Jowonews

Lokasi Perjanjian Giyanti, Tempat Pemisahan Surakarta dan Yogyakarta

Lokasi Perjanjian Giyanti, Tempat Pemisahan Surakarta dan Yogyakarta

SEMARANG – Tahukah kamu bahwa Surakarta dan Yogyakarta dulunya merupakan satu kesatuan dalam Kerajaan Mataram? Namun, sejarah mencatat adanya sebuah perjanjian yang membagi kekuasaan Mataram menjadi dua, yaitu Perjanjian Giyanti. Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755 di Dusun Kerten, Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah. Tempat penandatanganan perjanjian yang kini dikenal sebagai Lokasi Perjanjian Giyanti ini masih berdiri hingga sekarang. Perjanjian ini dibuat pada masa berkobarnya Perang Tahta Jawa Ketiga. Kala itu, Sunan Pakubuwana II dianggap bersalah karena mendukung pemberontakan masyarakat Tionghoa melawan penjajah Belanda. Akibatnya, VOC mencaplok wilayah Mataram di pantai utara Jawa dan Madura. Setelah Sunan Pakubuwana II tutup usia, putranya, Sunan Pakubuwana III, naik tahta berkat dukungan Belanda. Adik Sunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, tidak terima dan bergabung dengan Pangeran Sambernyawa untuk memberontak. Untuk mengakhiri perang, Perjanjian Giyanti pun diadakan. Perjanjian ini membagi kekuasaan Mataram menjadi dua: Lokasi Perjanjian Giyanti kini menjadi situs bersejarah yang terbuka untuk umum. Kamu bisa berkunjung ke sana secara gratis dan menikmati suasana rindang di sekitar situs. Jangan lupa perhatikan batu bulat besar yang tertutup akar pohon, karena di sanalah Perjanjian Giyanti ditandatangani.

