Jowonews

Desa Kadirejo Kabupaten Semarang Manfaatkan Kotoran Sapi Untuk Energi Penerangan

Desa Kadirejo Kabupaten Semarang Manfaatkan Kotoran Sapi Untuk Energi Penerangan

SEMARANG – Kotoran sapi adalah limbah yang biasanya dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Di berbagai negara, kotoran sapi dikeringkan dan digunakan sebagai bahan bakar. Selain itu, seringkali kotoran sapi juga dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas untuk dibakar dan menghasilkan listrik atau panas. Di Desa Kadirejo, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang, limbah kotoran sapi digunakan menjadi biogas untuk penerangan. Kotoran sapi tersebut berasal dari salah satu kandang komunal yang berada di desa tersebut. “Selain dimanfaatkan sebagai biogas juga dimanfaatkan menjadi pupuk,” kata Kepala Desa Kadirejo, Riyadi, dikutip dari Tribun Jateng, Sabtu (6/8/2022). Menurutnya pemanfaatan ini lebih efektif karena sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk, kotoran sapi dapat dimanfaatkan terlebih dahulu menjadi biogas. Sehingga tak perlu lagi melakukan penggilingan kotoran sapi. “Sebelum menjadi pupuk, kita olah dahulu menjadi biogas dan dari limbah biogas ini dapat dijadikan pupuk,” kata Riyadi. Riyadi menjelaskan, jenis lampu yang digunakan adalah lampu jenis petromak, jadi lampung tersebut akan langsung menyala terang saat dialiri gas. Saat ini gas dialirkan melalui pralon ke beberapa lampu. “Saat ini baru ada empat lampu. Tempat kotoran sapi dengan volume 20 meter kubik, dapat dimanfaatkan untuk menyalakan lampu dari malam sampai pagi hari tanpa putus,” ungkapnya. Pemanfaatan biogas ini, lanjutnya, saat ini masih dalam tahap uji coba. Apabila lancar serta warga di desanya telah mengetahui manfaatnya, maka pihaknya akan mendorong masyarakat untuk menghemat listrik dengan biogas ini. “Kalau menggunakan listrik kan harus bayar, tapi kalau menggunakan biogas ini tidak bayar sama sekali. Apalagi di daerah sini juga banyak peternak sapi yang limbahnya dapat dimanfaatkan jadi seperti ini,” tandasnya. Lampu penerangan dari biogas ini, menurutnya tingkat keterangannya sama seperti lampu yang menggunakan listrik. Foto: Doc. Tribun Jateng

Yuk Ambil Bagian di 1000 Kebaya, Untukmu Indonesiaku

Yuk Ambil Bagian di 1000 Kebaya, Untukmu Indonesiaku

SEMARANG – Sebagai salah satu upaya untuk melestarikan kebudayaan Indonesia, Griya Persada Convention Hotel & Resort Bandungan akan menyelenggarakan kegiatan 1000 Kebaya, Untukmu Indonesiaku. Kegiatan dalam moment kemerdekaan ini akan dilaksanakan pada 21 Agustus 2022. Dalam kegiatan ini juga akan dilakukan penggalangan dana yang seluruhnya akan disalurkan melalui Dinas Sosial Kabupaten Semarang. General Manager Griya Persada, Guntur Wibowo mengatakan, pihaknya memiliki dua misi yakni pelestarian budaya, sekaligus mengajak masyarakat/komunitas untuk lebih peduli terhadap sesama dengan melakukan donasi kemanusiaan. “Dalam momen kemerdekaan ini, masih banyak masyarakat di luar sana yang belum pulih dari serangan pandemi COVID–19 selama dua tahun lalu. Kegiatan ini sekaligus sebagai wujud kepedulian terhadap sesama dan mengamalkan sila ke 2 Pancasila,” kata Guntur, dikutip dari Antara Jateng, Sabtu (6/8/2022). Menurutnya, hal itu sejalan dengan tema ulang tahun Indonesia ke-77 yakni Pulih Lebih Cepat Bangkit Lebih Kuat. Kebaya adalah busana yang identik dengan Wanita Indonesia. Kebaya telah ada sejak abad ke-7 yang dibawa oleh budaya dari Timur Tengah dengan nama qaba atau jubah panjang, yang berubah setelah portugis datang ke Indonesia dan berubah menjadi “cabaya”. Hal tersebut didukung dengan maraknya kemunculan berbagai komunitas perempuan yang bertujuan mengangkat kebaya sebagai busana tradisional kebanggaan Indonesia yang dapat digunakan dalam setiap aktivitas sehari-hari. “Untuk transparansi dari misi donasi kemanusiaan ini, semua keuntungan yang didapat dari event 1000 Kebaya: Untukmu Indonesiaku akan didonasikan melalui Dinas Sosial Kabupaten Semarang. Sedangkan untuk link pendaftaran bagi yang mau gabung bisa melalui https://bit.ly/1000kebaya,” kata Guntur Wibowo.

