Jowonews

Kemenperin Dorong Peningkatan Produksi dan Kualitas Garam Nasional

JAKARTA, Jowonews.com – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong sektor industri berperan dalam peningkatan produksi dan kualitas garam nasional, seiring kebutuhan yang semakin meningkat di pasar domestik, baik untuk garam industri maupun konsumsi. Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 88 Tahun 2014 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Garam, garam dibagi menjadi dua kategori, yaitu garam konsumsi dan garam industri. “Dengan tren kebutuhan garam yang terus naik, perlu upaya ekstra untuk meningkatkan produksi nasional baik dari sisi kapasitas maupun kualitasnya,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Doddy Rahadi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin. Garam konsumsi adalah garam yang digunakan untuk konsumsi masyarakat atau dapat diolah menjadi garam rumah tangga. Sedangkan, garam industri adalah garam yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong yang digunakan pada proses produksi pada industri kimia, aneka pangan, farmasi, perminyakan, penyamakan kulit dan water treatment. Garam industri yang digunakan tersebut memiliki spesifikasi teknis yang berbeda-beda bergantung pada jenis industrinya. Guna mendorong pelaku IKM pengolahan garam dapat melakukan proses adopsi transformasi digital, Balai Riset dan Standardisasi Industri (Baristand Industri) Surabaya sebagai salah satu unit kerja di bawah BPPI Kemenperin menggelar Diseminasi Online Hasil Penelitian Baristand Industri Surabaya (DOLAN BISBY) Tahun 2020. Kegiatan ini diikuti sebanyak 180 peserta yang berasal dari instansi pemerintah, pelaku industri, peneliti atau perekayasa dan pemerhati garam, serta akademisi. Terkait pelaksanaan riset dan inovasi, Doddy menambahkan, Baristand Industri Surabaya perlu membuka jaringan kerja sama atau koordinasi dengan industri dan instansi-instansi terkait termasuk dengan pemerintah daerah, sehingga hasil penelitian yang dilakukan dapat secara efektif mengatasi permasalahan yang terjadi di sekitar industri. Kepala Baristand Industri Surabaya Aan Eddy Antana menyampaikan, pihaknya terus berupaya menunjukkan peran aktifnya dalam mendukung usaha pemerintah memajukan dan meningkatkan kualitas garam nasional. “Salah satu tantangan di IKM garam konsumsi beryodium, adalah perlunya meningkatkan pengawasan kualitas terhadap produk yang dihasilkan, terutama dalam pengujian KIO 3 (Kaliumiodat),” ujarnya. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 3556-2010 tentang Garam Konsumsi Beryodium, kadar minimal KIO 3 yang dipersyaratkan adalah minimal 30 mg/kg atas dasar bahan kering (adbk). Namun, menurut Aan, sebagian kompetensi IKM pengolahan garam di dalam negeri belum mampu memenuhi SNI tersebut sehingga sulit bersaing di pasar. Oleh karena itu, Baristand Industri Surabaya menciptakan alat uji KIO 3 dengan menggunakan trator otomastis yang dirancang dengan mengacu pada metode titrasi sesuai SNI 3556-2010. Alat uji ini dilengkapi dengan sensor warna dan step counter. Sensor warna tersebut akan membaca perubahan warna endpoint proses titrasi dan memberikan perintah untuk menghentikan titrasi. Informasi yang dihasilkan oleh sensor warna dan sensor jarak disampaikan ke software yang telah dibangun di mikrokontroler untuk dihitung kadar KIO 3 dalam sampel garam. “Berdasarkan uji yang telah dilakukan, titrator otomatis KIO 3 yang dirancang dapat bekerja dengan baik, memberikan hasil uji verifikasi metode yang memenuhi syarat keberterimaan akurasi, presisi dan reproducibility. Alat titrator otomatis tersebut juga terbuktudapat menghasilkan nilai pengujian KIO 3 yang stabil,” paparnya. Kepala BPPI menyampaikan, pasokan garam lokal untuk konsumsi tudak lepas dari sumbangsih industri pengolahan skala kecil menengah. “Kami berharap peningkatan produksi garam nasional dari baseline tahun 2019 sebesar 2,8 juta ton menjadi 3,5 juta ton pada tahun 2024,” ungkapnya. Menurut Doddy, industri pengolahan garam perlu memanfaatkan teknologi yang tepat guna, efisien, dan modern agar bisa memacu produktivitas dan kualitasnya. “Inovasi pengujian kadar garam yodium dalam garam konsumsi merupakan suatu upaya untuk membantu industri kecil menengah (IKM) dalam memantau kualitas produknya. Dengan kualitas produk yang terjaga, tentunya daya saing produk IKM akan meningkat,” ujarnya. (jwn5/ant)

