Pernahkah kamu merasakan nikmatnya camilan manis dengan tekstur lembut dan cita rasa yang terus membekas di lidah? Itulah getuk, makanan tradisional khas Indonesia yang terbuat dari singkong. Getuk bukan sekadar jajanan biasa, tapi juga menyimpan sejarah yang kaya dan makna budaya yang dalam, terutama bagi masyarakat Jawa Tengah.
Getuk, yang sekarang bisa kamu temukan di banyak pasar dan toko jajanan, memiliki kisah menarik. Dikenal luas di Magelang, Jawa Tengah, getuk sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang. Karena beras saat itu sangat langka dan mahal, masyarakat Magelang mulai mencari alternatif bahan makanan pokok. Singkong, yang mudah didapatkan, menjadi pilihan utama. Singkong yang dikukus dan dihancurkan, lalu dicampur dengan gula merah untuk menambah rasa manis, adalah cikal bakal getuk seperti yang kita kenal sekarang ini.
Asal-usul Getuk
Sebuah jurnal yang dipublikasikan oleh Universitas Dr. Soetomo menjelaskan bahwa getuk awalnya adalah camilan yang mengandalkan singkong sebagai bahan utama, dengan rasa manis dan gurih yang menggoda selera. Nama “getuk” sendiri berasal dari suara “tuk-tuk” yang terdengar saat singkong ditumbuk halus. Ada pula yang menafsirkan “getuk” sebagai “Pas Digigit Manthuk-Manthuk”, menggambarkan kenikmatan rasa yang terus teringat setelah mencobanya.
Seiring waktu, getuk berkembang menjadi berbagai variasi yang menarik. Selain getuk original, saat ini kita bisa menemukan getuk lindri, getuk trio Magelang, getuk gulung, dan bahkan getuk goreng sokoraha. Variasi ini memberi lebih banyak pilihan bagi para penyuka jajanan tradisional yang ingin mencoba rasa yang baru.
Tak hanya di Magelang, popularitas getuk kini merambah ke berbagai daerah di Indonesia. Beberapa orang bahkan menjuluki Magelang sebagai “Kota Getuk” karena kota ini jadi pusat produksi getuk yang terkenal. Penambahan bahan seperti kelapa parut atau ubi pada getuk juga semakin memperkaya rasa dan tampilan, makin menggugah selera.
Seiring berjalannya waktu, getuk tak hanya jadi simbol kekayaan kuliner tradisional, tetapi juga menunjukkan bagaimana sebuah jajanan bisa bertahan, beradaptasi, dan menghadirkan kenangan untuk banyak generasi. Dari masa penjajahan hingga kini, getuk tetap ada dan menjadi bagian dari warisan kuliner yang perlu kita jaga.
Sebagai makanan yang dibuat dari bahan lokal, getuk mencerminkan kearifan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam sekitar. Dengan ragam inovasi rasa dan bentuk, getuk tetap relevan di dunia kuliner modern. Kini, getuk bukan hanya sekadar kenangan manis masa kecil, tapi juga dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, baik di pasar tradisional maupun di gerai modern.
Filosofi Getuk, Simbol Kesederhanaan dan Kebermanfaatan
Getuk, camilan tradisional berbahan singkong ini, tak hanya menggoda lidah dengan rasa manisnya, tetapi juga mengandung filosofi hidup yang mendalam. Singkong, sebagai bahan utama getuk, melambangkan kesederhanaan. Tanaman ini tumbuh dengan mudah di banyak tempat tanpa perlu pamer, namun memberikan manfaat yang berarti bagi banyak orang. Singkong mengajarkan kita untuk tetap rendah hati, meski berasal dari sumber yang sederhana dan mudah diakses.
Sedangkan kelapa parut yang biasanya disajikan sebagai pelengkap getuk menggambarkan kebermanfaatan. Hampir semua bagiannya bisa dimanfaatkan, kelapa menjadi simbol hidup yang memberi manfaat bagi orang lain. Ini menjadi pesan penting tentang bagaimana seharusnya manusia hidup dengan tujuan memberi kepada lingkungan sekitar, tak hanya untuk kepentingan diri sendiri.
Kombinasi antara singkong dan kelapa dalam getuk merepresentasikan filosofi hidup yang sederhana, tetapi kaya makna dan manfaat. Penggunaan singkong sebagai bahan utama untuk menggantikan nasi pada masa lalu juga mencerminkan kemampuan manusia berinovasi dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Dalam berbagai situasi, kita diajarkan untuk tidak hanya bergantung pada hal-hal yang besar, tetapi juga menggali potensi dari hal-hal sederhana yang sering kali terlupakan.
Lebih dari itu, getuk mengajarkan kita untuk bersyukur atas apa yang dimiliki dan berusaha menjadikannya lebih berharga dan bermanfaat. Filosofi ini sejalan dengan ajaran hidup masyarakat Jawa yang dikenal dengan “nrimo ing pandum”, yaitu mengajarkan untuk menerima takdir dengan ikhlas sambil terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Getuk bukan sekadar soal rasa, melainkan juga sebagai refleksi dari nilai-nilai hidup yang bisa menginspirasi kita untuk menghargai dan memanfaatkan apa yang kita miliki.
Makanan tradisional Indonesia ini, meski terbuat dari singkong, memiliki banyak variasi yang berbeda di tiap daerah. Dari getuk pisang di Kediri, getuk goreng khas Banyumas dan Purwokerto, hingga getuk lindri, getuk trio, dan getuk sukun yang bisa ditemukan di Klaten, kelezatan getuk semakin beragam seiring berjalannya waktu.