Isi Perjanjian Salatiga, Mataram Terbagi Menjadi 3 Wilayah Kekuasaan

Isi Perjanjian Salatiga, Mataram Terbagi Menjadi 3 Wilayah Kekuasaan

SEMARANG – Isi dari dokumen Perjanjian Salatiga yang disepakati pada tahun 1757 menjadi penanda penting bagi perubahan dalam struktur kekuasaan di Mataram. Dahulu, Mataram adalah pusat kekuatan Islam di Jawa, yang mulai berkembang sejak abad ke-16 di bawah kepemimpinan Danang Sutawijaya, yang juga dikenal sebagai Panembahan Senopati. Kerajaan ini pernah menjadi penguasa terkuat di Jawa, merangkul sebagian besar wilayah Pulau Jawa, Madura, bahkan hingga Sukadana di Kalimantan Barat. Namun, perjalanan panjang itu tak lepas dari konflik internal yang meruncing dalam pertarungan merebut tahta. Perseteruan tersebut akhirnya memunculkan pembagian kekuasaan yang signifikan, terutama setelah penandatanganan Perjanjian Salatiga pada tahun 1757. Perjanjian ini memberikan bagian kekuasaan atas wilayah Mangkunegara kepada Raden Mas Said. Langkah ini mengikuti jejak Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang memberikan bagian Yogyakarta kepada Pangeran Mangkubumi sebagai langkah untuk meredakan pemberontakan. Akibat dari perjanjian ini, Mataram pun terbagi menjadi tiga wilayah kekuasaan yang terpisah, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Mangkunegara. Setiap wilayah memperoleh status dan wewenang yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Perjanjian Salatiga juga menjadi penanda penting dalam sejarah Raden Mas Said, yang sebelumnya aktif dalam pemberontakan. Penandatanganan perjanjian tersebut mengakhiri perlawanan yang telah berlangsung lama dan mengisyaratkan era baru bagi Mataram. Latar Belakang Perjanjian Salatiga Perjanjian Salatiga menjadi titik balik dalam sejarah pemberontakan yang dilancarkan oleh Raden Mas Said sejak tahun 1742. Raden Mas Said, yang merupakan putra dari Pangeran Arya Mangkunegaran dan cucu dari Amangkurat IV, memulai perlawanan ini sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dialami oleh keluarganya. Pemberontakan ini juga dipicu oleh sikap Pakubuwono II yang cenderung patuh pada VOC dan berlaku sewenang-wenang terhadap bangsawan Mataram. Hal ini menjadi pemicu bagi Raden Mas Said untuk bergerak bersama pasukannya, yang meliputi teman dekatnya seperti Raden Mas Sutowijoyo dan pamannya, Wirodiwongso. Bersama dengan Raden Mas Garendi, yang juga dikenal sebagai Sunan Kuning, Raden Mas Said melakukan serangkaian aksi pemberontakan, bahkan berhasil menjebol tembok benteng Keraton Kartosuro. Keberanian mereka mengkhawatirkan VOC yang saat itu memiliki pengaruh besar di Mataram. Meskipun Pangeran Mangkubumi sempat mencoba meredam pemberontakan Raden Mas Said dengan memenuhi permintaan yang diajukan Pakubuwono II, namun pemberontakan itu terus berlanjut. Bahkan, Raden Mas Said harus menghadapi tiga kekuatan sekaligus, termasuk pasukan Pakubuwono III, Hamengkubuwono I, dan kekuatan VOC. Keberanian Raden Mas Said dalam mempertahankan pemberontakannya bahkan membuatnya diberi julukan ‘Pangeran Sambernyawa’ oleh Nicolaas Hartingh, perwakilan VOC. Setiap pertempuran yang dilakukannya selalu berujung pada kematian bagi musuh-musuhnya. Namun, pada tahun 1756, Pasukan Raden Mas Said akhirnya setuju untuk kembali ke Keraton Surakarta setelah berhasil mencapai kesepakatan gencatan senjata melalui berbagai bujukan. Tanggal 17 Maret 1757 ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Salatiga, yang mengakhiri secara resmi pemberontakan Raden Mas Said. Perjanjian ini, yang melibatkan pihak Pakubuwono III dan Raden Mas Said, menandai akhir dari periode konflik dan pembagian kembali wilayah Mataram. Isi Perjanjian Salatiga Adapun isi Perjanjian Salatiga yang yaitu sebagai berikut: Perjanjian ini pun membatasi Mangkunegaran untuk tidak memiliki otoritas yang sama tinggi dengan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Gelar Raden Mas Said adalah Kanjeng Gusti Adipati Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara 1 dan berhak secara mutlak berhak memimpin Mangkunegaran. Perjanjian Salatiga menandai runtuhnya Kerajaan Mataram yang terbagi menjadi tiga. Selain itu, perjanjian ini juga berdampak bagi kekuatan VOC, yang semakin memiliki pengaruh besar terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa. Belanda mulai ikut campur tangan dalam urusan kerajaan, seperti pengangkatan raja baru dan sebagainya.