Kemenperin Minta Tambahan Anggaran Rp3,42 Triliun Untuk 2021

JAKARTA, Jowonews.com – Kementerian Perindustrian mengusulkan tambahan anggaran untuk 2021 sebesar Rp3,42 triliun, untuk memberikan porsi yang memadai bagi program peningkatan daya saing dan nilai tambah industri, terutama dalam rangka pemulihan kondisi industri akibat pandemi COVID-19. Sementara, pagu indikatif Kemenperin pada 2021 berada di angka Rp2,59 triliun atau turun 12 persen dibanding anggaran 2020 sebesar Rp2,95 triliun. “Perlu inisiatif dari pemerintah untuk mengembalikan utilitas dan mempertahankan kinerja industri, termasuk menjaga suplai dalam waktu dekat di tengah gempuran produk impor yang masuk ke dalam negeri,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita lewat keterangan resmi di Jakarta, Selasa. Menperin menyampaikan hal tersebut saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Selasa. Menurut Menperin sasaran tersebut dapat tercapai apabila pemerintah melaksanakan program yang terintegrasi dan mengarah pada peningkatan daya saing sektor industri. Langkah strategis yang perlu ditempuh, antara lain komersialisasi teknologi, penyiapan sumber daya manusia (SDM) industri, peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN), dan penyiapan infrastruktur digital. “Selain itu, perlu kebijakan perlindungan dan pengamanan industri dalam negeri, yang diproyeksi akan membutuhkan anggaran sebesar Rp1,5 triliun,” ujar Agus. Program ini dalam upaya menjaga utilisasi industri tetap tinggi dengan kualitas barang yang bisa bersaing dengan produk impor. Program berikutnya adalah penumbuhan industri substitusi impor. Anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp500 miliar. Program ini merupakan langkah upaya penurunan impor yang ditargetkan mencapai 35 persen pada tahun akhir 2022, antara lain melalui instrumen P3DN. “Jadi, ada pengoptimalan kebijakan untuk menerapkan pembelian produk dalam negeri terutama untuk belanja pemerintah serta fasilitasi pembangunan infrastruktur dalam kawasan industri,” imbuhnya. Menperin menambahkan pihaknya juga terus berfokus pada pelaksanaan program penyiapan SDM industri. Anggaran yang dibutuhkan untuk program tersebut sebesar Rp1,01 triliun. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan reskilling dan up skilling bagi pekerja yang terkena PHK akibat dampak pandemi COVID-19 serta penyiapan lembaga pendidikan dalam wilayah pusat pertumbuhan industri (WPPI) atau kawasan industri yang terbangun. Kemudian, Kemenperin juga mengusulkan anggaran untuk program pengembangan infrastruktur digital sektor industri yang diproyeksikan mencapai Rp410 miliar. Program ini bertujuan menyiapkan sarana dan prasarana infrastruktur digital di sektor industri dalam mendukung penerapan peta jalan Making Indonesia 4.0 dan pembangunan sistem digital yang terintegrasi untuk perlindungan dan pengamanan industri nasional. “Target pemulihan sektor industri juga akan dilakukan melalui penurunan impor bahan baku dan penolong sebesar 35 persen pada tahun 2022, penguatan infrastruktur data, serta peningkatan utilisasi industri manufaktur dan share-nya terhadap PDB,” tandasnya. (jwn5/ant)

