Pemkab Banyumas Raih Penghargaan Kinerja Pengawasan Terbaik II 2023
Pemkab Banyumas berhasil meraih penghargaan atas kinerja pengawasan terbaik II dalam ajang Gelar Pengawasan Daerah Provinsi Jawa Tengah.
Pemkab Banyumas berhasil meraih penghargaan atas kinerja pengawasan terbaik II dalam ajang Gelar Pengawasan Daerah Provinsi Jawa Tengah.
Pemkab Banyumas meraih penghargaan Bhumandala Ariti untuk Kinerja Simpul Jaringan Informasi Geospasial Terbaik, menandakan keberhasilan dalam pengelolaan data spasial untuk pembangunan daerah.
Lomba makan dengkil kambing di Ponpes Raudlatul Huda, Banyumas, sukses menarik perhatian dan semangat santri dalam merayakan Hari Santri Nasional.
Hutan Pinus Limpakuwus di Banyumas, Jawa Tengah, adalah destinasi alam yang ideal untuk keluarga, menawarkan keindahan, aktivitas seru, dan suasana yang menenangkan.
Tim mahasiswa Universitas Telkom Purwokerto mengantongi dua penghargaan di ajang Krenova Banyumas 2024, sebagai pengakuan atas inovasi mereka.
BANYUMAS – Di bawah langit biru yang cerah, lapangan Desa Lumbir di Kabupaten Banyumas seakan berubah menjadi panggung megah untuk sebuah perayaan yang khas dan meriah. Pada Kamis pagi, 8 Agustus 2024, suasana riuh meriah karena lebih dari 400 ekor kambing dari berbagai penjuru Kecamatan Lumbir berbaris rapi, siap menunjukkan keunggulannya dalam Festival Kambing 2024. Kegiatan tahunan ini, yang dihelat di tengah perayaan HUT ke-79 Republik Indonesia, memancarkan aura kegembiraan dan kebanggaan lokal. “Peringatan HUT RI ke-79 di Lumbir memang sengaja dibuat berbeda, karena memang saya kemas salah satunya dengan Festival Kambing Kecamatan Lumbir 2024, disamping untuk memperkuat branding Lumbir sebagai sentra peternakan kambing” ungkap Camat Lumbir, Susanti Tri Pamuji. Acara ini tidak hanya menandai perayaan kemerdekaan tetapi juga merayakan keberhasilan dan dedikasi para peternak kambing lokal. Festival ini digelar dengan tujuan utama memperkuat citra Lumbir sebagai pusat peternakan kambing yang berkelas. Lebih dari sekadar kontes, festival ini adalah wadah apresiasi bagi peternak kambing dan kesempatan untuk mendorong pengembangan lebih lanjut dalam budidaya dan pembibitan kambing, khususnya kambing peranakan etawa (PE) dan Jawa. Masing-masing desa di Kecamatan Lumbir diharuskan mengirimkan minimal 20 ekor kambing, dan antusiasme warga terlihat jelas dari jumlah peserta yang melebihi target panitia. Di tengah lapangan, empat kategori kambing bersaing ketat: betina induk/calon induk PE, pejantan/calon pejantan PE, betina induk/calon induk Jawa, dan pejantan/calon pejantan Jawa. Setiap ekor kambing dievaluasi dengan seksama berdasarkan kriteria seperti kesehatan ternak, ukuran tanduk, kepala, leher, paha, kaki, ambing, dan warna bulu. Kompetisi ini dirancang dengan sangat teliti untuk memastikan bahwa setiap kambing dinilai secara adil dan menyeluruh. Bayu Setyo Nugroho, seorang peternak dari Desa Dermaji, terlihat sibuk dengan persiapan terakhir untuk empat ekor kambingnya. “Untuk pola pakan, perawatan dan lainnya kita lakukan seperti biasa, cuma memang sebelum didatangkan kambing-kambing ini kita mandikan dulu dengan shampo khusus,” ujarnya. Kegiatan ini tidak hanya memberikan hiburan tetapi juga memperkuat rasa kebanggaan dan identitas komunitas Lumbir sebagai pusat peternakan kambing. Selain itu Festival Kambing Lumbir ini tidak hanya sekadar acara tahunan, tetapi juga simbol kekuatan komunitas dan dedikasi terhadap keberhasilan bersama.
