Jowonews

Inovasi Undip, Limbah Batu Bara PLTU untuk Bahan Bangunan

SEMARANG, Jowonews- Limbah hasil pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) ternyata bisa diubah menjadi material bahan bangunan. Inovasi ini dilakukan pusat riset Fakultas Teknik Undip. “Ini merupakan wujud Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC) mendukung pernyataan Presiden RI Joko Widodo untuk mencintai produk dalam negeri,” kata Kepala Pusat Riset Teknologi IHUDRC Fakultas Teknik Undip Dr.-Ing. Asnawi Manaf di Semarang, Rabu (10/9). Asnawi Manaf menegaskan bahwa IHUDRC menyambut dengan antusias, bahkan akan memanfaatkan abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) pada pembakaran batu bara atau FABA (Fly Ash and Bottom Ash). Abu ini, kata Asnawi, merupakan limbah yang dihasilkan dari pembakaran batu bara pada PLTU yang selama ini tidak tahu mau dibuang ke mana. Apalagi, jumlah limbah ini cukup besar karena PT PLN masih mengandalkan sebagian besar sumber energi dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Ia mengatakan bahwa IHUDRC tidak hanya peduli terhadap lingkungan dengan memanfaatkan limbah industri yang selama ini merusak lingkungan, tetapi bisa mengolahnya menjadi bahan bangunan, seperti batu bata dan paving. Selain itu, lanjut dia, pembuatannya melibatkan tenaga kerja lokal, menggunakan unit-unit industri kecil untuk menghasilkan bahan bangunan berkualitas tinggi dan bisa diuji di laboratorium bahan bangunan. Bahkan, dari limbah industri FABA yang sudah diperbolehkan untuk dimanfaatkan ini, menurut Asnawi, bisa mempekerjakan masyarakat yang selama ini kesulitan mendapatkan pekerjaan. Apalagi, hal ini bisa dikerjakan hanya dengan teknologi sederhana yang bisa dilakukan oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sekalipun. “Jadi, IHUDRC mendukung penuh pernyataan Bapak Presiden RI Joko Widodo untuk mencintai produk dalam negeri, bahkan membangun Indonesia dengan cara yang lebih ramah lingkungan,” kata Asnawi yang dikenal sebagai pakar perumahan. Asnawi mengatakan bahwa hal itu sesuai dengan kebijakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang pada tahun ini mengubah tagline pembangunan properti dan konstruksi di Indonesia semula pada tahun 2020 memprioritaskan produksi dalam negeri menjadi tanpa impor. Pelarangan penggunaan barang impor untuk semua proyek properti dan konstruksi mulai tahun ini, kata dia, tidak lain dalam rangka pemulihan ekonomi di Tanah Air akibat imbas dari pandemik Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Sebelumnya, pernyataan Presiden Jokowi mengenai kecintaan terhadap produk dalam negeri dan kebencian terhadap produk asing disampaikan dalam Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan Tahun 2021, Kamis (4/3). Dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tahun 2021 di Istana Kepresidenan RI, Bogor, Jawa Barat, Jumat (5/3), juga menyatakan hal sama.