Kemenperin Pastikan Kesiapan Industri Makanan Hadapi Kebutuhan Lebaran

JAKARTA, Jowonews.com – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berupaya memastikan kesiapan sektor industri makanan dan minuman untuk menghadapi Lebaran yang biasanya terdapat permintaan tinggi sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya menjelang Idul Fitri tahun ini. “Sektor industri makanan dan minuman sudah memiliki kesiapan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Untuk itu, kami akan terus melakukan koordinasi dengan pelaku industri di sektor ini,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim di Jakarta, Minggu. Pihaknya terus mendorong pengembangan sektor industri makanan dan minuman agar tetap produktif terutama dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Apalagi, selama ini industri makanan dan minuman mampu memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional. Kemenperin mencatat pertumbuhan industri makanan dan minuman pada tahun 2019 mencapai 7,78 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan industri nonmigas yang berada di angka 4,34 persen maupun pertumbuhan industri nasional sebesar 5,02 persen. Selain itu, di tahun yang sama, sektor industri makanan dan minuman juga berkontribusi hingga 36,40 persen pada PDB industri pengolahan nonmigas. “Hal ini menunjukkan pentingnya peran industri makanan dan minuman terhadap pertumbuhan industri dan ekonomi nasional,” ungkap Rochim. Ia menambahkan pemerintah telah mengeluarkan stimulus ekonomi jilid kedua untuk menjaga agar sektor riil tetap bergerak serta menjaga daya beli masyarakat. Stimulus tersebut berupa stimulus fiskal, yaitu relaksasi PPh pasal 21, PPh pasal 22 impor, PPh pasal 25 dan restitusi PPN, serta stimulus nonfiskal seperti penyederhanaan dan pengurangan impor, terutama dalam rangka pemenuhan bahan baku industri. Secara khusus terkait dengan fluktuasi harga gula di pasaran, pemerintah telah memberikan penugasan kepada pabrik gula rafinasi untuk dapat memproduksi gula kristal putih, sehingga harga gula pasir di tingkat konsumsi dapat kembali normal. Selanjutnya, untuk menjaga keberlangsungan produktivitas industri makanan dan minuman, Kemenperin aktif melakukan monitoring terhadap ketersediaan bahan baku serta stabilitas harga. Terkait dengan pasokan bahan baku, pihaknya sudah memfasilitasi agar dapat terserap oleh industri makanan dan minuman di dalam negeri. “Ketersediaan bahan baku untuk industri makanan minuman seperti gula dan tepung terigu sudah mencukupi kebutuhan dan kami harapkan bahan baku ini dapat diserap oleh industri,” jelasnya. Kemenperin juga berkoordinasi dengan Gabungan Pengusaha Makan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) untuk memastikan stabilitas harga produk di pasaran. “GAPMMI menyampaikan komitmen untuk menjaga stabilitas harga produk makanan dan minuman. Komitmen ini akan terus kami pantau,” tambahnya.Rochim menambahkan penjualan produk makanan dan minuman untuk Lebaran cukup terbantu dengan adanya penjualan yang dilakukan secara daring. Berdasarkan data perusahaan e-commerce enabler SIRCLO, peningkatan permintaan yang terjadi pada produk makanan dan minuman mencapai 143 persen dari Februari hingga Maret 2020 dan diperkirakan akan terus meningkat. “Peningkatan penjualan produk makanan dan minuman secara daring menunjukkan terjadinya pergeseran belanja dari yang semula pembelian langsung di toko ataupun pasar tradisional menjadi berbasis digital yang disebabkan adanya pembatasan aktivitas di luar rumah,” kata Rochim. Rochim menjelaskan, dampak dari pandemi COVID-19, membuat konsumen cenderung mengubah perilakunya menjadi mode bertahan hidup dan lebih konservatif. Konsumen menjadi lebih berhati-hati dan lebih ingin berada di dalam rumah daripada keluar untuk melakukan konsumsi. “Dalam studi yang dirilis Nielsen, sejak diberlakukannya imbauan tinggal di rumah untuk mencegah penyebaran COVID-19, sekitar 30 persen konsumen merencanakan untuk lebih sering berbelanja secara online,” papar Rochim. Selanjutnya dari sisi konsumsi, sebanyak 49 persen konsumen menjadi lebih sering memasak di rumah. Hal ini mendorong kenaikan pertumbuhan penjualan bahan pokok seperti telur yang naik 26 persen, daging yang mengalami kenaikan penjualan 19 persen, permintaan daging unggas naik 25 persen, serta penjualan buah dan sayur yang meningkat 8 persen. “Barang-barang inilah yang sering dibeli oleh masyarakat di pasar tradisional, namun seiring dengan pemberlakuan pembatasan sosial, maka saat ini masyarakat lebih cenderung berbelanja di pasar modern. Penurunan pengunjung di pasar tradisional disiasati oleh pedagang pasar tradisional dengan menawarkan produknya melalui media sosial dan bekerja sama dengan e-commerce,” pungkasnya. (jwn5/ant)

