Jowonews

Legenda Rawa Pening, Cerita Rakyat Dari Kubupaten Semarang

Legenda Rawa Pening merupakan cerita rakyat kuno yang menceritakan tentang awal mula terbentuknya sebuah danau atau Rawa Pening yang kini menjadi objek wisata di Kabupaten Semarang. Berikut ini adalah legenda Rawa Pening yang jarang diketahui masyarakat umum.

Legenda Rawa Pening bercerita tentang sepasang kekasih bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang tinggal di desa Ngasem, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo.

Ceritanya dahulu kala ada sebuah desa bernama Ngasem yang terletak di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo. Di desa itu tinggal sepasang suami istri bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta.

Karena dikenal dermawan dan suka menolong, pasangan ini meski belum dikaruniai anak, sangat disegani oleh masyarakat sekitar. Suatu hari, Nyai Selakanta mengungkapkan keinginannya untuk segera memiliki keturunan.

Untuk memenuhi keinginan istrinya, Ki Hajar bersemedi di lereng Gunung Telomoyo selama berbulan-bulan. Nyai Selakanta juga mencemaskan kondisi suaminya yang bersemedi hingga tak kunjung pulang.



Ajaibnya, Nyai Selakanta hamil sendirian di rumah. Namun, ketika dia melahirkan, dia terkejut bahwa yang lahir di dalam rahim adalah seekor naga. Anak itu diberi nama Baru Klinthing diambil dari nama tombak suaminya.

Kata ‘Baru’ berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata ‘Klinthing’ berarti lonceng. Meski berwujud naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia.

Merasa malu telah melahirkan seekor naga, Nyai Selakanta diam-diam merawat Baru Klinthing. Ia juga berencana membawa Baru Klinthing ke Bukit Tugur untuk menjauh dari penduduk setempat.

Tumbuh dewasa, Baru Klinthing juga bertanya tentang ayahnya. Nyai Selakanta pun mengutus Baru Klinthing untuk menemui ayahnya ke lereng Gunung Telomoyo. Baru Klinthing juga mebawa tombak Baru Klinthing ayahnya.

BACA JUGA  Gitaris legenda Eddie Van Halen Meninggal dunia

Sesampai di lereng Gunung Telomoyo, Baru Klinthing segera bersujud kepada ayahnya yang bersemedi. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya naga itu adalah anaknya. Baru pada saat itulah Klinthing menunjukkan warisan Ki Hajar.

“Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki Hajar.

Berkat kesaktiannya, Baru Klinting mampu mengelilingi Gunung Telomoyo. Ki Hajar akhirnya mengakui bahwa naga itu adalah anaknya. Dia kemudian memerintahkan Baru Klinthing untuk bersemedi di Bukit Tugur, membiarkan tubuhnya berubah menjadi manusia.

Sementara itu, ada sebuah desa bernama Pathok yang sangat makmur. Namun, penduduk desa dikenal sangat arogan. Dahulu kala, penduduk desa Pathok berencana untuk mengadakan pesta sedekah setelah panen. Mereka juga berburu binatang di Bukit Tugur.

Singkat cerita, mereka beramai-ramai menangkap Baru Klinthing dan memotong-motong dagingnya untuk dijadikan lauk pesta.

Saat semua orang merayakannya dengan penuh semangat, seorang anak laki-laki dipenuhi luka dan memiliki bau amis yang kuat datang meminta makanan. Anak itu adalah perwujudan baru dari Klinthing. Namun, kemudian kedatangan Baru Klinthing tersebut mengutuknya dan mengusirnya.

Anak laki-laki itu meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi Latung. Nyi Latung membawa Baru Klinthing pulang dan memberinya makan.

Dalam perbincangan, Baru Klinthing menyarankan agar warga diberi pelajaran. Dia meminta Nyi Lantung jika mendengar suara gemuruh, untuk segera menyiapkan alat menumbuk padi dari kayu alias lesung.



Segera setelah itu, Baru Klinthing kembali ke lokasi pesta di desa itu sambil membawa sebatang lidi. Di tengah kerumunan, dia menancapkan lidinya ke tanah. Dia meminta warga untuk mencabut lidi yang tertancap tersebut. Namun, setiap warga desa tak ada yang mampu mengambilnya. Dengan kesaktiannya, Baru Klinthing dapat mencabut lidinya dengan mudah. Segera setelah lidi itu dicabut, suara gemuruh mengguncang seluruh desa.

BACA JUGA  Mitos Larangan Menanam Pisang di Dukuh Mao Klaten, Tradisi yang Tetap Diikuti Hingga Kini

Air mengalir dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar semakin besar, sehingga menyebabkan banjir besar di desa. Semua penduduk desa tenggelam. Desa tersebut kemudian berubah menjadi rawa atau danau yang sekarang dikenal dengan Rawa Pening.

Baru Klinthing kemudian menemukan Nyi Latung sedang menunggu di atas lesung yang telah difungsikan sebagai perahu. Dia selamat bersama nenek itu. Namun, Baru Klinthing kembali berubah menjadi naga untuk menjaga Rawa Pusing.

Bagikan:

Google News

Dapatkan kabar terkini dan pengalaman membaca yang berbeda di Google News.

Berita Terkait