Jowonews

Tradisi Yaqowiyu Klaten, Bagi-bagi Kue Apem dan Doa Permohonan Keselamatan

Tradisi Yaqowiyu Klaten, Bagi-bagi Kue Apem dan Doa Permohonan Keselamatan

Masyarakat Kecamatan Jatinom, Klaten, memiliki tradisi Yaqowiyu yang dihadiri ribuan masyarakat dari berbagai daerah di Jawa Tengah setiap tahunnya. Tradisi ini diselenggarakan dalam rangka Haul Ki Ageng Gribig, seorang pendakwah Islam. Sekilas Tentang Ki Ageng Gribig Ki Ageng Gribig dikenal sebagai seorang da’i yang kreatif pada masanya. Ki Ageng terkenal dengan doa-doa yang hingga kini dilestarikan seperti Yaqowiyu. Ki Ageng Gribig adalah keturunan Raja Majapahit Brawijaya V. Putra Brawijaya, Pangeran Guntur pada mulanya ahli dalam spiritualitas atau wasi. Ki Guntur adalah seorang wasi yang masuk Islam melalui perantara Sunan Bonang. Dari Ki Guntur lahirlah tiga orang putra, salah satunya adalah Ki Pangantibagno atau Wasibagno. Pangantibagno kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Gribig I. Dari Ki Ageng Gribig memiliki keturunan Ki Ageng Gribig II yang bernama asli Rangkasnyono. Nama asli Ki Ageng Gribig II adalah Rangkasnyono dan nama asli Ki Ageng Gribig III adalah Pangeran Jatayu. Dari Ki Ageng Gribig III ini menurunkan Ki Wasibagno Timur atau Ki Ageng Gribig IV. Menurut beberapa sumber, Ki Ageng Gribig IV saat berdakwah lebih filosofis, cerdas dan arif. Selain itu, ia juga seorang ahli strategi politik. Dipercaya bahwa Ki Ageng Gribig IV hidup di bawah kekuasaan Mataram Islam pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Diperkirakan tradisi Yaqowiyu sudah ada sejak saat itu. Yaqowiyu adalah tradisi atau festival yang diadakan setiap bulan Sapar di Jatinom, Klaten. Ciri khas tradisi Yaqowiyu adalah tradisi penyebaran atau pembagian kue apem yang terbuat dari tepung beras. Tradisi ini bermula dari Ki Ageng Gribig yang pulang kampung setelah menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Setelah itu, Ki Ageng Gribig mengamanatkan agar masyarakat melaksanakan tradisi ini setiap tahun. Asal Usul Tradisi Yaqowiyu Yaqowiyu merupakan tradisi yang pertama kali diperkenalkan oleh Ki Ageng Gribig. Ki Ageng Gribig adalah seorang ulama besar dari Klaten dan sekitarnya yang berperan dalam menyebarkan agama Islam. Tradisi Yaqowiyu dimulai saat Ki Ageng Gribig pulang usai melaksanakan ibadah haji. Ki Ageng Gribig membawa bingkisan berupa kue apem dan akan dibagikan kepada kerabat, santri dan tetangganya. Namun, oleh-oleh yang dibawaoleh Ki Ageng Gribig tersebut tidak cukup, sehingga ia meminta keluarganya untuk membuat kue apem untuk dibagikan. Sejak tahun 1589 M atau 1511 Saka, Ki Ageng Gribig selalu membagikan apem kepada orang-orang sekitar. Sejak saat itu, Ki Ageng Gribig menugaskan masyarakat Jatinom, Klaten, untuk memasak sesuatu untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Amanat Ki Ageng Gribig inilah yang kemudian melahirkan tradisi yaqowiyu. Asal Muasal Nama Yaqowiyu Tradisi Yaqowiyu diambil dari akhir doa permohonan kekuatan dalam bahasa Arab, yaitu yaa qowiyyu, yaa aziz, qowwina wal muslimiin, yaa qowiyyu warzuqna wal muslimiin. Selanjutnya, penggunaan apem dalam tradisi ini memiliki tujuan tersendiri. Kue apem diambil dari bahasa arab yaitu affum. Arti kata affum adalah maaf. Oleh karena itu, makanan yang dibagikan menurut tradisi ini kemudian disebut apem Yaqowiyu. Tradisi Yaqowiyu dilakukan setiap bulan Sapar menurut penanggalan Jawa. Biasanya, ribuan kue apem akan dibagikan dari panggung permanen di sebelah selatan masjid di kompleks pemakaman Ki Ageng Gribig. Banyak masyarakat mempercayai bahwa kue apem Yaqowiyu dapat membawa kemakmuran bagi yang menerimanya. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini kemudian menjadi agenda unggulan khas Klaten. Bahkan, masyarakat sekitar, seperti Boyolali, Solo, Sragen, di Yogyakarta datang ke Klaten untuk mengikuti festival atau tradisi Yaqowiyu ini.