Pembangunan secara Massif Bukan Akar Masalah Banjir

SEMARANG, Jowonews- Pembangunan secara masif di kota-kota besar bukanlah akar masalah yang menyebabkan di suatu wilayah terjadi banjir sepanjang sesuai dengan RTRW dan memenuhi syarat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau UKL-UPL. “Yang menjadi pertanyaan apakah mereka ketika akan membangun, misalnya perumahan, pengurusan amdal atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak,” kata Pakar perumahan Dr.-Ing. Asnawi Manaf, S.T. di Semarang, Senin (15/2). Kepala Pusat Riset Teknologi Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini mengemukakan hal itu ketika merespons sejumlah pemerhati kota yang berpendapat bahwa akar masalah banjir di sejumlah daerah akibat pembangunan secara masif dan perencanaan tata ruang. Sebelum kepala daerah memberi surat izin perumahan, lanjut Asnawi Manaf, terlebih dahulu melihat hasil evaluasi dokumen lingkungan hidup (DLH) yang disusun oleh pelaku usaha/pengembang perumahan, dalam hal ini adalah amdal atau UKL-UPL. Jika developer sudah mengantongi izin, menurut dia, berarti kegiatan usahanya tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup karena DLH ini menjabarkan pembangunan infrastruktur dan kondisi tanah atau aspek geologis. Selain itu, jenis dampak lingkungan yang mungkin terjadi, baik berupa limbah cair, padat, gas, suara, serta cara pengembang (developer) untuk mengelola dan memantau kegiatan usahanya agar dapat menekan potensi risiko kerusakan lingkungan akibat pembangunan perumahan itu. Asnawi mengemukakan bahwa setiap pembangunan tentu ada eksternalitas negatifnya, kemudian hal ini perlu ada hitung-hitungannya, misalnya membuat kolam retensi, membuat biopori, atau banyak sekali solusinya. “Itu semua ada di amdal atau UKL-UPL,” kata Asnawi sebagaimana dilansir Antara. Menurut dia, tidak hanya mengantisipasi banjir, tetapi juga terkait dengan kemacetan arus lalu lintas di sekitar lokasi pembangunan perumahan. Kajian mengenai dampak lalu lintas dari pembangunan itu tertuang dalam bentuk dokumen hasil analisis dampak lalu lintas (amdal lalin). Ia menegaskan pembangunan itu tidak ada masalah. Akan tetapi, apakah proses perizinan melalui proses amdal atau UKL-UPL serta amdal lalin itu secara murni atau sebaliknya. “Mari kita cermati, kita audit seperti apa sih sistem implementasi pembangunan itu diterapkan di dalam perizinan kita,” kata Kepala IHUDRC Undip Asnawi Manaf.

Sediakan Rumah Terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

SEMARANG, Jowonews- Kehadiran negara dinilai penting agar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bisa membeli rumah bersubsidi. Saat ini harga rumah bersubsisi terus melambung harganya. “Pada tahun 2020, harga rumah subsidi ditetapkan oleh pemerintah sebesar Rp150 juta. Sementara upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota masih di bawah kelompok berpenghasil Desil-5 sebesar Rp3,1 juta per bulan,” kata akar perumahan dari Universitas Diponegoro (Undip) Asnawi Manaf di Semarang, Kamis (3/12). Dia menyebutkan harga tipe rumah sederhana (RS) dan rumah sangat sederhana (RSS) pada 1997/1998 senilai Rp5,9 juta dan Rp4,2 juta, kemudian pada 2009/2010 harganya sudah melonjak menjadi Rp80 juta dan Rp55 juta. Dalam kurun waktu itu, tambahnya, terjadi kenaikan rumah subsidi hingga 1.500 persen. Sementara itu, kenaikan UMP/UMK rata-rata di Indonesia dalam periode yang sama hanya mencapai 86,9 persen. Berdasarkan data UMP dan UMK 2021 di Provinsi Jawa Tengah, lanjut dia, tidak satu pun daerah yang upah minimum kabupaten/kotanya di atas Desil 5. Bahkan, UMK 2021 tertinggi di Provinsi Jawa Tengah, yakni Kota Semarang sebesar Rp2.810.025,00 masih di bawah kelompok Desil 5. Dengan upah sebesar itu, menurut Asnawi, masih memungkinkan mereka mendapatkan rumah melalui perumahan berbasis komunitas asal pemerintah daerah betul-betul hadir untuk bersama rakyatnya mengembangkan perumahan berbasis komunitas Ia berharap dinas perumahan rakyat dan kawasan permukiman (disperakim) di kabupaten/kota berperan sebagai fasilitator antara pemilik lahan yang ingin menjual tanahnya dengan pembeli yang notabene sekelompok orang yang bergabung dalam komunitas. Sebetulnya, kata Asnawi, disperakim menjadi pemain lokal atau local champion yang mempertemukan lahan dan komunitas. Karena instansi ini mengetahui persis lahan mana saja yang masuk zona kuning yang tercantum dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang tidak boleh dilepas melalui mekanisme pasar formal konvensional atau market. “Jadi, ketika di suatu wilayah masuk zona kuning, disperakim harus mengawalnya, kemudian membukakan akses untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang membutuhkan dengan harga terjangkau,” kata inisiator perumahan berbasis komunitas ini, sebagaimana dilansir Antara. Menurut Kepala Pusat Riset Teknologi Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC) Undip ini, disperakim di kabupaten/kota selama ini tidak mengawal pada saat masyarakat berpenghasilan rendah membutuhkan rumah murah layak huni dan terjangkau. “Disperakim ketika membicarakan masalah perumahan, masih berkutat pada program perbaikan rumah yang tidak layak huni dan bedah rumah, atau melihatnya sangat-sangat parsial,” kata mantan Wakil Dekan Fakultas Teknik Undip itu.

