Jowonews

Nasi Goreng Pak Karmin Semarang, Legendaris dan Kelezatannya Tak Lekang Massa

Nasi Goreng Pak Karmin Semarang, Legendaris dan Kelezatannya Tak Lekang Massa

Semarang, kota yang memikat dengan kuliner khasnya, menyuguhkan pengalaman tak terlupakan bagi para pencinta nasi goreng. Salah satu tempat yang wajib Anda kunjungi adalah Nasi Goreng Babat Pak Karmin Semarang, sebuah warung yang telah menjajakan nasi goreng babat gongso selama hampir lima dekade. Pak Karmin, nama akrab dari Sukarmin, adalah sosok di balik kelezatan nasi goreng babat yang telah memikat hati warga Semarang selama bertahun-tahun. Ia memulai usahanya pada usia 22 tahun dengan warung sederhana dan resep rahasia yang turun temurun dari kakeknya. Meski awalnya hanya berjualan di dekat Jembatan Mberok dengan pelanggan yang tidak sebanyak sekarang, tekad Pak Karmin untuk mengembangkan rasa dan berinovasi tak pernah surut. Rahasia utama dari nasi goreng babat Pak Karmin terletak pada pemilihan daging babat yang cermat. Untuk mendapatkan daging babat yang lezat, Pak Karmin mencuci daging tersebut berkali-kali dengan air mengalir hingga bersih. Proses memasaknya juga memerlukan waktu yang cukup lama. Daging babat yang lembut direbus selama 3 jam, sementara yang kasar direbus selama 8 jam. Hasilnya adalah daging babat yang empuk, renyah, gurih, dan tidak berbau, yang disajikan dengan bumbu yang kental. Nasi goreng babat dan babat gongso Pak Karmin disajikan dengan sederhana, tetapi rasanya pedas, manis, dan asin secara bersamaan. Daging babat yang empuk dan bumbu yang kaya menciptakan perpaduan cita rasa yang tak terlupakan. Untuk yang tidak begitu menggemari jeroan, warung ini juga menyediakan alternatif dengan telur dan daging ayam gongso yang tak kalah lezat. Yang tak kalah menarik adalah penggunaan telur goreng yang selalu diletakkan di atas hidangan gongso dan nasi goreng babat. Ini adalah salah satu keunikan dari sajian Pak Karmin yang menggugah selera. Meskipun cita rasa kuliner ini sangat lezat, Pak Karmin mengaku bahwa ia tidak mengambil banyak keuntungan dari usahanya. Harga nasi gorengnya tetap terjangkau, bahkan selama lima tahun terakhir tidak mengalami kenaikan. Nasi babat gongso dihargai Rp25 ribu, nasi goreng babat Rp25 ribu, dan nasi telur Rp10 ribu. Pelanggan setia yang telah mengenal Pak Karmin selama bertahun-tahun juga menjadi bagian dari kekhasan warung ini. Di sini, Anda bisa merasakan nuansa kesederhanaan dengan tenda tambahan untuk area makan para pelanggan. Kadang-kadang, pelanggan harus bersabar dan menikmati hidangan babat gongso tepat di pinggir jalan atau Jembatan Mberok jika warung sedang ramai. Warung ini buka dari pukul 08:00 hingga 22:00 WIB setiap hari dan mampu menjual hingga 600 porsi dalam sehari. Kesuksesan warung ini bahkan membawa Pak Karmin membuka cabang lain di Jalan MH Thamrin, Semarang. Jadi, jika Anda mencari pengalaman kuliner yang unik dan lezat di Kota Semarang, Nasi Goreng Babat Pak Karmin Mberok adalah tempat yang wajib Anda kunjungi.

