Gudeg Mbok Benik Temanggung, Cita Rasa Tradisional yang Menembus Mancanegara
Menjaga cita rasa gudeg klasik dengan sentuhan modern, Surya Darmawan membawa Gudeg Mbok Benik ke panggung internasional.
Menjaga cita rasa gudeg klasik dengan sentuhan modern, Surya Darmawan membawa Gudeg Mbok Benik ke panggung internasional.
Sego gono, makanan khas Temanggung, merupakan sajian tradisional yang kaya gizi dan semakin populer dalam dunia kuliner modern.
TEMANGGUNG – Pernahkah terbersit di pikiranmu bahwa di Indonesia terdapat sebuah tempat makan yang telah berdiri kokoh selama kurang lebih 200 tahun? Benar adanya. Tempat itu dikenal dengan nama Waroeng Jadoel Temanggung. Meskipun terlihat seperti warung makan biasa yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 102, warung ini memiliki aura klasik yang jarang ditemui di tempat-tempat makan pada umumnya begitu kamu memasukinya. Kini, warung ini dikelola oleh Siti Sukastiyah, yang merupakan generasi keempat dari pendiri warung tersebut. Meski sudah berusia 77 tahun, Siti mengaku sudah lupa nama nenek yang pertama kali mendirikan warung tersebut. “Saya sudah lupa nama nenek yang mendirikan warung ini. Ibunda saya bernama Dulah Rujini dan dulu juga berjualan di sini,” ungkap Siti seperti yang dilansir dari Tempo, Sabtu (17/6/2023). Meskipun memori tentang pendiri warung ini sudah luntur, Siti masih mengingat bahwa ibunya juga menjual makanan-makanan yang sama seperti yang dijualnya sekarang. Bahkan, warung ini menjadi tempat singgah bagi tentara Jepang dan Belanda pada masa penjajahan. “Tidak hanya warga pribumi, tetapi juga orang Belanda, tentara Jepang, bahkan residen Kedu pernah mampir ke warung ini. Karena sudah berdiri begitu lama, masyarakat setempat kemudian menamainya Jadoel. Jadi, nama Warung Jadoel bukanlah pemberian dari kami, melainkan dari masyarakat sekitar,” cerita Siti, yang tinggal di lantai dua warung bersama putranya, Yulianto Murtono, yang juga terlibat dalam pengelolaan. Tidak hanya warga lokal, warung ini juga menjadi daya tarik bagi wisatawan dari luar daerah yang ingin merasakan suasana klasik saat makan di sini. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam sehari, warung ini mampu menghabiskan 40 kilogram nasi. Salah satu pengunjung tetap warung ini adalah Diana, yang dulunya tinggal di Temanggung namun kini merantau di Jakarta. Setiap pulang kampung, Diana pasti mengunjungi warung ini. “Orang tua saya sering membawa saya ke sini ketika saya kecil. Jadi, setiap pulang kampung saya selalu mampir ke sini, untuk bernostalgia,” kenangnya. Selain menu makanan utama seperti tongkol lombok ijo, sop, sayur nangka muda, opor ayam, dan brongkos, pengunjung juga bisa menikmati camilan tradisional sambil menyeruput teh tambi atau teh gula aren yang khas. Camilan yang ditawarkan juga masih dalam kemasan tradisional seperti klepon, lento, onde-onde, pisang godok, ketan jali, dan entho cothot. Semuanya begitu klasik! “Soal harga, di sini semua terjangkau, mulai dari Rp2 ribu hingga Rp10 ribu per porsi. Seorang pun biasanya tidak akan menghabiskan lebih dari Rp20 ribu, termasuk minuman,” cerita Diana. Tertarik untuk mencicipi makanan tradisional di Warung Jadoel Temanggung yang buka 24 jam setiap hari? Yuk, jangan ragu untuk mencoba pengalaman kuliner yang unik dan bersejarah di sini!
