Oleh: Dewi Nikmatul Latifah
Perkembangan dan modernisasi saat ini menuntut setiap orang untuk tetap relevan dan tidak gagap pada perubahan yang terjadi. Munculnya abad-21 membawa kita pada pemenuhan keterampilan abad-21 yang tentu berbeda dengan era sebelumnya. Istilah seperti “dulu biasanya kakek nenekmu melakukan ini, jadi lakukanlah hal yang sama” menjadi tidak lagi terdengar menarik dan cocok dengan zaman sekarang karena perbedaan struktur sosial, budaya, teknologi, bahkan politik.
Mengutip konsep pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa tujuan pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak supaya mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai manusia dan anggota masyarakat. Dari pernyataan tersebut, terlihat bahwa proses pendidikan merupakan jalan yang ditempuh agar seorang anak mampu cakap mengenali lingkungan dan menyelesaikan masalah yang ditemui agar dapat selamat dan mencapai kebahagiaannya. Konsep pendidikan ini dirasa masih sangat relevan dengan proses pendidikan saat ini, bahkan yang akan datang.
Pembelajaran yang saat ini dilakukan perlu menerapkan keterampilan abad-21, yakni keterampilan dalam berpikir kritis, berpikir kreatif, berkolaborasi, dan berkomunikasi. Pembelajaran ini dapat diterapkan melalui penerapan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Peserta didik tidak lagi hanya belajar tentang pengertian dari suatu konsep dan bagaimana konsep tersebut diterapkan, namun lebih pada penerapan dalam penyelesaian nyata yang dapat dialami peserta didik di lingkungannya. Dengan begitu, peserta didik diharapkan mampu mengembangkan keterampilan berpikirnya sehingga ia tidak lagi gagap dalam menghadapi permasalahan di kehidupan saat ia dewasa.
Faktanya, kemampuan berpikir dan penalaran di Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini dapat dibuktikan melalui hasil studi PISA tahun 2018 yang memposisikan Indonesia pada peringkat ke 74 alias peringkat keenam terbawah. PISA sendiri adalah program asesmen internasional yang mengukur prestasi di bidang kemampuan matematika, sains, dan literasi membaca. Merefleksi dari hasil perolehan tersebut, Indonesia masih banyak PR besar yang perlu diselesaikan, baik oleh pemerintah, guru, maupun bantuan orang tua peserta didik terkait pola pembelajaran dan pendidikan.
Keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skill) bukanlah suatu istilah yang baru dalam dunia pendidikan. Sejak dimunculkannya Kurikulum 2013, pola pembelajaran dengan menerapkan keterampilan berpikir tingkat tinggi terus digalakkan. Keterampilan berpikir tingkat tinggi atau lebih dikenal dengan HOTS adalah keterampilan dalam memahami dan menganalisis suatu permasalahan, yang didalamnya seseorang tidak hanya diminta untuk mengenali secara menyeluruh tentang masalah yang dihadapi, namun juga mampu menganalisis, memberikan argumen, dan sampai menciptakan solusi atau hasil dari permasalahan tersebut.
Penerapan pembelajaran berbasis HOTS biasanya dimunculkan dalam soal-soal tes. Perlu diketahui bahwa soal HOTS tidak melulu terkesan sulit dan berbelit. Berdasarkan dimensi ilmu pengetahuan, umumnya soal HOTS berada pada dimensi metakognitif, yakni dimensi yang merujuk pada tindakan dalam proses berpikir sampai pada penerapan keputusan dari hasil olah pikirnya. Dalam taksonomi Bloom, HOTS dapat dilihat dari kata kerja operasional mulai dari menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Sedangkan kata kerja operasional tentang pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi masih dianggap sebagai pola keterampilan berpikir tingkat rendah.
Penerapan HOTS sebenarnya tidak hanya dilihat dari variasi soal yang disajikan. HOTS juga dapat dilakukan dengan mengimplementasikan pembelajaran berbasis masalah yang merangsang peserta didik untuk dapat menganalisis permasalahan sampai menciptakan solusi permasalah dengan menghasilkan produk tertentu. Dalam Kurikulum Merdeka, penerapan HOTS ditampilkan pada penekanan model pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) dan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning). Kedua model tersebut memiliki langkah kegiatan yang menuntut peserta didik dapat terampil dalam penyelesaian masalah.
Model pembelajaran berbasis masalah terdiri dari langkah 1) orientasi masalah; 2) mengorganisasikan peserta didik untuk belajar; 3) membimbing kelompok; 4) menyajikan hasil diskusi; dan 5) mengevaluasi proses pemecahan masalah. Berbeda dengan model pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran berbasis proyek menitikberatkan pada langkah penentuan proyek dengan mencari tema, merancang dan memproses aktivitas kegiatan proyek, dan menyelesaikannya. Selain mempelajari tentang pemahaman konsep dan menerapkan konsep tersebut, peserta didik mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatifnya dalam penyelesaian masalah melalui aktivitas yang dikembangkan dalam pembelajaran. Selain itu, kolaborasi dan komunikasi juga dapat muncul melalui kegiatan diskusi dan berkelompok dalam penyelesaian masalah.
Pembelajaran berbasis masalah dan proyek dapat mendukung tercapainya keterampilan abad-21 dengan melatih kemampuan pemecahan masalah, baik secara kelompok maupun individu. Tersedianya masalah kontekstual memfasilitasi peserta didik untuk dapat menganalisis kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dengan menyusun argumen yang menguatkan penyelesaian masalah tersebut. Peran guru sebagai fasilitator perlu memastikan terpenuhinya kebutuhan dan sarana prasarana yang dibutuhkan peserta didik agar proses belajar dapat dilaksanakan secara efektif.