Di Magelang, ada juga tradisi unik yang disebut Grebeg Getuk, yaitu festival merayakan hari jadi kota tersebut. Dalam acara itu, getuk disusun menjadi dua gunungan yang kemudian diarak keliling kota. Setelahnya, warga berlomba-lomba untuk mendapatkan getuk yang ada di gunungan, menjadikannya tradisi yang penuh semangat dan keakraban.
Varian Getuk yang Beragam di Setiap Daerah
Setiap daerah di Indonesia memiliki versi getuk tersendiri yang menggugah selera. Di Semarang, misalnya, getuk biasa disajikan saat hajatan atau kerja bakti. Ada sekitar delapan jenis getuk yang menjadi favorit, masing-masing memiliki ciri khas. Beberapa di antaranya adalah:
Getuk Pisang (Kocomoto)
Getuk Pisang, atau yang lebih akrab disapa Kocomoto, punya bentuk unik yang mirip dengan kacamata. Terdiri dari dua potongan oval yang saling menyatu di bagian tengahnya, makanan ini punya rasa manis yang enak. Dengan potongan pisang di tengahnya, rasanya jadi lembut dan alami. Pisang yang digunakan menambah kekayaan rasa gurih yang berpadu dengan tekstur kenyal getuk dari singkong, sehingga menciptakan kombinasi yang benar-benar memanjakan lidah.
Lupis
Lupis adalah versi getuk yang lebih gurih dibandingkan dengan yang lainnya. Terbuat dari ketan yang sudah dimasak dan dipotong-potong, lupis menawarkan tekstur kenyal yang menarik. Setelah dimasak, lupis ini ditaburi kelapa parut yang gurih dan sedikit manis, menjadikannya camilan yang sempurna. Rasa gurihnya kontras dengan kelembutan kelapa parut yang menyelimuti setiap potong lupis.
Klepon
Klepon adalah getuk bulat kecil dengan tekstur kenyal, mirip dengan klepon pada umumnya. Bedanya, klepon getuk ini memiliki isian gula merah yang meleleh saat digigit, memberikan sensasi rasa manis yang khas. Kulitnya terbuat dari tepung ketan yang kenyal dan biasanya dilapisi kelapa parut, yang menambah nikmatnya.
Getuk Ketan Hitam
Getuk Ketan Hitam dibuat dari ketan hitam yang lebih bergizi dibandingkan ketan putih. Ketan hitam ini memberi cita rasa yang lebih kaya dengan tekstur yang padat dan kenyal. Umumnya, getuk ini memiliki rasa gurih yang sedikit khas, membuatnya jadi pilihan sehat dan lezat. Biasanya, ditambah gula merah sebagai pemanis alami yang semakin menambah kenikmatannya.
Getuk Kethek
Getuk Kethek adalah varian getuk dengan tekstur kenyal yang unik. Berbeda dengan getuk biasa, getuk kethek ini terbuat dari singkong yang diolah dengan cara spesial, memberi tekstur yang lebih pulen dengan rasa manis alami. Sederhana tapi khas, getuk kethek ini jadi favorit di beberapa daerah Indonesia. Banyak orang suka menjadikannya camilan karena kenyal dan rasa manisnya yang pas.
Getuk Jongkong
Getuk Jongkong memiliki tekstur yang lebih padat dibandingkan jenis getuk lainnya. Biasanya dibuat dari singkong atau ketan yang dicampur gula merah, menghasilkan rasa manis yang nikmat. Getuk Jongkong sering disajikan dalam potongan besar atau persegi, dan ketebalan teksturnya membuatnya cukup mengenyangkan. Makanan ini paling pas dijadikan camilan berat karena bisa mengisi perut dengan baik.
Getuk Suwut (Gobet)
Getuk Suwut, atau yang juga dikenal sebagai Gobet, adalah varian getuk yang diparut dan dikukus bersama gula merah. Proses ini memberi tekstur yang lembut dan rasa manis khas dari gula merah yang meresap. Getuk Suwut ini betul-betul memanjakan lidah dengan kelembutan dan rasa manis alami.
Getuk Cenil
Getuk Cenil punya tekstur kenyal seperti klepon, tapi lebih kecil dan biasanya berwarna cerah. Terbuat dari tepung kanji atau tepung ketan yang dicetak bulat-bulat kecil, getuk cenil ini sering diberi pewarna alami dari daun suji atau pandan, bikin tampilannya jadi lebih menarik. Rasa manis dan kenyalnya membuatnya jadi camilan ringan yang menyenangkan.
Setiap varian getuk ini mencerminkan kekayaan kuliner tradisional Indonesia, lengkap dengan beragam rasa, tekstur, dan cara penyajian yang unik. Untuk menambah cita rasa, getuk-getuk ini seringnya disajikan dengan kelapa parut dan gula merah cair. Dengan banyak pilihan ini, pasti memanjakan siapa saja yang mencobanya.
Kenapa Getuk Tetap Populer hingga Kini?
Meskipun kini banyak jajanan modern, getuk tetap jadi pilihan favorit banyak orang. Beberapa faktor yang membuat getuk bertahan adalah rasanya yang enak, teksturnya yang beragam, harganya yang terjangkau, serta nilai sejarah yang terkandung di dalamnya. Sebagai bagian dari warisan kuliner Indonesia, getuk bukan hanya camilan, tapi juga simbol kekayaan budaya yang harus kita lestarikan.
Di zaman modern yang serba cepat ini, penting bagi kita untuk terus mengenalkan getuk kepada generasi muda, agar makanan tradisional ini tidak hilang ditelan zaman. Dengan mencintai dan melestarikan getuk, kita turut menjaga identitas budaya Indonesia yang sangat berharga.