Jowonews

Cerita Baru Klinthing Dibalik Keindahan Rawa Pening Semarang

Cerita Baru Klinthing Dibalik Keindahan Rawa Pening Semarang

Rawa pening adalah sebuah danau yang terletak di Kabupaten Semarang. Danau ini kerap menjadi objek wisata di kawasan ini karena keindahan alam yang disuguhkannya. Tidak hanya danaunya saja, panorama yang tersaji disekitarnya juga sangat indah. Sepanjang mata memandang ke kejauhan pengunjung akan melihat deretan pegunungan yang megah, mulai dari Gunung Merbabu, Andong, Telomoyo, Kelir dan lain-lain. Secara administratif, danau ini memiliki luas 2.670 hektar yang berada di tiga kecamatan yaitu kecamatan Banyubiru, kabupaten Tuntang dan kecamatan Ambarawa. Di balik keindahannya, Rawa Pening menyimpan legenda yang telah diceritakan secara turun-temurun oleh penduduk setempat. Legenda tersebut menceritakan tentang seorang anak laki-laki bernama Baru Klinting yang dikucilkan oleh penduduk desa dan menyebabkan banjir besar yang melanda seluruh desa. Cerita Baru Klinthing Dahulu kala, terdapat sebuah desa yang makmur dan indah di tanah kerajaan Mataram, yaitu desa Ngasem. Desa tersebut dipimpin oleh seorang kepala desa yang arif dan bijaksana bernama Ki Sela Gondang. Ia memiliki seorang istri dan seorang putri cantik bernama Endang Sawitri. Karena kutukan, Endang Sawitri harus mengandung sendiri dan melahirkan seorang anak berupa seekor naga. Naga itu kemudian diberi nama Baru Klinting oleh Endang Sawitri. Sebagai seorang anak, Baru Klinting pergi ke Gunung Telomoyo untuk bersemedi guna menghilangkan kutukan agar bisa menjelma menjadi anak normal. Ia bertapa sambil melilitkan tubuh naganya di puncak Gunung Telomoyo. Sayangnya, sekelompok warga Pathok yang berburu tidak melihat penampakan umum Baru Klinting. Mereka hanya melihat ekor Baru Klinting dan memotong daging dari ekor Baru Klinting untuk dibawa pulang ke desa mereka. Baru Klinting yang telah melewati masa semedi dan menjelma menjadi seorang anak, mendatangi masyarakat Pathok yang sedang merayakan sebuah pesta rakyaat. Baru Klinting meminta makanan dari penduduk desa. Namun, kondisi tubuh yang memprihatinkan, luka-luka dan bau amis membuat orang menolak bahkan menghinanya. Baru Klinting tidak begitu mempedulikan dan terus-menerus meminta makan dan minum dari penduduk desa ketika mereka mengadakan pesta. Dengan air mata dan kesedihan, Baru Klinting meninggalkan pesta. Ia menangis sambil berjalan hingga tiba di sebuah gubuk tempat tinggal seorang nenek tua bernama Nyai Latung. Baru Klinting pun meminta nenek itu minum. Melihat kondisi sang anak yang memprihatinkan, Nyai Latung terharu dan segera menyuapinya. Setelah makan dan minum, Baru Klinting berpamitan. Sebelum berangkat, dia berpesan kepada Nyai Latung untuk menaiki lesung ketika mendengar suara kenthongan. Baru Klinting kemudian kembali ke keramaian dan Baru Klinting pun menantang warga setempat untuk mencabut tongkat yang tertancap di tanah. Ajaibnya, tidak ada yang bisa mencabutnya, bahkan orang dewasa yang paling bertenaga sekalipun. Hanya Baru Klinting yang berhasil mencabut tongkat tersebut. Keajaiban terjadi, lubang yang dimasuki tongkat itu mengeluarkan banyak air. Angin semakin kencang dan terjadilah banjir besar. Tiba-tiba, kejadian tersebut membuat warga panik dan mengeluarkan suara Kentongan sebagai tanda bahaya. Banjir mulai melanda desa Pathok. Semua warga berlari menyelamatkan diri. Di tempat lain, Nyai Latung mendengar kenthongan di kejauhan dan teringat pesan Baru Klinting yang memintanya segera naik ke atas Lesung. Dalam kebingungannya, Nyai Latung kemudian menaiki Lesung dan dalam waktu sekejap air membanjiri desa Pathok. Dari atas lesung yang mengambang, Nyai Latung menyaksikan tetangganya yang tenggelam. Beberapa saat kemudian lesung Nyai Latung menepi, dan ia pun dapat kembali ke daratan. Dia baru menyadari bahwa dia adalah satu-satunya yang selamat dari banjir bandang tersebut. Dalam termangu, ia memandangi air bah di hadapannya menjelma menjadi hamparan rawa. Akhirnya Nyai Latung memutuskan tinggal di pinggir rawa tersebut. Ia menamakan desa yang tenggelam itu dengan nama Rawa Pening yang berasal dari genangan air bening yang membentuk rawa. Foto Dok. Kompas

