Nikmati Kesegaran Alam di Umbul Brondong Klaten, Surga Liburan untuk Si Kecil dan Keluarga
Umbul Brondong di Desa Ngrundul, Klaten, menawarkan pengalaman liburan seru bagi keluarga dengan kolam renang yang segar dan ramah anak.
Umbul Brondong di Desa Ngrundul, Klaten, menawarkan pengalaman liburan seru bagi keluarga dengan kolam renang yang segar dan ramah anak.
Ekowisata Kali Talang di Desa Balerante, Klaten, menyuguhkan panorama menawan Gunung Merapi dan pengalaman olahraga ekstrem yang mengundang wisatawan dari berbagai negara.
Harga sayur mayur yang menurun drastis memicu kesulitan bagi petani di Kabupaten Klaten, dengan tomat dijual hanya Rp 1.000 per kilogram.
KLATEN – Ada banyak alasan yang membuat Makam Sunan Pandanaran di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah selalu ramai dikunjungi oleh peziarah. Salah satunya adalah keberadaan kuliner yang tidak bisa ditemukan di tempat lain, yaitu jenang kapuronto. Jenang kapuronto adalah kudapan khas yang hanya tersedia saat perayaan Hari Jadi Klaten yang dirayakan setiap 28 Juli. Kudapan ini memiliki kesamaan dengan wajik, namun ditaburi dengan parutan kelapa sangrai. Biasanya, jenang kapuronto disajikan bersamaan dengan hidangan khas perayaan seperti tumpeng nasi putih, ketupat, ayam ingkung, sambal goreng, dan kerupuk. Yang menarik, jenang kapuronto tidak dijual secara komersial karena hanya disajikan untuk keperluan perayaan tersebut. Kudapan ini baru boleh dinikmati oleh siapa pun setelah acara doa bersama selesai. Menurut Juru Kunci Makam Sunan Pandanaran, Sugiyanto, jenang kapuronto disajikan sebagai ungkapan syukur atas doa-doa yang terkabul. Jenang ini dibagikan kepada masyarakat sekitar kompleks makam Sunan Pandanaran sebagai bentuk penghormatan. Proses memasak jenang kapuronto tidak terlalu rumit. Bahan-bahannya mudah didapatkan, yaitu beras ketan, gula jawa, dan santan kelapa. Berikut adalah langkah-langkah dalam memasak jenang kapuronto: Jenang kapuronto kabarnya merupakan salah satu warisan dari Sunan Pandanaran atau Ki Ageng Pandanaran, yang pernah menjabat sebagai Adipati Semarang. Beliau meninggalkan jabatan tersebut atas saran dari Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Bayat dan sekitarnya. Tradisi mengolah jenang kapuronto tetap dilestarikan sebagai penghormatan kepada Sunan Pandanaran. Meskipun tidak dijual untuk keuntungan pribadi, kudapan ini tetap disajikan pada momen-momen tertentu, seperti Hari Jadi Klaten.
KLATEN – Pohon-pohon yang rindang di sebuah rumah kosong di Desa Kranggan, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, kini menjadi sorotan warga setempat. Keberadaan koloni ulat bulu yang cukup besar telah menimbulkan ketidaknyamanan bagi penduduk sekitar. Namun, warga dapat bernapas lega karena petugas dari Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Kabupaten Klaten (Damkar) turun tangan untuk mengatasi masalah ini. “Sudah beberapa hari terakhir ini kami merasakan ketidaknyamanan karena ulat bulu ini. Baru hari ini kami melaporkannya karena keberadaannya telah merambah ke berbagai sudut di sekitar lokasi. Bahkan sudah sampai ke teras rumah, membuat kami merasa gatal-gatal,” ujar Dwi Wahyu Nugroho, seorang warga setempat kepada detikJateng pada Selasa sore. Menurut cerita Dwi, ada sekitar 5-7 rumah di sekitar wilayah tempat sarang ulat tersebut berada. Ulat-ulat tersebut bersarang di pohon mangga dan talok yang terletak di depan dan belakang rumah kosong tersebut. “Ulat-ulat ini bersarang di pohon mangga dan talok di depan dan belakang rumah kosong itu. Untungnya, tidak ada warga yang terpaksa mengungsi,” tambah Dwi. Dwi juga mengungkapkan bahwa keberadaan ulat bulu ini bukanlah hal baru bagi mereka. Beberapa tahun lalu, situasi serupa juga pernah terjadi di lokasi yang sama. “Beberapa tahun yang lalu, kejadian serupa juga pernah terjadi di lokasi yang sama, di belakang rumah kosong ini. Karena merasa khawatir, saya langsung melaporkannya kepada Kepala Desa,” lanjutnya. Kepala Desa Kranggan, Gunawan Budi Utomo, mengonfirmasi bahwa jenis ulat bulu yang hadir kali ini sama dengan yang mereka hadapi beberapa tahun lalu. Lokasinya pun tidak jauh