Tradisi Wetonan, Cara Masyarakat Jawa Memperingati dan Mensyukuri Hari Kelahiran

Tradisi Wetonan, Cara Masyarakat Jawa Memperingati dan Mensyukuri Hari Kelahiran

Tradisi merayakan ulang tahun bukanlah tradisi asli Indonesia. Namun, Indonesia memiliki tradisi yang memiliki konsep serupa dengan ulang tahun, yaitu Wetonan. Wetonan adalah salah satu tradisi yang masih dilakukan masyarakat Jawa hingga saat ini. Kata “wetonan” dalam bahasa Jawa berarti peringatan hari kelahiran. Orang Jawa sering menyebut tradisi wetonan sebagai wetonan atau bancaan weton. Weton merupakan kombinasi dari tujuh hari dalam seminggu dan hari pasaran Jawa yaitu legi, pahing, pon, wage, dan kliwon. Bancaan Weton adalah peringatan hari kelahiran berdasarkan perhitungan penanggalan Jawa yang berputar setiap 35 hari. Pada hari tersebut, keluarga bayi akan mengadakan nyelapani. Kata “nyelapani” berasal dari kata dasar “selapan” yang artinya sama dengan satu bulan dalam perhitungan Jawa (selapan = 35 hari). Perhitungannya berdasarkan perhitungan hari kalender Masehi (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu) dan perhitungan hari kalender Jawa (Pon, Wage , Kliwon, Legi, Pahing). Wetonan dalam masyarakat Jawa terjadi setiap 35 hari sekali. Misalnya, jika seseorang memiliki weton Jumat Pahing maka weton selanjutnya adalah 35 hari kemudian dan akan bertemu pada hari yang sama yakni Jumat Pahing. Bancakan Weton berpijak pada kepercayaan masyarakat Jawa dalam rangka menghormati sedulur papat limo pancer. Sedulur papat meliputi: 1) kawah (cairan ketuban) yang dianggap kakak, 2) plasenta (ari-ari) yang dianggap adik, 3) getih (darah), 4) pusar (tali pusar), Sementara pancer kelima adalah manusia itu sendiri. Bagi orang Jawa, semua sedulur (saudara) empat tersebut harus diruwat, dirawat dan dihormati melalui ritual bancaan weton. Menurut kepercayaan orang Jawa, dalam diri manusia terdapat dua saudara, yaitu saudara tua dan saudara muda. Sedulur tua diimajinasikan plasenta atau ari-ari dan sedulur nom adalah wujud dari kebiasaan kita. Bancaan weton juga bertujuan agar saudara tua (sedulur tua) dan saudara muda (sedulur nom) saling rukun, sehingga jiwa dan raga akan menjadi kesatuan yang utuh dan mendapatkan jati dirinya yang asli. Dalam praktik sehari-hari, masyarakat Jawa tidak weton tak hanya digunakan untuk peringatan hari lahi saja, tetapi juga untuk hal-hal lain seperti perhitungan jodoh, hari baik dan untuk beberapa keperluan dalam ritual adat. Melalui weton ini, masyarakat Jawa sering menilai apakah suatu pasangan akan baik-baik saja atau tidak. Jika perhitungannya tidak bagus, pasangan itu terpaksa berpisah. Doa Wetonan Anak Dalam masyarakat Jawa, doa ini dibacakan dalam bahasa Jawa atau sangat mirip dengan niat dan keinginan yang ingin mereka capai saat melakukan Slametan Weton. “Niki sampeyan sekseni nggeh, asale pasang jenang pethak jenang abrit niki ngleresi tone erna diweruhi mbok’e ibu bumi bapa’e kuasa, asale pasang jenang pethak jenang abrit lan sedoyo buceng niki dongakne sageto angen-angen asale sekolah anak erna (nama anak) niki pinter nggeh, mugi-mugi sedoyo buceng niki saget jejeg mantep bakale angen-angen si erna lan diparingi seger kewarasan anak kulo erna sing sekolah niki saget disekseni nggeh, dongane kabul slamet”. Semua orang yang ada atau mengikuti Slametan Weton sebagai saksinya, bahwa pembuatan jenang putih dan jenang merah ini karena untuk memperingati hari lahirnya Erna (orang yang diperingati hari lahirnya) yang diketahui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, semua yang ada seprti tumpeng, bothok pelas dan jenang ini semoga sebagai simbol untuk mendo’akan Erna (nama