Jowonews

Perjuangan Para Pembatik di Rumah Batik Nyah Kiok Lasem Untuk Mempertahankan Tradisi

Di tengah tantangan modernisasi, para pembatik paruh baya di Rumah Batik Nyah Kiok tetap setia melestarikan seni batik tulis yang telah ada sejak awal abad ke-20.

REMBANG – Suasana tenang di Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, para perempuan paruh baya ini tidak menyerah meski tubuh mereka semakin rentan. Tangan yang tak secepat dulu dan penglihatan yang mulai kabur tidak menghentikan semangat mereka untuk menciptakan karya seni yang kaya makna. Suasana ini sangat terasa saat saya mengunjungi Rumah Batik Nyah Kiok, sebuah tempat bersejarah yang memancarkan aura tradisi.

Setelah beberapa waktu memperhatikan, salah satu pekerja, Mbah Suti, menyadari keberadaan saya. “Dulu rumah ini selalu penuh dengan aktivitas. Sekarang, hanya kami yang tersisa,” ucapnya dengan nada penuh refleksi, dikutip dari Inibaru (19/10). Kalimat tersebut menggambarkan betapa drastisnya perubahan yang telah terjadi di dunia pembatikan.

Motif yang Terus Hidup

Mbah Suti melanjutkan pekerjaannya dengan tekun, menciptakan motif batik yang telah diwariskan selama generasi.

“Anak-anak sekarang lebih memilih bekerja di pabrik atau pergi ke kota. Mereka bilang membatik terlalu rumit,” jelasnya, menunjukkan bagaimana minat generasi muda terhadap seni tradisional mulai memudar.

Rumah Batik Nyah Kiok di Lasem Kabupaten Rembang
Para perajin di Rumah Batik Nyah Kiok Lasem yang rata-rata sudah berusia senja. Foto Dok. Didiet Maulana.

Di Rumah Batik Nyah Kiok, fokus utama mereka adalah memproduksi batik tulis dengan satu motif khas, yaitu Gunung Ringgit Pring.

“Motif Gunung Ringgit Pring dikenal dengan warna merah, biru, hijau, dan coklat,” ujarnya.

Bagi mereka, kesetiaan terhadap tradisi bukan hanya sekadar pilihan, melainkan merupakan kekuatan yang perlu dijaga.

Warisan yang Perlu Dilestarikan

Rumah Batik Nyah Kiok tidak hanya sekadar tempat produksi, tetapi juga simbol dari warisan budaya yang harus dilestarikan. Mbah Suti menambahkan bahwa proses pembuatan kain batik tulis memerlukan waktu yang cukup lama, antara 8 hingga 12 bulan. Namun, bagi mereka, hal tersebut bukanlah masalah.

“Kami tidak menggambar pola lagi; semuanya sudah tertanam di ingatan kami,” ungkapnya.

Rumah Batik Nyah Kiok di Lasem Kabupaten Rembang
Foto Dok. Didiet Maulana

Di masa lalu, Batik Lasem dikenal luas, diekspor hingga ke negara-negara seperti Singapura dan Malaysia. Namun, kini, keberadaan mereka semakin terancam oleh produk-produk modern yang lebih cepat dan murah.

BACA JUGA  Jembatan Rel Lori Belanda di Desa Wisata Mranggen Klaten, Unik dan Masih Kokoh Hingga Kini

“Sekarang kami hanya bisa ditemukan di sudut-sudut kecil di Lasem,” keluh Mbah Suti.

Cerita yang saya dengar mengingatkan pada pandangan seorang budayawan tentang Batik Lasem, yang memiliki identitas kuat dan mencerminkan perjalanan panjang budaya dan sejarah lokal. Melestarikan warisan ini jelas merupakan tantangan, tidak hanya dalam proses produksi, tetapi juga dalam hal regenerasi dan pemasaran di tengah tren fast fashion.

Tanggung Jawab Bersama

Dengan begitu banyak tantangan yang dihadapi, menjadi tugas kita untuk menjaga dan menghargai warisan budaya ini. Meskipun kita mungkin belum mampu untuk berkontribusi secara langsung dalam pembuatan atau pembelian batik, mengunjungi Rumah Batik Nyah Kiok bisa menjadi langkah awal yang baik. Mengenal dan memahami seni ini adalah bagian dari upaya nguri-uri, menjaga tradisi agar tetap hidup.

Dengan semangat dan dedikasi, para pembatik di Rumah Batik Nyah Kiok terus berjuang untuk mempertahankan seni yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya kita.

Foto Dok. National Geographic Indonesia

Bagikan:

Google News

Dapatkan kabar terkini dan pengalaman membaca yang berbeda di Google News.

Berita Terkait