Mengenal Tradisi Kenduri Udan Dawet, Ritual Memohon Hujan di Boyolali

Kenduri Udan Dawet

Di Desa Banyuanyar, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, terdapat sebuah tradisi tradisional yang disebut “kenduri udan dawet.” Tradisi ini memiliki tujuan utama sebagai ritual untuk meminta hujan, terutama sebagai respons terhadap kemarau panjang yang tengah melanda. Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun sejak zaman nenek moyang mereka. Tradisi kenduri udan dawet biasanya dilaksanakan setiap tahun, tepatnya pada hari Jumat Pon bulan keempat dalam penanggalan Jawa. Bulan ini biasanya merupakan musim kemarau, dan inilah alasan utama mengapa tradisi ini dilaksanakan pada saat tersebut, yaitu untuk memohon hujan. Upacara ini diadakan di dekat sebuah sendang atau sumber air yang dikenal sebagai Mande Rejo, yang berada di Dukuh Desa Banyuanyar. Selama prosesi, dawet, makanan tradisional seperti tumpeng, serta ingkung ayam dan lauk-pauk lainnya dibawa dalam kirab oleh warga setempat. Ratusan warga dari berbagai dukuh, seperti Dukuh Dukuh, Dukuh Bunder, dan Ngemplak, mengenakan pakaian adat untuk mengikuti kirab ini. Dalam kirab, terdapat dua gunungan besar, yakni gunungan dawet dan gunungan yang berisi berbagai sayuran dan buah-buahan. Setibanya di Sendang Mande Rejo, prosesi selanjutnya dimulai dengan warga duduk bersama dan melakukan pembacaan doa-doa. Ritual kemudian dilanjutkan dengan menyiramkan dawet ke sendang tersebut sebagai tanda permohonan kepada Tuhan untuk memberikan hujan yang berkah. Selama proses penyiraman dawet ke sendang, warga juga mengucapkan kalimat “udan buyut,” yang memiliki makna sebagai permohonan agar hujan segera turun dengan deras. Setelah ritual selesai, warga berkumpul untuk meminum dawet dan bersama-sama makan dari tumpeng yang mereka bawa. Dengan melaksanakan tradisi ini, warga berharap agar hujan segera turun, sehingga mereka dapat segera melanjutkan aktivitas pertanian dan mendapatkan pasokan makanan untuk ternak mereka. Tradisi kenduri udan dawet ini mencerminkan pentingnya budaya dan kepercayaan lokal dalam menjaga keseimbangan alam dan kehidupan masyarakat.