Reog Jadi Kekayaan Seni Milik Kabupaten Semarang

Reog Jadi Kekayaan Seni Milik Kabupaten Semarang

UNGARAN, Jowonews.com – Cetar-ceter pecut dari sejumlah lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam langsung disambut bunyi gamelan dan sinden yang melantunkan tetembangan Jawa. Sesaat kemudian, sejumlah anak-anak muda mengenakan busana beraneka warna-warni beserta kuda lumping dengan rancak menyuguhkan tarian “keprajuritan” masuk dalam ruangan. Sebuah kuda-kudaan terbuat dari anyaman bambu dibawa mereka dikibaskan ke kanan dan ke kiri sambil menghentakkan kaki ke lantai. Semakin lama, ritme musik menjadi cepat. Satu per satu penari pun mulai terlihat garang. Sejumlah atraksi diperlihatkan. Mulai berguling-guling di atas pecahan kaca, sampai pada suguhan memakan kaca dari sebuah bohlam listrik. Itulah suguhan dari kesenian reog milik kelompok Langen Tulung Manunggal Budaya, Desa Mejing, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Minggu (30/1/2022). Mereka tampil dalam acara “Media Tradisional : Nguri-uri Kebudayaan Khas” di aula Kantor Kecamatan Jambu. Sebelumnya kesenian reog khas Kabupaten Semarang itu sempat dikupas oleh sejumlah narasumber yakni Supriyanto selaku Ketua Langen Tulung Manunggal Budaya, Dwi Hartanto selaku Pamong Kesenian Kecamatan Jambu, dan anggota Komisi B DPRD Jateng dr Sholeha Kurniawati. Supriyanto menuturkan, kesenian reog yang dikelolanya sebenarnya sudah turun temurun. Dia sendiri juga sempat menjadi penari reog, selanjutnya untuk sekarang justru anak-anak muda di Desa Mejing yang meneruskan. Bahkan ada anak yang duduk di bangku SD sudah tertarik menjadi penari. Supaya tetap eksis, kelompok reog selalu mengisi sejumlah acara hajatan mulai dari merti dusun, khitanan sampai acara-acara yang digelar oleh kecamatan maupun kabupaten. “Pada 2020 kemarin sampai 2021, kami tidak bisa berkesenian, tampil di muka umum. Penarinya tidak bisa menari, waranggananya juga tidak bisa apa-apa. Kalau seperti itu kami bekerja apa adanya, berkebun atau jadi buruh pabrik. Harapannya pada 2022 ini, kegiatan kesenian bisa hidup lagi,” ucapnya. Dwi Hartanto membenarkan, kesenian reog atau kuda lumping/jaran kepang hidup dari pergelaran dari satu tempat ke tempat lain. Kesenian mereka mengundang massa. Mengingat ada pembatasan kegiatan dan larangan berkerumun, otomatis kesenian ini harus “istirahat” dulu. Di Kecamatan Jambu, lanjut dia, sebagai daerah ujung selatan Kabupaten Semarang yang berbatasan dengan Temanggung, bentuk keseniannya ada kesamaan. Para penari menyebar membentuk kelompok-kelompok tari, hingga pada akhirnya turun temurun sampai sekarang. Sholehah Kurniawati mengakui Kabupaten Semarang memiliki corak kesenian yang beragam.Meski sama-sama reog atau kuda lumping/jaran kepang, suguhannya berbeda-beda. Kesenian yang hidup di sekitar Rawapening akan berbeda dengan daerah di sekitar Gunung Merbabu dan Ungaran. “Kami di DPRD Jateng prinsip mendukung segala bentuk kesenian. Hanya saja ada perda yang menyatakan setiap bentuk kesenian harus berbadan hukum. Ini menjadi kendala tersendiri bagi kelompok kesenian yang ingin mengusulkan bantuan. Kami mendorong para penggiat kesenian bisa mendaftarkan kelompoknya supaya ada perhatian dari pemerintah,” ucapnya. Di akhir acara, Sholeha berharap banyak kesenian khas daerah supaya dipertahankan. Pemerintah daerah harus memberi ruang kepada penggiat kesenian untuk unjuk gigi, supaya bisa eksis. (Adv)