PURWOKERTO – Di tengah semaraknya kehidupan kampus, mahasiswa Universitas Islam Negeri Prof KH Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, terutama yang bergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Karawitan “Setya Laras”, menunjukkan komitmen yang kuat untuk melestarikan kebudayaan dan seni tradisional. “Kami berjanji untuk terus mendukung dan mengembangkan seni tradisional, khususnya karawitan, dengan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak dan melalui kreativitas anggota kami,” ujar Vicka Satya Anggareni, Ketua UKM Karawitan “Setya Laras” UIN Saizu, dengan antusias. Salah satu upaya kolaborasi yang dilakukan adalah dengan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI) Purwokerto. Mereka telah merencanakan pertunjukan seni karawitan secara berkala di RRI Purwokerto sebagai bagian dari kerja sama antara kedua lembaga tersebut. “Saat ini, kami masih mempersiapkan diri untuk pertunjukan yang akan datang,” ungkapnya, sambil menjelaskan bahwa dia sendiri adalah mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam di Fakultas Dakwah UIN Saizu. Mereka tidak berhenti di situ, melainkan juga berencana untuk mengembangkan kanal YouTube mereka dengan konten yang berkaitan dengan proses pembuatan karya seni, sebagai bagian dari inisiatif besar UKM Karawitan “Setya Laras” ke depan. Menyokong pandangan ini, Pembina UKM Karawitan “Setya Laras” Warto menyatakan bahwa kolaborasi dengan RRI Purwokerto bertujuan untuk memberikan platform bagi ekspresi kreatif dan mendukung perkembangan seni tradisional, khususnya karawitan. “Kegiatan ini akan menjadi momen penting dalam agenda seni lokal, dengan fokus pada karawitan, tarian, dan pedalangan,” paparnya dengan semangat. Menghadapi tantangan ini, anggota UKM Karawitan “Setya Laras” telah mempersiapkan diri dengan latihan rutin dan menggarap berbagai jenis gending, seperti Gending Banyumasan, Renggong Manis, dan Blenderan. Mistara Pradana Putra, seorang penggiat seni karawitan, berharap bahwa semua persiapan yang dilakukan oleh UKM Karawitan “Setya Laras” akan menghasilkan kegiatan yang sukses, sebagai bagian dari usaha mereka dalam mempertahankan seni tradisional. “Semoga kegiatan ini akan menjadi bagian tetap dalam kalender seni di RRI Purwokerto,” tuturnya, penuh harap.
BANYUMAS – Jamaah Islam Aboge, yang dikenal dengan sistem penanggalan uniknya, sering menjadi perbincangan hangat. Mereka kerap memulai puasa Ramadan dan merayakan Idul Fitri pada tanggal yang berbeda dengan penanggalan resmi pemerintah. Penganut Islam Alif Rebo Wage (Aboge) tersebar luas di Kabupaten Banyumas, khususnya di wilayah Kecamatan Ajibarang, Gumelar, dan Wangon. Namun, seperti apa kehidupan umat Islam Aboge yang selama ini hidup berdampingan dengan masyarakat pada umumnya? Sulam (54), salah satu juru kunci Masjid Saka Tunggal Baitussalam, menjelaskan bahwa umat Islam Aboge adalah keturunan dari Kyai Mustolih atau dikenal sebagai Mbah Tolih. Mbah Tolih adalah seorang ulama yang menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut sekitar 7 abad silam. “Cikakak, konsep di bawah pendidikan dan pengajaran dari Mbah Tolih, yang membuat masjid. Tahunnya kurang jelas, namun sejarah mencatat bahwa masjid Saka Tunggal sudah ada sebelum era Kerajaan Demak,” ujar Sulam. Meskipun banyak umat Islam Aboge yang merantau, mereka tetap satu keturunan Mbah Tolih. Kepala Desa Cikakak, Akim, menambahkan bahwa lebih dari setengah penduduk desa tersebut adalah penganut kepercayaan Islam Aboge. “Lebih dari setengah warga desa Cikakak masuk Islam Aboge. Satu dusun itu otomatis. Dusun lain juga banyak yang mengikuti,” ungkap Akim. Meski memiliki sistem penanggalan yang berbeda, kelompok Islam Aboge nyaris tidak berbeda dengan masyarakat Muslim pada umumnya. Mereka menjalankan ibadah dan menggunakan kitab yang sama. Perbedaan utamanya terletak pada pengucapan, di mana Aboge mengutamakan “pasah” daripada “paseh.” “Paseh itu cara bacaan Al-Quran, harus sesuai dengan yang tertulis. Tapi kalau Aboge, disisi lain tetap menggunakan pasehnya, tetapi lebih fokus pada pasah-nya,” jelas Akim. Istilah “pasah” menunjukkan keyakinan dan akhlak, lebih berfokus pada perilaku dan keyakinan ketimbang ilmu pengetahuan. Meskipun tidak ada catatan tertulis silsilah para kuncen Aboge Cikakak, mereka tetap menjaga tradisi ini selama berabad-abad. Dalam konteks puasa Ramadan, penganut Islam Aboge Banyumas baru akan memulai puasa pada Rabu (13/3), menandai perbedaan penanggalan yang khas dan menarik untuk diikuti.