Jowonews

Seri Babad Tanah Jawi: Karya Sastra pada Zaman Kediri bagian 1

Karya Sastra pada Zaman Kediri bagian 1 – Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kediri. Pada tahun 1157, Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Sri Jayabaya atas Jenggala. Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya.

Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja, yang menulis Kakawin Smaradhana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya, terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana. Berikut adalah beberapa karya sastra pada zaman Kediri :

“Kakawin Bharatayuddha” Karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh

Kakawin Bharatayuddha adalah salah satu karya sastra Jawa kuno yang paling masyhur. Kakawin ini menceritakan peperangan antara kaum Kurawa dan Pandawa, yang disebut peperangan Bharatayuddha.” Karya sastra yang digubah oleh Mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh Mpu Panuluh (Panaluh) ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan Raja Daha (Kediri) tersebut. Tepatnya, kakawin ini selesai ditulis pada tanggal 6 November 1157.

Bagian awal atau permulaan sampai tampilnya Prabu Salya ke medan perang dalam kakawin ini ditulis oleh Mpu Sedah, sedangkan begian selanjutnya ditulis (diteruskan) oleh Mpu Panuluh. Konon, ketika Mpu Sedah ingin menuliskan kecantikan Dewi Setyawati, permaisuri Prabu Salya, ia membutuhkan contoh supaya dapat berhasil. Maka, putri Prabu Jayabaya diberikan kepadanya. Tetapi, Mpu Sedah berbuat kurang ajar shingga ia dihukum dan karyanya harus diberikan kepada orang lain. Namun, menurut Mpu Panuluh, setelah hasil karya Mpu Sedah hampir sampai kisah Sang Prabu Salya yang akan berangkat ke medan perang, maka tak sampailah hatinya akan melanjutkannnya. Maka, Mpu Panuluh diminta melanjutkannya. Cerita ini disebutkan pada akhir Kakawin Bharatayuddha.

BACA JUGA  Seri Babad Tanah Jawi: Karya Sastra pada Zaman Airlangga



Manurut penyataan Guning, Serat Bharatayuddha itu dalam hal keindahan bahasa dan syair-syairnya dapat dibandingkan dengan syair-sayair bangsa Yunani pada zaman kuno. Dewasa ini, masih banyak perkataan dari serat Bharatayuddha yang digunakan dalam suluk wayang, tetapi perkataan-perkataan tadi sudah amat rusak.

“Kakawin Hariwangsa” Karya Mpu Panuluh

Kakawin Hariwangsa adalah salah satu karya sastra Jawa Kuno yang ditulis oleh Mpu Panuluh saat Prabu Jayabaya memerintah di Kediri dari tahun 1135-1157 M. Kata hariwangsa secara harfiah berarti silsilah atau garis keturunan Sang Hari atau Wisnu. Cerita yang dikisahkan dalam bentuk kakawin ini adalah cerita ketika Sang Prabu Kresna, titisan Batara Wisnu, ingin menikah dengan Dewi Rukmini dari negeri Kundina, putri Prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.

Adapun intisari dari kakawin ini adalah sebagai berikut:

Sang Kresna yang sedang berjalan-jalan di taman mendapat kunjungan Batara Narada yang berkata kepadanya bahwa calon istrinya, seseorang yang merupakan titisan Dewi Sri, telah turun ke dunia di negeri Kundina. Sedangkan Kresna yang merupakan titisan Batara Wisnu harus menikah dengannya. Titisan Dewa Sri bernama Dewi Rukmini dan merupakan putri Prabu Bismaka. Tetapi, Prabu Jarasanda sudah berkehendak untuk mengawinkannya dengan Raja Cedi yang bernama Prabu Cedya.

Maka, Prabu Kresna ingin menculik Dewi Rukmini. Lalu pada saat malam sebelum pesta pernikahan dilaksanakan, Kresna datang ke Kundina dan membawa lari Rukmini. Sementara itu, para tamu dari negeri-negeri lain banyak yang sudah datang. Prabu Bismaka sangat murka, dan ia langsung berembug dengan raja-raja lainnya yang sedang bertamu. Mereka takut menghadapi Kresna karena terkenal sangat sakti. Kemudian, Jarasanda memiliki sebuah siasat untuk memeranginya, yaitu dengan meminta tolong kepada Yudistira dan para pandawa lainnya untuk membantu mereka.

BACA JUGA  Lokasi Perjanjian Giyanti, Tempat Pemisahan Surakarta dan Yogyakarta

Kemudian, utusan dikirim ke Prabu Yudistira, dan ia menjadi sangat bingung. Di satu sisi adalah kewajiban seorang kesatria untuk melindungi dunia dan mmerangi hal-hal yang buruk.



Kresna adalah sahabat karib para pandawa, namun perbuatannya adalah curang dan harus dihukum. Kemudian, ia setuju. Namun, Bima marah besar dan ingin membunuh utusan Jarasanda, tetapi dicegah oleh Arjuna. Selang berapa lama, mereka mendapat kunjungan duta Prabu Kresna yang meminta bantuan mereka. Namun, karena sudah berjanji sebelumnya, Yudistira terpaksa menolak sembari menitipkan pesan kepada Sang Duta supaya Prabu Kresna hendaknya tak usah khawatir karena ia sangat sakti.

Lalu, para Pandwa Lima berangkat ke negeri Karawira, tempat Prabu Jarasanda berkuasa. Kemudian bersama para Kurawa, mereka menyerbu Dwarawati, negeri Prabu Kresna. Sementara itu, Kresna sudah bersiap-siap menghadapi musuh, yang dibantu oleh kakaknya Sang Baladewa. Berdua, mereka membunuh banyak musuh. Jarasanda, para Kurawa, Bima, Nakula, dan Sahadewa pun sudah tewas. Prabu Yudistira dibius oleh Kresna sehingga tidak bisa bergerak. Kemudian, Kresna diperangi oleh Arjuna, dan hampir saja kalah. Maka, turunlah Batara Wisnu dari surga. Kresna sebagai titisan Wisnu juga berubah menjadi Wisnu, sedangkan Arjuna yang juga merupakan titisan wisnu berubah pula menjadi wisnu. Lalu Yudistira siuman, dan meminta Wisnu supaya menghidupkan kembali mereka yang telah tewas di medan peperangan. Wisnu setuju, dan ia pun menghujankan amerta, lalu semua ksatria yang telah tewas hidup kembali, termasuk Jarasanda. Kemudian, semuanya datang ke pesta pernikahan Prabu Kresna di Dwarawati.

Bagikan:

Google News

Dapatkan kabar terkini dan pengalaman membaca yang berbeda di Google News.

Berita Terkait