Seri Babad Tanah Jawi: Karya Sastra pada Zaman Kediri bagian 1

Seri Babad Tanah Jawi: Karya Sastra pada Zaman Kediri bagian 1

Karya Sastra pada Zaman Kediri bagian 1 – Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kediri. Pada tahun 1157, Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Sri Jayabaya atas Jenggala. Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja, yang menulis Kakawin Smaradhana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya, terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana. Berikut adalah beberapa karya sastra pada zaman Kediri : “Kakawin Bharatayuddha” Karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh Kakawin Bharatayuddha adalah salah satu karya sastra Jawa kuno yang paling masyhur. Kakawin ini menceritakan peperangan antara kaum Kurawa dan Pandawa, yang disebut peperangan Bharatayuddha.” Karya sastra yang digubah oleh Mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh Mpu Panuluh (Panaluh) ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan Raja Daha (Kediri) tersebut. Tepatnya, kakawin ini selesai ditulis pada tanggal 6 November 1157. Bagian awal atau permulaan sampai tampilnya Prabu Salya ke medan perang dalam kakawin ini ditulis oleh Mpu Sedah, sedangkan begian selanjutnya ditulis (diteruskan) oleh Mpu Panuluh. Konon, ketika Mpu Sedah ingin menuliskan kecantikan Dewi Setyawati, permaisuri Prabu Salya, ia membutuhkan contoh supaya dapat berhasil. Maka, putri Prabu Jayabaya diberikan kepadanya. Tetapi, Mpu Sedah berbuat kurang ajar shingga ia dihukum dan karyanya harus diberikan kepada orang lain. Namun, menurut Mpu Panuluh, setelah hasil karya Mpu Sedah hampir sampai kisah Sang Prabu Salya yang akan berangkat ke medan perang, maka tak sampailah hatinya akan melanjutkannnya. Maka, Mpu Panuluh diminta melanjutkannya. Cerita ini disebutkan pada akhir Kakawin Bharatayuddha. Manurut penyataan Guning, Serat Bharatayuddha itu dalam hal keindahan bahasa dan syair-syairnya dapat dibandingkan dengan syair-sayair bangsa Yunani pada zaman kuno. Dewasa ini, masih banyak perkataan dari serat Bharatayuddha yang digunakan dalam suluk wayang, tetapi perkataan-perkataan tadi sudah amat rusak. “Kakawin Hariwangsa” Karya Mpu Panuluh Kakawin Hariwangsa adalah salah satu karya sastra Jawa Kuno yang ditulis oleh Mpu Panuluh saat Prabu Jayabaya memerintah di Kediri dari tahun 1135-1157 M. Kata hariwangsa secara harfiah berarti silsilah atau garis keturunan Sang Hari atau Wisnu. Cerita yang dikisahkan dalam bentuk kakawin ini adalah cerita ketika Sang Prabu Kresna, titisan Batara Wisnu, ingin menikah dengan Dewi Rukmini dari negeri Kundina, putri Prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri. Adapun intisari dari kakawin ini adalah sebagai berikut: Sang Kresna yang sedang berjalan-jalan di taman mendapat kunjungan Batara Narada yang berkata kepadanya bahwa calon istrinya, seseorang yang merupakan titisan Dewi Sri, telah turun ke dunia di negeri Kundina. Sedangkan Kresna yang merupakan titisan Batara Wisnu harus menikah dengannya. Titisan Dewa Sri bernama Dewi Rukmini dan merupakan putri Prabu Bismaka. Tetapi, Prabu Jarasanda sudah berkehendak untuk mengawinkannya dengan Raja Cedi yang bernama Prabu Cedya. Maka, Prabu Kresna ingin menculik Dewi Rukmini. Lalu pada saat malam sebelum pesta pernikahan dilaksanakan, Kresna datang ke Kundina dan membawa lari Rukmini. Sementara itu, para tamu dari negeri-negeri lain banyak yang sudah datang. Prabu Bismaka sangat murka, dan ia langsung berembug dengan raja-raja lainnya yang sedang bertamu. Mereka takut menghadapi Kresna karena terkenal sangat sakti. Kemudian, Jarasanda memiliki sebuah siasat untuk memeranginya, yaitu dengan meminta tolong kepada Yudistira dan para pandawa lainnya untuk membantu mereka. Kemudian, utusan dikirim ke Prabu Yudistira, dan ia menjadi sangat bingung. Di satu sisi adalah kewajiban seorang kesatria untuk melindungi dunia dan mmerangi hal-hal yang buruk. Kresna adalah sahabat karib para pandawa, namun perbuatannya adalah curang dan harus dihukum. Kemudian, ia setuju. Namun, Bima marah besar dan ingin membunuh utusan Jarasanda, tetapi dicegah oleh Arjuna. Selang berapa lama, mereka mendapat kunjungan duta Prabu Kresna yang meminta bantuan mereka. Namun, karena sudah berjanji sebelumnya, Yudistira terpaksa menolak sembari menitipkan pesan kepada Sang Duta supaya Prabu Kresna hendaknya tak usah khawatir karena ia sangat sakti. Lalu, para Pandwa Lima berangkat ke negeri Karawira, tempat Prabu Jarasanda berkuasa. Kemudian bersama para Kurawa, mereka menyerbu Dwarawati, negeri Prabu Kresna. Sementara itu, Kresna sudah bersiap-siap menghadapi musuh, yang dibantu oleh kakaknya Sang Baladewa. Berdua, mereka membunuh banyak musuh. Jarasanda, para Kurawa, Bima, Nakula, dan Sahadewa pun sudah tewas. Prabu Yudistira dibius oleh Kresna sehingga tidak bisa bergerak. Kemudian, Kresna diperangi oleh Arjuna, dan hampir saja kalah. Maka, turunlah Batara Wisnu dari surga. Kresna sebagai titisan Wisnu juga berubah menjadi Wisnu, sedangkan Arjuna yang juga merupakan titisan wisnu berubah pula menjadi wisnu. Lalu Yudistira siuman, dan meminta Wisnu supaya menghidupkan kembali mereka yang telah tewas di medan peperangan. Wisnu setuju, dan ia pun menghujankan amerta, lalu semua ksatria yang telah tewas hidup kembali, termasuk Jarasanda. Kemudian, semuanya datang ke pesta pernikahan Prabu Kresna di Dwarawati.