berbeda, hanya sekitar 50 meter dari tempat sebelumnya. “Jaraknya sekitar 50 meter dari tempat sebelumnya. Beberapa waktu yang lalu, ada warga yang terpaksa mengungsi, tapi kali ini situasinya sedikit berbeda. Selain melaporkan kepada Damkar, besok kami akan menggerakkan relawan desa untuk membantu penanganan masalah ini,” jelas Gunawan. Ulat bulu yang bersarang di bagian bawah batang pohon mangga dan talok tersebut telah menjadi perhatian tim pemadam kebakaran dari Satpol PP Pemerintah Kabupaten Klaten. Mereka telah menyemprotkan obat cair ke sarang-sarang ulat tersebut. Selain itu, petugas dari POPT Dinas Pertanian Pemerintah Kabupaten Klaten juga turut hadir di lokasi untuk memberikan bantuan. Sebelumnya, serangan ulat bulu juga telah melanda sembilan rumah warga di Dusun Sumber Wetan, Desa Sumber, Kecamatan Trucuk, Klaten. Hal ini telah memaksa sebagian penghuni rumah untuk mengungsi demi keselamatan mereka akibat trauma yang ditimbulkan oleh serangan ini. “Sudah dua hari yang lalu, tetangga sebelah harus mengungsi. Kami belum tahu apakah mereka sudah pulang atau belum. Satu-satunya yang mengungsi adalah rumah milik Wagiman,” ungkap Semo (66), salah satu korban serangan ulat bulu, pada hari Senin sore lalu. Menurut Semo, serangan ulat bulu tersebut telah terjadi selama sekitar sembilan hari terakhir. Namun, sekitar dua bulan sebelumnya, keberadaan ulat-ulat tersebut sudah terdeteksi meskipun jumlahnya masih sedikit. Mereka bersarang di pohon mangga yang berada di sebuah kebun kosong. Melalui upaya-upaya yang telah dilakukan oleh petugas terkait, diharapkan masalah ini dapat segera teratasi dan masyarakat dapat kembali hidup dengan aman dan nyaman di lingkungan mereka.
KLATEN – Di tengah langit cerah Desa Pundungan, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, suara tawa dan semangat menggema saat para petani dari Kelompok Tani Budi Raharjo berkumpul untuk mengatasi serangan tikus yang telah mengganggu ladang-ladang mereka. Acara ini menjadi momen solidaritas yang hangat, dihadiri oleh perangkat desa dan kecamatan, Fungsional POPT Dirjen Perlindungan Tanaman Kementan, POPT provinsi, hingga PPL Kabupaten. Hari itu, para petani berusaha memerangi serangan tikus yang telah berlangsung selama beberapa bulan. Serangan tikus ini telah mempengaruhi sekitar setengah dari lahan padi seluas 71 hektare di Desa Pundungan. Lokasi serangan tikus mencapai 20 patok sawah, dan petani sudah merasakan dampaknya secara langsung. “Saya sendiri dapat 25-an ekor tadi. Ya senang sekali bisa membantu petani, uangnya cuma Rp 50.000 tapi itung-itung untuk kenang-kenangan,” kata seorang petani bernama Suradi dengan senyum di wajahnya. Semua petani yang berpartisipasi mendapat uang apresiasi sebesar Rp50.000 sebagai tanda terima kasih atas upaya mereka. Serangan tikus kali ini dianggap yang paling parah dalam beberapa tahun terakhir. Para petani berusaha mengatasi masalah ini dengan gropyokan, yang melibatkan sekitar 40 orang petani. Hasilnya cukup mengesankan, dengan lebih dari 100 ekor tikus yang berhasil dikumpulkan dalam waktu singkat. Menurut Ketua Kelompok Tani Budi Raharjo, Joko Setiyono, tantangan serangan tikus ini mendorong petani untuk selalu waspada. “Tikus sudah ada lima bulan tapi yang parah sebulan ini,” kata Joko. Petani menggunakan umpan racun yang efektif untuk mengatasi serangan tikus ini. Sementara itu, Fungsional POPT Dirjen Perlindungan Tanaman Kementan, Eko Setiyoko, mengungkapkan data yang cukup mengkhawatirkan. “Di Desa Pundungan dalam satu meter persegi ada dua lubang tikus aktif. Satu lubang aktif bisa menghasilkan 300-500 ekor,” jelas Eko. Untuk mengatasi masalah ini, Kementan berupaya menggerakkan petani agar lebih aktif dalam mengendalikan serangan tikus. Selain gropyokan, Kementan juga berharap adanya pemeliharaan burung hantu (Rubuha) yang lebih banyak di Desa Pundungan dan Kecamatan Juwiring, karena burung hantu efektif dalam mengendalikan tikus. Namun, untuk mewujudkannya, masih diperlukan peraturan desa yang melarang perburuan burung hantu. Semua pihak berharap agar langit biru di Desa Pundungan akan segera dipenuhi oleh banyak Rubuha yang membantu para petani dalam mengatasi serangan tikus yang merusak panen mereka. Foto Dok. Detik Jateng