Menelusuri Jejak Agama Katolik di Museum Misi Muntilan

Menelusuri Jejak Agama Katolik di Museum Misi Muntilan

MAGELANG – Di Muntilan, Kabupaten Magelang, terdapat sebuah museum yang memiliki tujuan utama untuk menyimpan dan memamerkan jejak sejarah agama Katolik di Jawa, terutama di wilayah Jawa Tengah. Museum ini dikenal dengan nama Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner dan terletak di Jalan Kartini 3, Muntilan. Salah satu hal menarik yang dapat ditemukan di halaman depan museum ini adalah patung Romo Frans van Lith. Bangunan museum ini terdiri dari dua lantai. Lantai pertama digunakan sebagai ruang perkantoran, sementara lantai kedua merupakan tempat penyimpanan berbagai barang bersejarah yang berkaitan dengan agama Katolik, seperti jubah, peralatan misa, dan sebagainya. Di antara koleksi tersebut terdapat barang-barang peninggalan Uskup Agung Semarang pada masanya, Mgr Albertus Soegijapranata. Juga terdapat barang-barang dan tanda jasa yang dimiliki oleh Romo YB Mangunwijaya. Salah satu hal yang mencolok di museum ini adalah ruangan khusus yang menampilkan kursi, mimbar, dan altar yang pernah digunakan oleh Paus Paulus Yohanes II saat ia memberikan khotbah di Lapangan Dirgantara Jogja pada 10 Oktober 1989. Selain itu, museum ini juga memiliki merchandise dan materi khotbah yang disampaikan oleh Paus Paulus Yohanes II dalam Bahasa Indonesia, serta foto-foto dokumentasi dari acara tersebut. Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner ini secara resmi diresmikan pada tanggal 14 Desember 2004 oleh Mgr Ignatius Suharyo, yang saat itu menjabat sebagai Uskup Agung Semarang. Peresmian museum ini juga bertepatan dengan perayaan 100 Tahun Pembaptisan Sendangsono yang terjadi pada tanggal 14 Desember 1904. Meskipun museum ini dimiliki oleh Keuskupan Agung Semarang, lokasinya dipilih di Muntilan. Salah satu alasannya adalah untuk menghormati sejarah perkembangan agama Katolik di Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Muntilan sendiri dianggap sebagai tempat di mana agama Katolik pertama kali tumbuh di Jawa. Adapun terkait pada saat itu adalah Romo van Lith. Museum ini memiliki koleksi yang beragam, dengan total sekitar 800 barang. Koleksi tersebut mencakup jubah, logam, medali, relik, wayang wahyu, alat-alat misa, dan masih banyak lagi. Salah satu jenis koleksi yang paling banyak adalah foto-foto yang mendokumentasikan sejarah agama Katolik di Jawa Tengah. Di antara koleksi tersebut, terdapat barang-barang bersejarah yang milik Monsinyur Soegi (Soegijapranata), termasuk kursi, alat-alat misa, aksesoris makan, cap tekan uskup, gong yang digunakan dalam perayaan, dan jubah. Selain itu, terdapat juga barang-barang peninggalan dari Romo YB Mangunwijaya, seperti jubah, sepatu, kamera, foto-foto, dan tanda jasa dari Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner ini terbuka untuk umum dari Senin hingga Jumat, dengan jam operasional mulai pukul 08.00 hingga 15.00 WIB. Pada hari Sabtu, museum dibuka mulai pukul 08.00 hingga 12.00 WIB. Museum ini libur pada hari Minggu, kecuali ada kesepakatan sebelumnya untuk melayani kunjungan pada hari tersebut.

Sendang Sinongko Klaten, Namanya Berasal Dari Biji Nangka Yang Dibuang Pakubuwono IV

Sendang Sinongko Klaten, Namanya Berasal Dari Biji Nangka Yang Dibuang Pakubuwono IV

Sendang Sinongko di Kabupaten Klaten adalah sebuah destinasi wisata tradisional yang memiliki kisah menarik yang terkait dengan Raja Solo Pakubuwono IV. Kisah ini mengungkapkan asal usul nama “Sinongko” yang tersemat pada sendang tersebut. Legenda Sendang Sinongko bermula dari rombongan kereta Raja Solo Pakubuwono IV yang sedang dalam perjalanan menuju Jogja. Mereka memutuskan untuk berhenti sejenak di lokasi ini untuk beristirahat. Saat Raja Pakubuwono IV melepas lelah, ia makan buah nangka, dan buah nangka tersebut ia buang ke tanah sambil memberi pesan agar sendang di tempat ini dinamakan Sinongko (atau Sinangka dalam bahasa Jawa). Sendang Sinongko di Desa Pokak sebenarnya sudah ada sejak lama dan telah berfungsi sebagai sumber air yang digunakan oleh warga secara turun-temurun untuk mengairi sawah mereka. Salah satu cerita menarik terkait Sendang Sinongko adalah pertemuan para petani di sekitar sendang dengan Kiai Singodrono, yang sebenarnya adalah seorang Adipati, bersama pengawalnya Kiai Wirogupo. Saat pertemuan tersebut, Kiai Singodrono memberikan pesan kepada para petani agar selalu bersyukur atas hasil panen mereka dan agar mereka tidak bekerja melebihi waktu yang seharusnya. Kiai Singodrono juga meminta agar para petani memanfaatkan waktu istirahat dengan sebaik-baiknya. Ia juga menyarankan agar pada saat panen ketiga hari Jumat Wage, para petani melakukan syukuran atau bersedekah dengan menyembelih kambing. Pesan dari Kiai Singodrono ini masih dipegang teguh oleh masyarakat hingga hari ini. Setiap tahun, pada hari Jumat Wage saat panen ketiga, para petani dan penduduk sekitar mengadakan syukuran dengan menyembelih kambing dan ayam. Tradisi ini telah menjadi bagian integral dari budaya mereka. Sendang Sinongko memiliki dua sumber utama air, yaitu sumber air di sisi barat yang dinamakan sendang lanang (pria) dan yang di sisi timur dinamakan sendang wadon (wanita). Kedua sumber air ini membentuk Sendang Sinongko. Tradisi bersih Sendang Sinongko dengan syukuran makan bersama daging kambing dan ayam telah ada sejak zaman dahulu. Warga secara sukarela menyumbangkan kambing, ayam, dan makanan untuk acara ini. Setiap kali tradisi ini diadakan, ribuan orang biasanya datang ke sendang ini, termasuk warga dari luar kota dan orang desa yang merantau. Sendang Sinongko terletak sekitar 500 meter di timur Jalan Jogja-Solo. Tempat ini memiliki suasana yang teduh karena dikelilingi oleh pepohonan besar. Di bawah pepohonan tersebut, gazebo, tempat duduk, ayunan, dan taman telah dibangun untuk kenyamanan pengunjung. Pengunjung dapat masuk ke lokasi ini tanpa membayar tiket masuk.