Seri Babad Tanah Jawi: Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Kediri

Seri Babad Tanah Jawi: Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu adalah kerajaan yang bercorak Hindu, yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di Kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya, menurut catatan sejarah, Kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam Prasasti Pamwatan yang dikeluarkan oleh Airlangga tahun 1042. Hal ini semua dengan berita dalam Surat Calon Arang bahwa saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha. Kerajaan Kediri merupakan salah satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045. Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan. Seperti telah dikisahkan pada bab sebelumnya, pada 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan, putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala, yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Tidak ada bukti yang jelas begaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi, dalam perkembangannya, hanya ada dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Panjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibu kota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Panjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. Dalam perkembangannya, Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga, Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Menurut Negarakertagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Jenggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga, dan menjadi ibu kota Jenggala. Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling Wai Tai Ta (1178). Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan. Tak banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana, Putri Kerajaan Jenggala. Dengan demikian, akhirnya Jenggala kembali dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji. Mengenai asal mula nama Kediri, ada yang berpendapat bahwa nama Kediri berasal dari kata kedi yanga artinya mandul atau wanita yang tidak berdatang bulan. Menurut kamus Jawa kuno Wojo Wasito, kedi berarti orang kebiri bidan atau dukun. Di dalam lakon wayang, Sang Arjuna pernah menyamar menjadi Guru Tari di negara Wirata, bernama Kedi Wrakantolo. Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kili Suci yang bertapa di Gua Selomangleng, maka kedi berarti suci atau wadad. Selain itu, kata Kediri berasal dari kata diri yang berarti adeg, angdhiri, menghadiri atau menjadi raja (bahasa Jawa Jumenengan). Nama Kediri banyak terdapat pada kesusastraan kuno yang berbahasa Jawa kuno, seperti Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama, dan Kitab Calon Arang. Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri, seperti Prasasti Ceber berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar, Kecamatan Mojo. Dalam prasasti ini, disebutkan, karena penduduk Ceber berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah tanah perdikan. Dalam prasasti tersebut, tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri,” artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri. Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194. Pada prasasti ini, juga disebutkan mengenai nama Kediri yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur. Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo, sehingga raja meningglakan istananya di Katangkatang (tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri). Tatkala Bagawantabhari memperoleh anugrah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga Prasasti Harinjing. Nama Kediri semula kecil, lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang. Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kediri tidak benyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan oleh Kerajaan Jenggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga. Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya Prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui. Sedangkan, urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan. Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabaya berhasil menaklukkan Kerajaan Jenggala dengan semboyannya yang terkenal dalam Prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang. Pada masa pemerintahan Sri Jayabaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling Wai Tai Ta Karya Chou Ku-Fei tahun 1178. Pada masa itu, negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatera. Saat itu, yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa adalah Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatera dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kediri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.

