tentang pergeseran peran tokoh-tokoh berusia tua kepada kalangan muda dalam manajemen komunitas, termasuk pengelolaan festival tahun ini yang secara bauran tetap sebagai arena perjumpaan antarmanusia pascapandemi.
Kalangan muda komunitas itu didorong meramu berbagai bahan dan keteladanan paling bergengsi para tokohnya untuk menghadirkan legasi Festival Lima Gunung.
Mungkin juga wajah festival mereka tahun ini diwarnai kekurangan di sana-sini ataupun masih jauh dari ekspektasi kualitas paripurna yang membikin kangen khalayak.
Toh, setiap festival yang telah berlalu digarap para tokoh komunitas itu sebelum pandemi, juga tidak selalu dalam proses bersama yang mulus-mulus saja, apalagi sempurna.
Akan tetapi, tetaplah kiranya Festival Lima Gunung diharapkan menjadi rupa capaian jalan “maneges” siapa pun mereka yang beroleh “Wahyu Rumagang”.
Sumber: Antara Jateng