Seperti namanya, Brongkos Kikil Menggoro berada di desa Menggoro, Kecamatan Tembarak, Kabupaten Temanggung. Di tempat ini, setidaknya terdapat sembilan warung yang menyajikan hidangan yang kerap menjadi tujuan para penikmat kuliner dari luar kota ini. Untuk mencicipi hidangan istimewa ini, pembeli harus menempuh jalan berliku dan naik turun. Jarak dari pusat Kabupaten Temanggung, sekitar 10 km menuju Gunung Sumbing. Baru setelah itu, pecinta kuliner bisa menikmati brongkos kikil kambing mulai dari kepala, kaki, lidah, hingga balungan. Saat menikmati brongkos, penikmat kuliner dapat menikmati kepala dan kaki kambing, serta semua organ yang melekat padanya. Bagian organ lain itu sebut saja seperti lidah, daun telinga, atau mata. Kendati terkesan mengerikan saat menikmati bagian organ kambing tersebut, ternyata setiap jeroan tersebut memiliki penggemarnya sendiri-sendiri. Salah satu penjual Brongkos Kikil Menggoro, Sudarwati, mengatakan jika organ kesayangannya habis, pengunjung kerap kecewa. Sebagai warung brongkos pertama di sana, Sudarwati, nama gadis Ny Pujo, mengaku pada awalnya mendapat resep masakan brongkos dari tetangga. Menurut beberapa tetangga, rasanya akan terasa kurang lezat jika bahannya diganti dengan daging kikil sapi. Jadi sejak awal dia selalu menggunakan daging kambing. Proses Pembuatan Brongkos Selama Tiga Jam Untuk menyiapkan hidangan ini memakan waktu sekitar tiga jam. Proses ini diawali dengan membakar kepala dan kaki kambing hingga setengah matang. Kemudian kedua bagian tersebut dipotong-potong, dicuci dan direbus selama satu jam. Setelah itu, bagian tulang diambil dan berikutnya dimasak dalam kuah santan. Untuk kuah brongkos, kata Bu Pujo, tidak ada bahan khusus karena bahan yang digunakan sama dengan resep gulai, antara lain bawang merah, bawang putih, serai dan cabai. Hanya saja, agar lebih nikmat dan unik, sajian ini juga ditambahkan jahe yang lebih banyak. Setelah dimasak sekitar satu jam, rasa dan aroma khas jahe terasa demikian pekat. Aroma dan rasa pedasnya menambah kelezatan masakan. Dengan bahan dasar yang digunakan, hidangan ini juga terasa sangat berminyak. Perpaduannya dengan bumbu rempah menghadirkan rasa nikmat yang terasa lengket di mulut. Dalam kuah santannya, Bu Pujo juga sering memasukkan otak kambing yang dibungkus dengan daun pisang batu. Penggunaan daun pisang batu ini membantu otak agar tidak hancur saat direbus dan dapat menyerap rasa dari campuran bumbunya. Disajikan dalam Mangkuk besar Kepala kambing, kaki dan beberapa bagian lainnya biasanya dihidangkan dalam satu mangkuk besar. Selain nasi, Bu Pujo sering menyajikan hidangan ini dengan semangkuk sambal tomat. Agar lebih enak, beberapa pengunjung terkadang menambahkan kecap ke dalam brongkos, sesuai dengan selera masing-masing. Setiap harinya, 15 pasang kepala-kaki kambing habis dalam sehari. Pada pagi hari, Ny Pujo memulai aktivitasnya dengan berbelanja dan memasak hingga pukul 09.00. Hidangan brongkos kikil sendiri baru akan siap sekitar pukul 11.00. Kendati demikian, Bu Pujo selalu membuka warungnya pada pukul 06.00 pagi. Saat brongkos kikil belum matang, para pengunjung kami persilakan menikmati hidangan lain terlebih dahulu, seperti beragam sayur dan lauk-pauk seperti ikan lele atau tongkol goreng. Kendati demikian, terbukti warung Pak Pujo baru ramai pada jam saat makan siang, di atas pukul 11.00 WIB. Pada jam-jam itulah warga berbagai kota biasa datang, menikmati rasa gurih, hangat, dan penuh lemak, khas brongkos kikil.