anak) agar pintar dalam bersekolah, mempunyai pendirian yang kuat, selalu diberi kesehatan, semoga do’a yang dipanjatkan bisa terkabulkan. Do’a ini biasanya dibacakan oleh salah satu anggota keluarga tertua. Sementara itu anggota keluarga lainnya menjawab setiap do’a yang dibacakan tersebut dengan jawaban nggeh atau secara sederhana adalah mengucapkan amin. Hal yang Perlu Dipersiapkan Sebelum Prosesi Wetonan Memasak nasi untuk dibuat tumpeng, banyaknya beras yang dimasak dikira-kira saja mencukupi untuk minimal 1 keluarga. Setelah nasi matang, selanjutnya nasi dicetak menggunakan kukusan untuk membentuknya menjadi tumpeng, namun terlebih dahulu ditutup dengan daun pisang agar nasi tidak menempel di panci. Selain itu juga agar nasi lebih mudah dikeluarkan dari kukusan. Bahan lain yang diperlukan adalah sayuran. Sayuran yang umum termasuk kacang panjang, kangkung, kubis, kecambah, bayam, dan banyak lagi. Sayuran ini akan dibuat diperuntukkan sebagai keleman atau kulupan yang dimasak dengan cara direbus hanya dengan air tetapi tidak terlalu matang. Agar sayuran tidak terlalu matang atau terlalu lembek, segera setelah dikeluarkan sebaiknya direndam dalam air dingin agar sayuran tetap terlihat hijau namun matang. Selanjutnya hal yang perlu dipersiapkan adalah membuat sambal krambil atau kelapa sebagai pasangannya. Langkah selanjutnya adalahmembuat bothok dan pelas. Bothok terbuat dari tempe yang dipotong kotak-kotak kecil kemudian dicampur dengan daun brambang yang sudah dipotong sebelumnya. Jangan lupa tambahkan garam yang sudah dihaluskan sebelumnya. Setelah selesai, semuanya dibungkus dengan daun pisang lalu dimasak. Sedangkan untuk pelas terbuat dari kacang kedelai yang ditumbuk halus, ditambah garam kemudian dibungkus seperti bothok dan dimasak. Bahan terakhir adalah Jenang. Jenang yang dimakud merupakan dua porsi nasi putih yang dibuat membentuk gundukan dan diletakkan di atas piring, satu sisi nasi putih dan sisi lainnya gula merah di atasnya. Orang Jawa menyebutnya jenang merah dan jenang putih. Setelah selesai tumpeng ditaruh pada sebuah wadah, biasanya berupa tampah atau leseran kemudian dikelilingi oleh sayuran dan bothok pelas. Prosesi Wetonan Langkah pertama dalam proses pelaksanaan Slametan Weton adalah orang tertua dalam keluarga akan membacakan doa dalam bahasa Jawa. Orang Jawa sering menyebutnya ngojupne. Bacaan Niat ini berisi permohonan perlindungan kepada Yang Maha Kuasa, agar yang berulang tahun atau peringatan hari lahirnya dapat memperoleh kesehatan jasmani dan rohani. Langkah kedua adalah makan bersama anggota keluarga. Sementara itu orang yang sedang diperinati wetonnya harus memakan jenang putih agar mendapatkan kekuatan, kesehatan, dan keselamatan dari Tuhan. Selanjutnya, baru seluruh anggota keluarga makan bersama-sama. Makanan Wetonan Yang Wajib Ada Setiap tradisi slametan, khususnya bagi masyarakat Jawa, akan menggunakan makanan dan sesaji sebagai salah satu elemen untuk melakukan slametan. Sama halnya dengan slametan weton, ada dua makanan yang wajib disantap, yaitu tumpeng dan jenang. Tumpeng Bagi orang Jawa, tumpeng adalah hal yang sakral. Hampir semua slametan di masyarakat Jawa menggunakan tumpeng. Tumpeng nasi putih melambangkan pusat segala energi. Sementara itu di sekitar tumpeng ini terdapat sayuran dan biji bothok yang mengisi atau mengelilingi tumpeng. Sayur ini melambangkan harapan mendapat pitulungan (pertolongan) dari Tuhan. Selain itu diharapakan doa-doa yang diucapkan tidak terputus, seperti do’a panjang rejeki, panjang umur, kecerdasan atau panjang akal. Jenang Jenang yang digunakan untuk Slametan Weton adalah dua buah yang terdiri dari … Baca Selengkapnya