Seri Babad Tanah Jawi: Sumber-Sumber Sejarah Kerajaan Kediri

Seri Babad Tanah Jawi: Sumber-Sumber Sejarah Kerajaan Kediri

Sebelum membahas sejarah berdirinya Kerajaan Kediri, ada baiknya jika kita mengetahui sumber-sumber sejarah Kerajaan Kediri yang bercerita atau menceritakan tentang Kerajaan Kediri. Penting untuk diketahui, sumber sejarah Kerjaan Kediri berasal dari beberapa prasasti yang dimaksud di antaranya sebagai berikut : Prasasti Sirah Keting (1104 M), yang memuat tentang pemberian hadiah tanah kepada rakyat desa oleh Raja Jayawarsa. Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi masalah keagamaan, diperkirakan bersal dari Raja Bameswara (1117-1130 M). Prasasti Ngantang (1135 M) yang menyebutkan tentang Raja Jayabaya yang memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang berupa sebidang tanah yang bebas dari pajak. Prasasti Jaring (1181 M) dari Raja Gandra yang memuat tentang sejumlah nama hewan, seperti Kebo Waruga dan Tikus Finada. Prasasti Kamulan (1194 M) yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, Kerajaan Kediri telah berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi istana di Katang-katang. Selain beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah lain yang berkisah tentang Kerajaan Kediri berasal dari brita asing. Adapun berita asing tentang Kerajaan Kediri sebagian besar diperoleh dari berita Cina. Berita Cina ini merupakan kumpulan cerita dari para pedagang Cina yang melakukan kegiatan perdagangan di Kerajaan Kediri. Misalnya, Kronik Cina bernama Chu Fan Chi karangan Chu Ju Kua (1220 M). Buku ini banyak mengambil cerita dari buku Ling Wai Tai Ta (1778 M) karangan Chu Ik Fei. Kedua buku ini menerangkan keadaan Kerajaan Kediri pada abad ke-12 dan ke-13 M

Seri Babad Tanah Jawi: Kerajaan Kediri

Seri Babad Tanah Jawi: Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri (Kadiri), dalam peta sejarah nasional, sangat popular. Demikian juga pengaruhnya terhadap kehidupan sekarang, kerajaan ini sering kali menjadi referensi bagi masyarakat awam dalam menanggapi fenomena kontemporer. Terkadang, masyarakat awam yang marginal, miskin, dan putus asa itu bernostalgia lagi terhadap kejayaan Kerajaan Kediri. Hal ini tentunya tak lepas dari mitos Ratu Adil yang diwakili oleh Prabu Jayabaya, yang sudah mengakar kuat dalam ingatan massa kejawen. Kerajaan Kediri memiliki peradaban kebudayaan yang tinggi. Bahkan, pada masanya, sudah dihasilkan beberapa karya sastra. Di antaranya adalah cerita Kakawin Barata-Yudha yang diterjemahkan dari kitab Bharata-Yudha ke Bahasa Jawa kuno, dan dengan cerita yang agak berbeda dari cerita-cerita sebelumnya, yaitu menceritakan tentang perang saudara antara Panjalu dan Janggala. Tidak berhenti sampai di situ saja. Dalam bidang spiritual, Kerajaan Kediri juga sangat maju. Pada masa kejayaannya, tempat ibadah dibangun di mana-mana. Para guru kebatinan mendapat tempat yang terhormat. Bahkan, Sang Prabu kerap melakukan tirakat, tapa brata, dan semadi. Ia suka bermeditasi di tengah hutan yang sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan-tidur. Hal ini menjadi aktivitas ritual sehari-hari. Lalu, Kapan Kerajaan Kediri itu berdiri? Apa saja sumber sejarah yang menceritakan sejarah Kerajaaan Kediri? Bagaimana keadaan masyarakatnya? Dan, apa penyebab runtuhnya Kediri? Itulah deretan pertanyaan yang coba dijelaskan pada bab ini. Bab ini dapat dikatakan kelanjutan dari Kerajaan Kahuripan yang dipecah menjadi dua, yaitu Jenggala dan Panjalu (Kediri). Baca selanjutnya Sumber-sumber Sejarah Kerajaan Kediri