Perhatikan Kemampuan Buruh Penuhi Kebutuhan Pokok Perumahan

SEMARANG, Jowonews- Pemerintah perlu memperhatikan kemampuan buruh/pekerja memenuhi kebutuhan pokok, berupa rumah tinggal dengan selalu menaikkan upah minimum mereka setiap tahun. “Kaitannya Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dengan rumah tinggal merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memastikan warga negara kita itu mendapat rumah layak huni,” kata Pakar perumahan dari Universitas Diponegoro (Undip) Dr Ing Asnawi Manaf ST di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (6/11). Anggota Majelis Wali Amanat (MWA) Undip ini mengemukakan hal itu menjawab pertanyaan Antara mengenai penetapan UMP Jawa Tengah 2021 yang mengalami kenaikan 3,27 persen dari Rp1.742.015,00 menjadi Rp1.798.979,00 dengan kemampuan buruh/pekerja membeli rumah. Meski naik sebesar itu, menurut Asnawi Manaf, buruh/pekerja akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan rumah murah karena biasanya pihak bank yang akan memberi pinjaman uang dengan cicilan sebesar 30 persen dari penghasilan mereka. “Bayangkan sekarang dipatok UMP Jateng sebesar Rp1.798.979,00. Maka kalau UMP saja, cicilannya sebesar Rp539.693,70 per bulan,” kata lulusan doktor Universitas Kassel Jerman ini. Dengan kemampuan mencicil sebesar itu, menurut dia, tidak memungkinkan buruh/pekerja menjangkau cicilan Rp800 ribu/bulan sebagaimana Program Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC), salah satu pusat riset teknologi Fakultas Teknik Undip. Kendati demikian Asnawi yang pernah sebagai Wakil Dekan Fakultas Teknik Undip menyambut baik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja karena UMK harus lebih tinggi dari UMP sebagaimana ketentuan dalam Pasal 88C Ayat (5). Bahkan dalam UU Cipta Kerja itu, ada larangan mengurangi atau menurunkan upah, sebagaimana diatur dalam Pasal 191A Huruf b. Pasal itu menyebutkan bahwa bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum undang-undang ini, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah. Dengan demikian, kata Asnawi, buruh/pekerja masih berpeluang untuk mendapatkan rumah dengan skema Kolaborasi ABCG yang kini sedang dilaksanakan di Perumahan Griya Perdana Ungaran. Perumahan ini berbasis komunitas dengan dukungan Program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) Swadaya. Skema ABCG Skema Kolaborasi ABCG yang digagas Asnawi adalah suatu pola pembangunan perumahan yang mengolaborasi akademisi (academic), bisnis (business), komunitas (community), dan pemerintah (government). “Selain model rumah milik untuk kasus-kasus di kota besar yang harga lahan sudah melambung tinggi, Pemerintah sudah harus membangun rumah susun sewa (rusunawa) secara vertikal,” katanya menambahkan. Menyinggung kembali soal kemampuan buruh/pekerja membeli rumah, Asnawi menjelaskan bahwa penghasilan buruh/pekerja berasal dari UMK. Misalnya, harga rumah sekian dengan cicilan Rp800 ribu/bulan, paling tidak penghasilan mereka itu Rp800.000,00 x 4 atau Rp3,2 juta/bulan. “Dengan UMK Semarang 2020 sebesar Rp2.715.000,00/bulan, misalnya, itu masih memungkinkan mencicil Rp800 ribu/bulan selama 15 tahun,” kata Asnawi Manaf yang juga Kepala IHUDRC Undip Semarang.