Festival Lima Gunung, Mengunduh Wahyu Rumagang di Kali Wangsit

Festival Lima Gunung, Mengunduh Wahyu Rumagang di Kali Wangsit

Langit di atas Kali Wangsit masih gelap, apalagi sekitar tempat dengan rerimbun pepohonan itu. Suara gemericik aliran air sungai menjadi terasa kuat menabuh gendang telinga. Penari muda Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Nabila Rifani, menuruni jalan tanah setapak pendek dengan sejumlah anak tangga. Dengan langkah perlahan dan suasana sunyi, kakinya menyibak air hingga kemudian beroleh pijakan di bebatuan sungai yang pada masa lampai diberi nama Tuk Mudal, sekitar 300 meter timur Candi Mendut. Setelah erupsi Gunung Merapi 2010 disusul banjir lahar hujan 2011 yang mengubah alur sungai-sungai berhulu di gunung itu, pemimpin tertinggi yang juga budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut mulai berbicara tentang perubahan sebutan Tuk Mudal menjadi Kali Pabelan Mati. Pada masa lalu, sungai kecil itu diperkirakan kuat sebagai alur lama Sungai Pabelan. Di dekat ruas sungai itu terdapat titik pusat aktivitas seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Menoreh) berupa Studio Mendut dikelola pemiliknya, Sutanto Mendut. Melalui suatu acara seni budaya –setelah relatif mereda banjir lahar hujan 2011– sekitar 30 pegiat komunitas dengan dipimpin pematung dari Merapi, Ismanto (54), ditempatkan secara apik dan memorial di tepi sungai tersebut 66 balok batu untuk ditatah bersama dalam rangkaian penamaan tempat itu menjadi Museum Kali Wangsit. Lalu, 11 tahun kemudian, Senin (8/8) 2022 pagi yang masih bersuasana gelap sekitar pukul 05.00 WIB, di tempat sama, komunitas itu membuka agenda mandirinya, Festival Lima Gunung XXI/2022, melalui performa seni “Ritus Kali”. Dengan dipimpin Ismanto didampingi sejumlah tokoh komunitas, Nabila yang mengenakan pakaian Jawa kebaya tipe modern dan selendang warna putih, melakukan simbolisasi pengungkapan tema besar festival tahun ini, “Wahyu Rumagang”. Penari muda yang awal tahun ini lulus kuliah jurusan tari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan bergabung dengan Komunitas Lima Gunung sejak 2014 itu, menjalani dengan hening dan berkarisma performa ritual tersebut. Di bawah ancak wadah setumpuk kembang mawar dengan topangan sebilah bambu berbalut kain putih dan berhias janur kuning, ia menyibakkan air sungai dengan gerak tariannya lalu menaburkan kembang mawar merah putih di sungai yang mencatatkan tersendiri jalan sejarah ruang, waktu, dan alamnya. Kekidungan ditaburkan sejumlah tokoh komunitas diiringi bunyian dengung “singing bowl” (mangkuk bernyanyi) dari kuningan serta penyulutan puluhan batang hio, seakan memimpin lantunan doa dan uluk salam pengantar cahaya Matahari pagi menyibak gelap di Museum Kali Wangit. Setelah seorang tokoh utama-berpengaruh Komunitas Lima Gunung, Sitras Anjilin (63), membabarkan dengan khidmat, “Wahyu Rumagang”, beberapa waktu setelah rampung “Ritus Kali” pemimpin tertinggi komunitas, Sutanto Mendut (68), memotong tumpeng dilengapi aneka sayuran dan lauk-pauk. Potongan tumpeng diberikan kepada Nabila Rifani (24). Ia merepresentasikan kalangan muda seniman petani Komunitas Lima Gunung di bawah usia 30-an tahun, yang tahun ini menjadi pandega festival. Gelap pagi berubah terang dengan langit di atas Museum Kali Wangsit biru cerah. Bunyi-bunyian gemericik air sungai makin elok oleh timpukan kicauan burung-burung di pepohonan sekitarnya. Alam terasa hadir membuka festival kebanggaan komunitas seniman petani itu. Festival Lima Gunung XXI dimulai pada 8 Agustus 2022 di Studio Mendut dengan berbagai pementasan kesenian, pidato kebudayaan, performa seni, dan pameran foto, kartun, serta lukisan. Rencananya, festival memasuki puncak selama tiga hari, 30 September hingga 2 Oktober 2022, di kawasan Gunung Andong di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang dengan berbagai pertunjukan seni dan acara budaya. Pihak panitia yang kalangan seniman muda komunitas telah mencatat berbagai kesenian dari grup-grup komunitas dan jejaringnya dari berbagai kota yang akan menggelar karya seni, kirab budaya, pidato, dan pementasan pada puncak festival mendatang. Menangkap Gaung Festival mereka secara mandiri atau tanpa sponsor itu, seakan juga hendak menangkap gaung pemerintah selama ini tentang keseriusan menghadapi bonus demografi pada 2045 dengan menyiapkan generasi muda bangsa agar unggul saat era “Indonesia Emas” atau seabad Republik Indonesia. Melalui berbagai program pembangunan, pemerintah antara lain serius mengatasi stunting, membangun kesehatan dan pendidikan berkualitas, serta mewujudkan infrastruktur teknologi digital yang memadai. Gaung pemerintah itu terasa dihadirkan secara kultural-simbolik dalam tema besar “Wahyu Rumagang” untuk festival komunitas tersebut. Sebagaimana disampaikan Sitras bahwa secara wantah, “wahyu” sebagai ilham dari Sang Pencipta jagat raya, sedangkan “rumagang” sebagai bangkit dan bersemangat berkarya secara kreatif dan bertanggung jawab. Digunakan oleh dia diksi “gumregah” untuk menunjuk pemaknaan atas ketulusan, bangkit, dan bersemangat, sebagai pusaka rohaniah penting dalam berkarya, termasuk mengelola aktivitas seni-budaya secara tulus. Tentu saja, termasuk dengan tetap mewaspadai potensi penularan pandemi COVID-19. Apalagi, sekarang muncul mutasi virus menjadi bermacam-macam varian meskipun upaya pengendalian dilakukan pemerintah semakin mantap. “Wahyu Rumagang” memang diarahkan kepada kalangan muda komunitas yang saat inilah secara kodrati sebagai waktu mereka lebih berperan aktif mengelola Festival Lima Gunung. Peranan mereka pascapandemi dianggap pas oleh para tokoh komunitas berbasis desa dan gunung tersebut, termasuk karena mereka familier dengan perkembangan dinamis teknologi digital. Dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat karena pandemi, Komunitas Lima Gunung tetap beraktivitas seni-budaya. Mereka memanfaatkan kegiatan itu dengan model daring, luring, pembatasan sosial, dan bersiasat terhadap ruang serta waktu. Ihwal demikian yang membuat pandemi dua tahun tearkhir ini, tak menghentikan komunitas tersebut dalam menggelar tradisi festival tahunannya. Ungkapan terhadap komunitas yang inspiratif disampaikan Nabila ketika menerima potongan tumpeng pembukaan festival. Rangkaian acara seharian itu juga ditayangkan secara daring melalui kanal Youtube “Terminal Mendut”, dikelola kalangan muda Komunitas Lima Gunung. Pernyataan dia itu bukan sekadar tertuju kepada personalia ketokohan komunitas. Akan tetapi juga menyangkut catatan ingatan atas perjalanan panjang komunitas mengelola tantangan kerumitan persoalan, menghadirkan kearifan lokal-kontemporer, dan manajemen proporsi bungah melalui aktivitas kebudayaan sehingga menjadi kekayaan batin bersama. Diakui bahwa kalangan muda tidak lepas dari cantelan nilai-nilai keteladanan para tokoh komunitas. Oleh karenanya, mereka merasa penting beroleh bekal, berupa “Wahyu Rumagang”. Dalam pernyataan Sutanto, wahyu turun kepada sosok-sosok komunitas yang “tandang gawe” atau bekerja keras, tekun, dan bergereget. Bukan sekadar “nyambut gawe” (bekerja). Dengan menangkap ruang makrokosmos, ia mengemukakan keluhuran dicapai nenek moyang karena “tandang gawe” menghadirkan legasi, sedangkan generasi muda saat ini penting menyerap nilai-nilai adiluhung tersebut menjadi bekal “maneges” (perjalanan spiritual-rohaniah). “Maneges” itu, baik secara pribadi, komunitas, desa, bangsa, maupun negara, melahirkan peradaban baru Nusantara yang “rahmatan lil alamin” atau rahmat untuk seluruh alam. Budayawan Yogyakarta yang juga pengajar Ilmu Religi dan Budaya Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Romo Gregorius Budi Subanar mengelaborasi … Baca Selengkapnya

