Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai petapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam Prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Karena Sanggramawijaya Tunggadewi menolak naik tahta, maka secara otomatis tahta kerjaan jatuh pada putra Airlangga yang lain. Karena Putra Airlangga ada dua, maka hal ini membuat masalah pelik dalam Kerajaan Kahuripan. Untuk itulah kemudian hal ini menjadi awal mula pembelahan Kerajaan Kahuripan. Awal Mula Pembelahan Kerajaan Kahuripan Masalah yang pelik itu muncul sebelum Airlangga turun tahta pada tahun 1042. Saat itu, ia dihadapkan pada masalah persaingan antara kedua putranya. Menurut Serat Calon Arang Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Mengingat dirinya juga putra Raja Bali, makan ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersbut, namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain, yaitu Anak Wungsu. Karena kebingungan itu, Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan Prasasti Turun Hyang II. Berikut adalah kedua pembelahan Kerajaan Kahuripan. Kerajaan barat disebut Kadiri, berpusat di kota baru, yaitu Daha dan diperintah oleh Sri Samarawijaya. Kerajaan timur bernama Janggala, berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, yang diperintah oleh Mapanji Garasakan Dalam Prasasti Turun Hyang, diketahui bahwa nama Raja Janggala setelah pembelahan adalah Mapanji Garasakan. Sedangkan nama Raja Kediri tidak disebutkan dengan jelas, namun dapat diperkirakan dijabat oleh Samarawijaya, karena sebelumnya ia sudah menjabat sebagai putra mahkota. Tetap Terjadi Perebutan Kekuasaan Prasasti Turun Hyang tersebut merupakan piagam pengesahan anugrah Mapanji Garasakan tahun 1044 terhadap penduduk desa Turun Hyang yang setia membantu Janggala melawan Kediri. Jadi, pembelahan kerajaan oleh Airlangga terkesan sia-sia belaka, karena kedua putranya, yaitu Samarawijaya dan Mapanji Garasakan, tetap berebut kekuasaan. Adanya unsure Teguh dalam gelar Samarawijaya menunjukkan bahwa ia adalah putra Airlangga yang dilahirkan dari putri Dharmawangsa Teguh. Sedangkan Mapanji Garasakan adalah putra dari istri kedua. Dugaan bahwa Airlangga memiliki dua orang istri didasarkan penemuan dua patung wanita pada Candi Belahan di lereng Penanggungan. Pembelahan kerajaan sepeninggal Airlangga tidak membuahkan hasil. Perang saudara tetap terjadi antar Garasakan (Raja Janggala) melawan Sri Samarawiaya (Raja Kediri). Mula -mula kemenangan berada di pihak Janggala. Pada tahun 1044, Garasakan menetapkan Desa Turun Hyang sebagai sima swatantra atau perdikan, karena para pemuka desa tersebut setia membantu Janggala melawan Kadiri. Pada tahun 1052, Garasakan memberi anugerah kepada Desa Malenga karena membantu Janggala mengalahkan Aji Linggajaya (Raja Tanjung), Linggajaya merupakan raa bawahan Kadiri. Piagam yang berkenaan dengan peristiwa tersebut terkenal dengan nama Prasasti Malenga. Ketika Airlangga turun tahta pada tahun 1042, ia kemudian menjadi pendeta. Menurut Sarat Calon Arang, Airlangga kemudian bergelar Resi Gentayu. Namun, yang paling dapat dipercaya adalah Prasasti Gandhakuti (1042), yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Padukan Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana. Dalam Prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja. Sedangkan dalam Prasasti Gandakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut. Sebuah sumber lain juga mengatakan bahwa setelah membagi kerajaan menjadi dua, Airlangga kemudian menjadi petapa, dan meninggal tahun 1049. Semasa hidupnya, Airlangga dianggap sebagai titisan Wisnu, dengan lencana Kerajaan Garudamukha. Sehingga sebuah arca indah yang disimpan di Museum Mojokerto mewujudkannya sebagai Wisnu yang menaiki Garuda. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan bahwa Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang sesuai dengan berita Prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di Lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut, ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan Prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut agama Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu Ibu Sri Samarawijaya dan Ibu Mapanji Garasakan. Pada Candi Belahan, ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut. Kisah Airlangga digambarkan dalam Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Kejayaan Airlangga tidak berhenti sampai di situ. Di era modern saat ini, nama Airlangga diabadikan menjadi beberapa nama. Diantaranya adalah sebagai berikut Nama kelurahan di Surabaya Di Surabaya, juga terdapat Universitas Airlangga, sebuah perguruan tinggi negeri tertua dan ternama di Indonesia Di Kota Kediri, terdapat Museum Erlangga Di Jakarta, terdapat penerbit Erlangga Selain itu, beberapa kota juga menggunakan Airlangga sebagai nama jalan.