Perumahan Berbasis Komunitas Relevan di Masa Pandemi

SEMARANG, Jowonews- Skema perumahan berbasis komunitas sangat relevan dilaksanakan pada masa pandemi Covid-19. Karena lingkungan terbangun secara lebih tertata dengan jarak antarbangunan dan luas rumah yang memadai. Hal tersebut disampaikan pakar perumahan dari Universitas Diponegoro  Dr. Ing. Asnawi Manaf, S.T. di Semarang, Jawa Tengah, Jum’at (30/10). Penerapan skema tersebut, lanjut Asnawi, secara masif juga akan membangkitkan kembali gairah kehidupan ekonomi pada saat ancaman krisis ekonomi yang sedang menghantui bangsa ini. Menurut Asnawi, skema ini mengubah bisnis model dari model konvensional yang selama ini diterapkan dengan prinsip “menjual” rumah menjadi “membangun” rumah. “Kita lihat di dalam tradisi membangun rumah keluarga berpenghasilan rendah yang selama ini mereka terapkan secara swadaya dan individual,” kata lulusan doktor Universitas Kassel Jerman ini, sebagaimana dilansir Antara. Dengan skema membangun rumah berbasis komunitas ini, lanjut dia, keswadayaan yang semula individual diorganisasi sehingga masyarakat bisa membangun rumah secara lebih terencana di dalam suatu lingkungan yang lebih tertata. Melalui skema ini, menurut Asnawi, tidak hanya memberikan peluang bagi keluarga kurang mampu untuk mewujudkan rumah impiannya, tetapi juga dapat mengurangi dampak dari munculnya lingkungan-lingkungan kumuh (padat tidak tertata) seperti yang terjadi di kota-kota Indonesia selama ini. Mengingat begitu besar tantangan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi kalangan keluarga dengan pendapatan di bawah Rp6 juta, ditambah lagi dengan situasi pandemi yang sangat berat saat ini, Undip menawarkan suatu gagasan inovatif dan menginisiasi pelaksanaannya dalam bentuk pilot proyek di Desa Branjang, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Untuk mewujudkan hal itu, kata Asnawi yang pernah sebagai Wakil Dekan Fakultas Teknik Undip, Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC), salah satu pusat riset teknologi Fakultas Teknik Undip yang dipimpinnya ini, bekerja sama dengan Kementerian PUPR dan Kementerian ATR/BPN serta Bank Jateng. “Gagasan tersebut adalah skema perumahan berbasis komunitas dengan dukungan program BP2BT (Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan) Swadaya,” kata Asnawi selaku inisiator. Ia berharap proyek ini dapat berjalan dengan baik dan menjadi contoh untuk diterapkan di berbagai daerah lain di Indonesia. Melalui skema ini masyarakat dapat memiliki rumah di dalam suatu lingkungan yang aman, sehat, dan nyaman seharga Rp130 juta saja. “Bahkan, harga ini pun akan mendapatkan program BP2BT hingga Rp40 juta sehingga untuk cicilan rumah subsidi yang biasanya sekitar Rp1,1juta, mereka cukup mencicil sebesar Rp800 ribuan saja per bulan,” kata Asnawi.