Tawur Sego Desa Palemsari Rembang, Ritual Tolak Bala dan Rasa Syukur

Tawur Sego Desa Palemsari Rembang, Ritual Tolak Bala dan Rasa Syukur

REMBANG – Ratusan warga Desa Palemsari, Kecamatan Sumber, Kabupaten Rembang, berbondong-bondong membawa sebakul nasi ke sebuah tempat yang dipercaya sebagai lokasi Pepunden, pada Rabu (10/8/2022). Pada nantinya nasi tersebut akan digunakan untuk ritual Tawur Sego atau Tawur Nasi. Nasi yang dibawa para warga itu kemudian dikumpulkan menjadi satu di lokasi pepunden dan membentuk gunungan atau gundukan nasi. Nasi yang telah bercampur itu ditempatkan pada sebuah tikar plastik berwarna biru. Prosesi Tawur Sego diawali dengan doa bersama yang dipimpin sesepuh desa di bawah sebuah pohon di area pepunden. Selanjutnya ada pementasan tari orek-orek oleh sejumlah warga setempat. Setelah itu barulah tradisi Tawur Sego dimulai. Tradisi tawuran dengan saling melempar nasi ini hanya diikuti belasan orang saja. Sementara warga lain yang turut hadir ke lokasi tersebut hanya menjadi penonton. Acara berlangsung cukup seru dan meriah. Warga mulai dari orang dewasa hingga anak-anak tampak antusias mengikuti dan menyaksikan rangkaian acara tersebut. Mengutip dari Detik Jateng, Edi Rajarimba, salah satu warga yang turut terlibat dalam prosesi Tawur Segi ini mengaku dirinya selalu berpartisipasi dalam setiap tahunnya. Bahkan warda Desa Palemsari ini mengungkapkan selama dua tahun pandemi lalu, tradisi ini tetap digelar. Lebih lanjut Ia menjelaskan, tradisi ini telah berlangsung turun-temurun. Dalam kepercayaan masyarakat tradisi ini dilaksanakan sebagai wujud syukur dan bersih desa dari segala bala. “Masyarakat biar dapat hidup makmur, panen melimpah. Ini telah menjadi kepercayaan masyakarat. Adatnya sudah seperti itu. Kami hanya meneruskan saja,” terangnya. Sementara itu Kepala Desa Pelemsari, Pin, mengatakan di desanya terdapat dua pedukuhan, yakni Dukuh Glagah dan Dukuh Plempoh. Total ada sekitar 400 Kepala Keluarga (KK). Pin juga mengatakan tradisi ‘Tawur Sego’ sudah dilakukan secara turun-temurun. “Sudah menjadi adatnya warga desa dan turun-temurun sejak dulu. Intinya untuk mengungkapkan rasa syukur atas limpahan nikmat yang diberikan Tuhan,” terangnya. Foto: Doc. Detik Jateng