Peron Stasiun Purwokerto Disulap Jadi Catwalk Fashion Show Batik

Fashion Show Batik

PURWOKERTO – Biasanya fashion show selalu identik dengan catwalk dan lampu warna-warni. Penontonnya seringkali datang dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Namun ada yang berbeda pada peragaan busana batik yang diselenggarakan PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi (Daop) 5 Purwokerto. Peron stasiun yang biasa digunakan untuk menaikkan dan menurunkan penumpang disulap menjadi area modeling untuk lima wanita dan satu pria. Mereka berlenggak-lenggok di area stasiun dengan luwes. Para model mengenakan batik Banyumasan kualitas atas yang dibuat oleh desainer lokal Ari Nugroho, Dewi Firda, Ira Satja, dan Reny Andri. Tak hanya itu, model ini juga berkesempatan tampil fashion di KA Taksaka yang berhenti di stasiun Purwokerto. Dalam waktu kurang dari 5 menit, para model melewati lorong kereta sebelum kereta melanjutkan perjalanannya. Saat ditemui setelah acara, Daniel Johannes Hutabarat, Wakil Presiden Daop 5 Purwokerto, menjelaskan bahwa acara tersebut adalah acara ‘Fashion Batik on the Train and Station’ yang diadakan untuk memperingati Hari Batik Nasional. “Sebagai warisan budaya tak benda, gelaran Fashion Batik on the Train and Station ini tentunya sebagai bentuk apresiasi dan rasa bangga atas batik, khususnya batik-batik khas Banyumas.”” kata Daniel usai acara, Senin (10/2/2023). Kreasi batik Banyumasan dikenakan oleh 6 model. Ini juga merupakan kesempatan untuk menampilkan produk-produk usaha kecil dan menengah bagi para perajin batik di daerah Banyumas. “KAI tetap berkomitmen untuk terus memberikan kontribusi kepada masyarakat, salah satunya melalui program tanggung jawab sosial dan lingkungan,” jelasnya. Kami berharap melalui peringatan ini, warisan budaya batik semakin mendunia dan menambah rasa percaya diri masyarakat Indonesia untuk peduli terhadap warisan budaya Indonesia. “Hari Batik Nasional tidak hanya sekedar mempertegas jati diri bangsa Indonesia, namun juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui industri batik,” tutupnya. (JN/Detik Jateng)