KLATEN – Apakah Anda tahu bahwa desa tertua di Indonesia terletak di Jawa Tengah? Usia desa tertua di Jawa Tengah sudah lebih dari 1.000 tahun. Keberadaan desa tertua di Jawa Tengah terungkap melalui sebuah prasasti yang ditulis dalam bahasa Jawa Kawi. Dalam prasasti tersebut, desa tertua di Jawa Tengah telah berdiri sejak tahun 788 Saka atau 866 Masehi, yaitu pada tanggal 11 hingga 12 November. Desa tertua ini terletak di Kabupaten Klaten. Menurut laman resmi Pemerintah Kabupaten Klaten, desa tersebut bernama Upit atau lebih dikenal sebagai Desa Ngupit. Nama desa ini juga tercatat dalam prasasti penanda batas wilayah. Rakai Halaran menetapkan tanah sima atau tanah perdikan yang bernama Upit, yang berarti daerah bebas pajak. Artinya, warga di tanah perdikan memiliki hak untuk mengelola tanah mereka sendiri tanpa harus membayar pajak kepada penguasa. Desa Ngupit masuk dalam wilayah Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten. Namun, secara administratif, Desa Ngupit sudah tidak ada lagi sekarang. Wilayahnya telah dibagi menjadi Desa Kahuman dan Desa Ngawen.
KLATEN – Kemunculan air terjun di sebelah utara lokasi wisata Girpasang, kawasan Gunung Merapi, Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten ini membuat heboh pengunjung. Di dekat air terjun terdapat goa yang legendanya dikaitkan dengan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya. “Air terjun itu terlihat kemarin sore (Minggu 1/1/2023) sekitar pukul 16.00 WIB. Saat kabut hilang terlihat garis putih seperti menara di kejauhan,” kata Subardi, kata seorang wisatawan dari desa/kecamatan Kemalang, Senin (2/1/2023). Subardi menjelaskan, setelah mengamati garis putih mirip puncak menara di belakang Desa Gir Pasang, ternyata terlihat seperti air terjun. Aliran air juga tampaknya meningkat saat hari mulai gelap. Sementara itu, Ketua RT 07 Dusun Gir Pasang, Gino mengatakan, yang dilihat pengunjung bukanlah ilusi, melainkan air terjun. Penduduk setempat menyebut air terjun ini sebagai air terjun Grenjeng. “Warga di sini menyebutnya air terjun Grenjeng. Letaknya di utara agak timur desa Gir Pasang, tapi masih masuk wilayah Klaten,” kata Gino kepada wartawan saat dikonfirmasi. Menurut Gino, air terjun itu pernah dikunjungi warga sekitar. Tapi medan menuju ke sana agak sulit. “Medannya berat, tidak mudah. Jaraknya ratusan meter dari Gir Pasang,” kata Gino. Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Subur menambahkan, air terjun itu nyata adanya. Jalan menuju lokasi pun sebenarnya ada. “Ada jalan menuju tempat itu, tapi itu hanya jalan bagi orang untuk mencari rumput. Menurut kami itu potensi wisata, tapi kita harus membuat jalur jalan terlebih dahulu,” katanya. Jejak Jaka Tingkir Kemunculan air terjun Gir Pasang juga mengungkap jejak Jaka Tingkir. Di dekat air terjun terdapat goa yang legendanya dikaitkan dengan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya. “Gua itu namanya Gua Dowo. Lokasinya berada sebelum air terjun,” kata Ketua Pokdarwis Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Subur dikutip dari Detik Jateng, Rabu sore (4/1/2023). Menurut Subur, goa tersebut adalah goa alam yang terletak di atas tebing. Gua ini terletak sebelum air terjun. “Untuk goa sebelum air terjun harus naik, posisinya di tebing. Gua itu adalah gua alami dan yang jelas ketika saya ke sana sebelumnya, lokasi tersebut digunakan untuk ritual, ”kata Subur. Menurut Subur, goa tersebut tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu dalam. Konon menurut riwayat orang dahulu, lanjutnya, Jaka Tingkir pernah mengunjungi gua tersebut. “Konon katanya, tapi entah benar atau tidak, Jaka Tingkir ada di dalam goa. Itu cerita nenek moyang dulu, goanya tidak terlalu besar tapi banyak sisa-sisa ritual di sana.” , kata Subur. Seperti yang kita ketahui bersama, Jaka Tingkir atau Mas Karebet adalah anak dari Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging (Boyolali). Sebagai pemuda bergabung dengan Nyi Ageng Tingkir (Salatiga) sebelum menjadi menantu Raja Demak dan akhirnya menjadi Raja Pajang (Kartasura, Sukoharjo).