Tradisi Tawur Sego, Saling Lempar Nasi Sebagai Wujud Syukur Panen Berlimpah

Tradisi Tawur Sego, Saling Lempar Nasi Sebagai Wujud Syukur Panen Berlimpah

Tradisi Tawur Sego atau perang nasi merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan sebagian masyarakat desa, terutama di Wilayah Pantura Timur, Jawa Tengah. Tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hasil panen yang melimpah. Biasanya tradisi Tawur Sego yang dilaksanakan setelah masa panen atau biasanya bertepatan dengan hari besar penanggalan Jawa. Tradisi ini biasanya dilangsungkan di tanah lapang di desa masing-masing yang berdekatan dengan Punden keramat tokoh pendiri desa. Punden merupakan sebuah gundukan yang dikeramatkan atau makam keramat dari tokoh pendiri desa setempat yang di begitu dihormati warga setempat. Saat ritual Tawur Sego biasanya masyarakat akan membawa nasi lengkap dengan lauk pauknya. Makanan ini biasanya dibungkus menggunakan daun pisang atau daun jati. Adapun lauk pauknya penyertanya biasanya ikan, tahu dan tempe. Namun, sebelum prosesi Tawur Sego atau perang nasi dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan ritual sedekah bumi. Dalam ritual tersebut seluruh warga diwajibkan untuk mengumpulkan seluruh makanan yang dibawa dan dibentuk menjadi gunungan, sebanyak 7 gunungan. Nasi yang telah membentuk 7 gunungan itu kemudian dikelilingi warga dan selanjutnya secara bersama-sama memanjatkan doa permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Doa tersebut berisi permohonan agar senantiasa diberikan kelancaran dan keberkahan agar para petani diwaktu yang akan juga akan mendapatkan panen yang berlimpah. Seusai pembacaan doa, barulan ritual Tawur Sego atau perang nasi ini dimulai. Peserta perang nasi yang diikuti berbagai kalangan mulai dari anak-anak hingga orang tua. Para peserta saling melemparkan nasi yang telah dibungkus sebelumnya ke sembarang arah. Maka tak heran, siapapun yang mengikuti ritual tersebut akan menjadi korban lemparan. Semua dilakukan dengan perasaan gembira dan suka cita. Tradisi Tawur Sego merupakan tradisi rutin yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa Tengah. Bahkan tradisi ini telah ada sejak masa nenek moyang zaman dahulu. Konon tradisi ini pernah tidak dijalankan warga setempat. Namun kemudian warga mengalami gagal panen. Hingga akhirnya warga melanjutkan ritual itu kembali. Tawur Nasi ini pelaksanaannya akan dihentikan ketika nasi yang dikumpulkan sebelumnya telah habis dilemparkan. Nasi-nasi yang telah dilemparkan kemudian tidak tertangkap atau yang jatuh ke tanah, akan diambil para warga untuk dijadikan pakan ternak. Dalam rangkaian acaranya, tradisi ini tidak hanya perang nasi saja, biasanya juga dibarengi dengan acara lainnya seperti pertunjukan ketoprak atau pertunjukan lainnya yang membuat acara semakin semarak.

Sadranan Lepen Sendang Sengon Temanggung, Cara Masyarakat Bersyukur Atas Karunia Air Yang Melimpah

Sadranan Lepen Sendang Sengon Temanggung, Cara Masyarakat Bersyukur Atas Karunia Air Yang Melimpah

TEMANGGUNG – Ribuan warga Banjarsari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, kembali menggelar tradisi Sadranan Lepen di Sumber Mata Air Sendang Sengon atau warga sekitar menyebutnya Tok Sendang Sengon, pada Senin (11/7/2022). Grebeg Kirab ini rutin digelar setahun sekali, namun sempat terhenti selama dua tahun karena pandemi. Dan baru tahun ini diselenggarakan kembali. Sadranan Lepen merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang Desa Banjarsari. Tradisi ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas mata air yang senantiasa mengalir jernih dan melimpah. Sadranan Lepen diawali dengan kirab tujuh gunungan yang berisi tumpeng dan hasil bumi dari Pojok Desa Banjarsari menuju Mata Air Sendang Sengon yang berjarak sekitar 1 kilometer. Sesampainya di Sendang, kemudian dilakukan ritual pelepasan ikan sebanyak tujuh ekor. Hal ini sebagai perlambang bahwa air merupakan simbol kehidupan bagi seluruh makhluk. Air yang keluar dari mata air tersebut senantiasa memberikan kebermanfaatan terhadap warga sekitar. Selanjutnya warga bersama tokoh masyarakat setempat melakukan ritus basuh dan bersih diri di sendang. Seusai ritual tersebut dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng. Bupati Temanggung. HM Al Khadziq mengungkapkan permohonan maaf kepada warga masyarakat karena tradisi ini sempat terhenti selama dua tahun karena pandemi. Ia juga berharap warga masyarakat agar tetap menjaga dan memelihara lingkungan hidup sebaik-baiknya. “Mari kita jaga air ini dengan sebaik-baiknya. Lingkungan hidup juga perlu dipelihara dengan seksama agar sumber air kita tetap besar dan menghasilkan keberkahan buat kita semua,” katanya. Foto: ANTARA FOTO/Anis Efizudin/tom