Seri Babad Tanah Jawi: Karya Sastra pada Zaman Airlangga

Seri Babad Tanah Jawi: Karya Sastra pada Zaman Airlangga

Karya Sastra pada Zaman Airlangga – Periode Jawa Timur banyak menghasilkan karya-karya sastra. Salah satu karya sastra dari zaman Airlangga yang sampai sekarang terkenal adalah Kitab Arunawiwaha karya Mpu Kanwa yang disusun pada sekitar 1030 M. Kitab Arjunawiwaha menceritakan perkawinan Arjuna dengan bidadari Supraba, hadiah dari para dewa atas jasa Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca yang menyerang dan mengacaukan kahyangan. Arjuna adalah seorang dari Pandawa Lima. Kitab ini dianggap kiasan terhadap kisah hidup Airlangga yang setelah mengalami bermacam penderitaan dan cobaan, akhirnya dapat menyatukan kembali kerajaannya. Mpu Kanwa mempersembahkan karya itu kepada rajanya. Inti kitab Arjunawiwaha adalah bagian dari Wanaparwa dari cerita Mahabarata yang ditulis dalam bentuk syair bahasa Jawa Kuno. Kitab Arjuna Wiwaha bisa dikatakan sebagai permulaan sastra kakawin dalam bahasa Jawa Kuno dalam periode Jawa Timur, dan merupakan gubahan Mpu Kanwa. Sebab, ternyata isinya banyak menyimpang dari episode yang sama dari Mahabharata dalam bahasa Sansekerta maupun dari Kawya Kiratarjuniya karya pujangga Bharawi. Kitab ini digubah pada zaman pemerintahan Raja Airlangga. Berdasarkan keterangan pada akhir naskah Arjunawiwaha yang mengatakan bahwa Mpu Kanwa yang baru pertama kali itu menghasilkan karya sastra merasa gelisah karena harus mempersiapkan diri untuk suatu peperangan dengan mempersembahkan doa-doa, dapat diperkirakan bahwa kitab Arjunawiwaha digubah antara tahun 1028 dan 1035. Adapun penyimpangan dari episode di dalam Mahabharata, menurut Poerbatjaraka, bukan disebabkan oleh Mpu Kanwa tidak paham bahasa Sansekerta, tetapi karena ia hendak menggubah suatu cerita yang utuh yang dapat dipertunjukkan sebagai lakon wayang. Sebagaimana diketahui, tema pokok dalam suatu cerita wayang biasanya adalah kekhawatiran pihak yang baik atas kemenangan sementara pihak yang jahat. Pihak yang baik mencari bentuan kepada keuasaan yang lebih tinggi, dengan bantuan kekuasaan yang lebih tinggi itu pihak yang baik mengadakan perlawanan terhadap pihak yang jahat, kemenangan pihak yang baik, dan cerita diakhiri dengan “tancep kayon”. Seperti yang telah dikatakan, di dalam kitab Arjunawiwaha, dijumpai keterangan yang tidak perlu diragukan lagi tentang adanya pertunjukan wayang kulit. Sangat mungkin, Mpu Kanwa mempunyai tujuan lain dalam menggubah kitab Arjunawiwaha itu, yaitu untuk menceritakan riwayat hidup rajanya. Seperti tela disebutkan, Airlangga mula-mula selama hampir tiga tahun harus hidup di hutan, di lereng gunung, di tengah-tengah para petapa, setelah kerajaan hancur karena sebuah Haji Wurawari. Akan tetapi, rakyat dan para pendeta menobatkannya menjadi raja, yang kemudian berhasil menaklukkan kembali Haji Wurawuri an raja-raja yang lain yang enggan mengakui kemaharajaannya. Sebenarnya, terdapat sedikit perbedaan antara riwayat Airlangga dan cerita Sang Arjuna mula-mula bertapa, lalu dimintai bantuan oleh dewa-dewa untuk membunuh raksasa Niwatakawaca, baru ia dinobatkan menjadi Raja di Keindraan. Sedangkan, Raja Airlangga dinobatkan menjadi raja dahulu, baru kemudian menaklukkan musuh-musuhnya. Dengan demikian, Sang Pengarang, Mpu Kanwa, menggubah Arjunawiwaha dengan mencuplik dari seri Mahabarata sub-bagian Wanaparwa. Relief cerita ini dipahat pada Candi Tlgowangi yang terletak di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Menurut data sejarah, Arjunawiwaha merupakan sebuah kakawin tertua dari periode Jawa Timur setelah peta politik berpindah dari Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan pada zaman-zaman pendahulu Airlangga, seprti Dharmawangsa hingga ke raja besar pendiri periode Jawa Timur, yakni Mpu Sindok, tidak meniggalkan