Legenda Rawa Pening, Cerita Rakyat Dari Kubupaten Semarang

Legenda Rawa Pening, Cerita Rakyat Dari Kubupaten Semarang

Legenda Rawa Pening merupakan cerita rakyat kuno yang menceritakan tentang awal mula terbentuknya sebuah danau atau Rawa Pening yang kini menjadi objek wisata di Kabupaten Semarang. Berikut ini adalah legenda Rawa Pening yang jarang diketahui masyarakat umum. Legenda Rawa Pening bercerita tentang sepasang kekasih bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang tinggal di desa Ngasem, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo. Ceritanya dahulu kala ada sebuah desa bernama Ngasem yang terletak di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo. Di desa itu tinggal sepasang suami istri bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta. Karena dikenal dermawan dan suka menolong, pasangan ini meski belum dikaruniai anak, sangat disegani oleh masyarakat sekitar. Suatu hari, Nyai Selakanta mengungkapkan keinginannya untuk segera memiliki keturunan. Untuk memenuhi keinginan istrinya, Ki Hajar bersemedi di lereng Gunung Telomoyo selama berbulan-bulan. Nyai Selakanta juga mencemaskan kondisi suaminya yang bersemedi hingga tak kunjung pulang. Ajaibnya, Nyai Selakanta hamil sendirian di rumah. Namun, ketika dia melahirkan, dia terkejut bahwa yang lahir di dalam rahim adalah seekor naga. Anak itu diberi nama Baru Klinthing diambil dari nama tombak suaminya. Kata ‘Baru’ berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata ‘Klinthing’ berarti lonceng. Meski berwujud naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia. Merasa malu telah melahirkan seekor naga, Nyai Selakanta diam-diam merawat Baru Klinthing. Ia juga berencana membawa Baru Klinthing ke Bukit Tugur untuk menjauh dari penduduk setempat. Tumbuh dewasa, Baru Klinthing juga bertanya tentang ayahnya. Nyai Selakanta pun mengutus Baru Klinthing untuk menemui ayahnya ke lereng Gunung Telomoyo. Baru Klinthing juga mebawa tombak Baru Klinthing ayahnya. Sesampai di lereng Gunung Telomoyo, Baru Klinthing segera bersujud kepada ayahnya yang bersemedi. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya naga itu adalah anaknya. Baru pada saat itulah Klinthing menunjukkan warisan Ki Hajar. “Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki Hajar. Berkat kesaktiannya, Baru Klinting mampu mengelilingi Gunung Telomoyo. Ki Hajar akhirnya mengakui bahwa naga itu adalah anaknya. Dia kemudian memerintahkan Baru Klinthing untuk bersemedi di Bukit Tugur, membiarkan tubuhnya berubah menjadi manusia. Sementara itu, ada sebuah desa bernama Pathok yang sangat makmur. Namun, penduduk desa dikenal sangat arogan. Dahulu kala, penduduk desa Pathok berencana untuk mengadakan pesta sedekah setelah panen. Mereka juga berburu binatang di Bukit Tugur. Singkat cerita, mereka beramai-ramai menangkap Baru Klinthing dan memotong-motong dagingnya untuk dijadikan lauk pesta. Saat semua orang merayakannya dengan penuh semangat, seorang anak laki-laki dipenuhi luka dan memiliki bau amis yang kuat datang meminta makanan. Anak itu adalah perwujudan baru dari Klinthing. Namun, kemudian kedatangan Baru Klinthing tersebut mengutuknya dan mengusirnya. Anak laki-laki itu meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi Latung. Nyi Latung membawa Baru Klinthing pulang dan memberinya makan. Dalam perbincangan, Baru Klinthing menyarankan agar warga diberi pelajaran. Dia meminta Nyi Lantung jika mendengar suara gemuruh, untuk segera menyiapkan alat menumbuk padi dari kayu alias lesung. Segera setelah itu, Baru Klinthing kembali ke lokasi pesta di desa itu sambil membawa sebatang lidi. Di tengah kerumunan, dia menancapkan lidinya ke tanah. Dia meminta warga untuk mencabut lidi yang tertancap tersebut. Namun, setiap warga desa tak ada yang mampu mengambilnya. Dengan kesaktiannya, Baru Klinthing dapat mencabut lidinya dengan mudah. Segera setelah lidi itu dicabut, suara gemuruh mengguncang seluruh desa. Air mengalir dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar semakin besar, sehingga menyebabkan banjir besar di desa. Semua penduduk desa tenggelam. Desa tersebut kemudian berubah menjadi rawa atau danau yang sekarang dikenal dengan Rawa Pening. Baru Klinthing kemudian menemukan Nyi Latung sedang menunggu di atas lesung yang telah difungsikan sebagai perahu. Dia selamat bersama nenek itu. Namun, Baru Klinthing kembali berubah menjadi naga untuk menjaga Rawa Pusing.