Apitan, Tradisi Sedekah Bumi Peninggalan Wali Songo Sebagai Wujud Rasa Syukur

Apitan, Tradisi Sedekah Bumi Peninggalan Wali Songo Sebagai Wujud Rasa Syukur

Tradisi sedekah bumi merupakan tradisi yang lumrah dilakukan sebagian masyarakat Jawa. Salah satunya adalah Tradisi Apitan yang dilaksanakan pada bulan Apit dalam kalender aboge atau bulan Dzulqa’dah dalam penanggalan hijriyah. Tradisi Apitan dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat rezeki hasil bumi yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Biasanya tradisi ini dilakukan sebagian masyarakat Jawa di daerah Demak dan Grobogan, Jawa Tengah. Tradisi ini diyakini mulai diperkenalkan para Wali Songo sekitar lima abad yang lalu, atau pada masa penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Apitan merupakan tradisi sedekah bumi yang biasa dilakukan masyarakat Hindu. Pada masa itu, agama Hindu sebagai agama mayoritas di tanah Jawa. Namun Wali Songo kemudian memodifikasinya atau memasukkan unsur keislaman pada tradisi tersebut. Hal ini sebagai strategi syiar untuk meraih dukungan dan simpati masyarakat terhadap nilai-nilai Islam. Karena strategi akulturasi budaya inilah kemudian banyak masyarakat yang memeluk agama Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Makna Filosofis Tradisi Apitan Apitan adalah tradisi yang memiliki makna sangat dalam, yaitu sebagai bentuk syukur masyarakat terhadap karunia dan nikmat yang telah Tuhan Yang Maha Kuasa berikan. Mengapa kemudian dalam bentuk sedekah bumi? Secara filosofis, manusia tercipta dari tanah yang menjadi bagian dari unsur bumi, kemudian hidup di atas bumi, dan makan atau pun minum juga dari tumbuh-tumbuhan, atau pun memakan makhluk yang juga mengonsumsi unsur yang ditumbuhkan bumi atau tanah. Kelak manusia ketika meninggal juga akan kembali ke bumi. Untuk itulah manusia harus hidup selaras dan seimbang dengan seluruh komponen-komponen tersebut. Manusia dapat hidup juga karena adanya tumbuh-tumbuhan atau pun hewan yang tak terlepas dari unsur tanah, yang kemudian dikonsumsi oleh manusia. Untuk itulah, dilakukan ritual sebagai wujud syukur atas karunia yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa tersebut. Pelaksanaan Tradisi Apitan Pada umumnya tradisi apitan digelar dengan pertunjukan wayang kulit, kethoprak atau pun kesenian lainnya. Namun, selain itu ada pula yang menyelenggarakan tradisi ini dengan melakukan khataman Al Quran, seperti halnya dilakukan di Desa Kerangkulon, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Demak. Tradisi apitan diisi dengan khataman Al Quran 30 juz dengan 2 s.d. 3 kali pembacaan. Hal ini dilakukan agar dari pembacaan Al Quran dapat mendatangkan limpahan berkah bagi warga desa. Hal berbeda dilakukan masyarakat di Grobogan, Jawa Tengah. Salah satunya di Desa Sumber Jatipohon, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan. Warga di desa ini biasanya melakukan arak-arakan 12 gunungan dengan tinggi sekitar 2,5 meter setiap gunungan. Gunungan-gunungan hasil bumi itu kemudian diarak menuju obyek wisata alam Jatipohon. Warga yang mengikuti arak-arakan berjalan kaki berkilo-kilo meter dari dusun hingga melintas jalan utama Pati-Grobogan. Setelah sampai lokasi, 12 gunungan hasil bumi tersebut kemudian diletakkan berdampingan dan dilanjutkan doa oleh para tokoh setempat dan diamini para warga yang memadati lokasi. Setelah prosesi doa selesai, 12 gunungan itupun langsung diserbut warga yang mengikuti acara tersebut. Tak hanya dapat menikmati gunungan hasil bumi, biasanya yang mengikuti tradisi ini juga disuguhkan dengan hiburan khas daerah setempat. Acara ini sepintas mirip dengan tradisi Gerebeg di Yogyakarta. Apitan sendiri konon berasal dari nama bulan Apit dalam kalender Jawa. Bulan Apit jatuh setelah bulan Syawal dan sebelum bulan Dzulhijah (bulan haji). Apit juga berarti kejepit karena berada di antara Idul Fitri dan Idul Adha.