sebuah kakawin pun yang dapat kita lihat sampai saat ini. Kakawin Arjunawiwaha mengandung suatu kaitan sejarah di masa lalu. Untuk mengetahui lebih jelas isi Kakawin Arjunawiwaha ini, berikut cuplikan bagian awal dan akhir karya sastra Mpu Kanwa tersebut : Bagian awal : “Ambek sang paramarthapandita huwus limpad sakeng sunyata tan sangkeng wisaya prayojana nira lwir sanggraheng lokita siddha ning yaawirya don ira sukha ning rat kinigkin nira santosaheletan kelir sira sakeng sang hyang jagatkarena. “Usnisangkwi lebu ni paduka nira sang mangkana lwir nira menggeh manggal ning miket kawijayan sang Parta ring kahyangan.” “Batin yang bijak sungguh-sungguh telah tembus sampai ke tingkat (kesempurnaan) tertinggi. Dari keadaan sunyata (kosong) bukan dari kawasan pancaindra, timbulah tekadnya untuk mengabadikan diri (membuka diri) pada urusan-urusan duniawi. “Semoga amal baktinya yang penuh pahala dan tindakannya yang bersifat kesatria, mencapai tujuannya. Daulat terhadap diri sendiri dan penuh sentosa (ketentraman batin) ia menrima keadaan ini, yakni tetap terpisah oleh tabir dari Sebab Abadi dunia ini.” Bagian akhir : “Sampun keketan ing katharjunawiwaha pangarana nike Saksat tambay ira mpu Kanwa tumatametu-metu kakawin Bharantapan teher angharep samarakarya mangiring ing haji Sri Airlangghya namo ‘stu sang panikelan tanah anganumata.” “Kuletakkan puncak kepalaku pada debu sandal raja yang menampakkan diri dengan cara ini. Ia merupakan sumber berkat yang tak pernah kering untuk menuangkan kemenangan Partha di kediaman para dewa di kahyangan.” Gambaran ini sangat sesuai dengan kenyataan bahwa Airlangga berhasil menegaskan kembali Kerajaan Kahuripan setelah wafatnya Raja Dharmawangsa atas serangan dari kerajaan lain (Wangker), yang tidak berhak atas kedaulatannya. Airlangga melakukan perlawanan dengan tinggal di hutan-hutan bersama para resi dan tokoh-tokoh suci agama selama bertahun-tahun guna mempersiapkan usaha merebut kembali Kerajaan Kahripan. Sebab, bagaimanapun juga, ia masih tergolong kerabat Raja Dharmawangsa, walaupun berasal dari keluarga di Bali. Akhirnya, ia berhasil mengusir raja penjajah beserta sekutunya sehingga kedamaian berhasil ditegakkan kembali. Selesailah penyusunan kitab yang dengan tepat dapat dinamakan Arjunawiwaha. Gubahan ini merupakan usaha Mpu Kanwa dalam menyusun kakawin. Diriwayatkan bahwa tahun 1028-1035, Airlangga berhasil mengalahkan musuh-musuhnya yang pernah membuat Kerajaan Kahuripan berantakan. Dengan demikian, kita bisa menarik benang merah bahwa periode pembuatan kakawin ini adalah sesudah kejayaan Airlangga tersebut. Bahwa Airlangga telah tinggal selama bertahun-tahun di hutan-hutan serta pertapaan atau mandala dan ditemani oleh para resi atau pendeta tentulah juga merupakan suatu periode penggemblengan spiritual dan latihan-latihan rohani sehingga akhirnya ia berhasil mencapai tingkatan kesempurnaan tertinggi sunyata (pada awal kakawin). Akhirnya, ia pun dapat diyakinkan untuk kembali ke dunia, dan membaktikan diri dengan tugas berat serta mulia, yakni memulihkan kedaulatan kerajaannya, dan dengan demikian mengusahakan terjadinya kesejahteraan dunia. Riwayat hidup Airlangga sangat sesuai dengan peran tokoh utama kakawin ini, yakni Arjuna. Sehingga, pemilihan cerita ini merupakan titik tolak tema kakawin tersebut. Pada bagian akhir, disebutkan bahwa sang Mpu Kanwa juga sedang disibukkan dalam persiapan sebuah ekspedisi peperangan. Mungkin, itu bagian dari rangkaian perlawanan Airlangga dalam menaklukkan musuh-musuhnya, atau bisa juga bagian dari pertempuran terakhir. Namun, jika ditelaah dalam cerita Mahabharata, usaha Arjuna dalam bertapa di Gunung Indrakila untuk memperoleh senjata sakti dalam rangka melawan Kurawa dan persiapannya dalam perang akbar Baratayudha nantinya, mungkin kita bisa berasumsi bahwa periode … Baca Selengkapnya