Kemenperin Fokus Dorong Produktivitas Industri APD Nasional

JAKARTA, Jowonews.com – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus mendorong pengoptimalan produktivitas industri Alat Pelindung Diri (APD) sebagai upaya penanganan pandemi Virus Corona baru atau COVID-19 di dalam negeri. Kebutuhan APD di domestik kian meningkat, terutama untuk memenuhi permintaan tenaga medis, mengingat semakin bertambahnya penderita penyakit yang disebabkan oleh Virus Corona tersebut. “Produsen APD tengah menghitung kemampuan produksinya hingga 6-8 bulan mendatang. Perhitungan ini akan disesuaikan dengan jadwal distribusi ke setiap pengguna, seperti rumah sakit yang memang sangat memerlukan,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam lewat keterangannya di Jakarta, Selasa. Khayam menyebutkan dalam kondisi normal atau ketika belum adanya wabah COVID-19, industri APD di dalam negeri memproduksi sebanyak 1 juta unit per bulan. “Namun kondisi saat ini kebutuhan APD jadi terus meningkat. Oleh karena itu, kami juga mendorong para pelaku industri tekstil agar ikut berperan untuk memproduksi APD,” ungkapnya. Kemenperin memberikan apresiasi kepada pelaku industri tekstil di Tanah Air yang turut berpartisipasi tersebut. Hal ini diharapkan dapat mendorong kinerja industri tekstil dalam negeri di tengah tekanan kondisi ekonomi global. “Dengan keterlibatan industri tekstil itu, sehingga kapasitas produksi APD kita bisa lebih dari 17 juta unit per bulan. Kami proyeksi hingga bulan Mei 2020 kebutuhan APD dalam negeri sekitar 3-5 juta unit,” paparnya. Saat ini, Indonesia memiliki 28 produsen APD dengan total kapasitas produksi hingga 17,8 juta unit per bulan. Dari 28 produsen APD tersebut, lima perusahaan sedang menggenjot produksinya, sedangkan sisanya dalam persiapan dan ditargetkan dimulai awal April 2020. “Kami optimistis produksi APD bisa cepat diproduksi, karena kebutuhan bahan baku sudah tersedia. Pada akhir April 2020 diperkiraan 5-10 juta APD bisa didistribusikan,” imbuhnya. APD yang sedang dibutuhkan meliputi pakaian, tutup kepala, masker, handuk, sarung tangan, pelindung kaki, pelindung tangan dan kacamata pelindung wajah (goggles). Dalam upaya memasok kebutuhan APD ini Kemenperin terus berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Kesehatan. (jwn5/ant)

Kemenperin Kaji Dampak Cukai Minuman Berpemanis Terhadap Industri

JAKARTA, Jowonews.com – Kementerian Perindustrian menganalisis dampak pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis terhadap industri minuman di Tanah Air, sebagai tanggapan atas usulan Kementerian Keuangan kepada Komisi XI DPR beberapa waktu lalu. “Kami sedang menganalisis dampaknya terhadap industri minuman, dengan asosiasi dan industri, karena hal ini kan juga beritanya baru minggu ini, kita harus punya analisis dampak secara kuantitatif,” kata Direktur Industri Hasil Minuman Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin Supriadi dihubungi di Jakarta, Jumat. Namun, ia memprediksi bahwa pengenaan cukai tersebut pasti akan berdampak terhadap penurunan permintaan, karena adanya kenaikan harga jual. “Yang sudah pasti secara kualitatif dengan adanya kenaikan cukai berdampak pada penurunan demand karena adanya kenaikan harga jual,” ujar Supriadi. Selain itu, kinerja produksi juga diproyeksi akan menurun dan berdampak terhadap pertumbuhan industri minuman. Kendati demikian, ia belum dapat memastikan secara kuantitatif berapa penurunan permintaan yang akan terjadi. “Kalau kuantitatifnya kita masih sedang menghitung,” kata Supriadi. Diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana mengenakan cukai terhadap minuman berpemanis. Untuk menerapkan kebijakan tersebut, Menkeu meminta persetujuan Komisi XI DPR RI. Minuman berpemanis yang akan dikenakan cukai ini terbagi menjadi beberapa kelompok, seperti teh kemasan, minuman berkarbonasi dan minuman berpemanis lainnya. (jwn5/ant)