Seri Babad Tanah Jawi: Kahuripan sebagai Ibu Kota Jenggala

Seri Babad Tanah Jawi: Kahuripan sebagai Ibu Kota Jenggala

Kahuripan sebagai Ibu Kota Jenggala – Sebagaimana disebutkan, pada akhir pemerintahannya, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan tahta antara kedua putranya. Calon raja sebenarnya, yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi, memilih menjadi petapa daripada naik tahta. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu bagian barat bernama Kadiri (beribu kota di Daha) diserahkan kepada Sri Samarawijaya, dan bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, yang diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Kahuripan dalam Sejarah Majapahit Nama Kahuripan muncul kembali dalam catatan sejarah Kerajaan Majapahit yang berdiri tahun 1293. Raden Wijaya (Raden Sesuruh versi Babad Tanah Jawi) sang pendiri kerajaan tampaknya memperhatikan adanya dua kerajaan yang dahulu diciptakan oleh Airlangga. Dua kerajaan tersebut adalah Kadiri alias Daha dan Janggala alias Kahuripan atau Jiwana. Keduanya dijadikan sebagai daerah bawahan yang paling utama oleh Raden Wijaya. Daha di barat, Kahuripan di timur, sedangkan Majapahit sebagai pusat. Pararaton mencatat beberapa nama yang pernah menjabat sebagai Bhatara i Kahuripan atau disingkat Bhre Kauripan. Yang pertama adalah Tribhuana Tunggadewi, putri Raden Wijaya. Setelah tahun 1319, pemerintahannya dibantu oleh Gajah Mada yang diangkat sebagai Patih Kahuripan, karena berjasa menumpas pemberontakan Ra Kuti. Hayam Wuruk, sewaktu menjabat yuwaraja, juga berkedudukan sebagai Raja Kahuripan bergelar Jiwanarajyapratistha. Setalah naik tahta Majapahit, gelar Bhre Kahuripan kembali dijabat oleh ibunya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi. Sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi yang menjabat Bhre Kahuripan adalah cucunya, yang bernama Surawardhani. Lalu ia digantikan oleh putranya, yaitu Ratnapangkaja. Sepeninggal Ratnapangkaja, gelar Bhre Kahuripan disandang oleh keponakan istrinya (Suhita) yang bernama Rajasawardhana. Ketika Rajasawardhana menjadi Raja Majapahit, gelar Bhre Kahuripan diwarisi oleh putra sulungnya, yang bernama Samarawijaya.