Jowonews

Resep Rawon Iga Sapi, Dagingnya Empuk dan Kuahnya Gurih Pedas

Resep Rawon Iga Sapi, Dagingnya Empuk dan Kuahnya Gurih Pedas

Punya banyak daging sapi di kulkas, tapi masing bingung mau masak apa? Tenang, ada banyak ragam menu dan resep olahan daging sapi yang bisa dicoba sendiri di rumah. Salah satunya adalah Resep Rawon Iga Sapi. Jika rawon biasanya menggunakan bahan dasar daging sapi, tapi kreasi lain yang dapat dicoba adalah dengan memanfaatkan iga sapi sebagai bahan dasarnya. Bahan-bahan seperti bumbu dan pelengkap sama seperti bumbu rawon pada biasanya. Namun, dagingnya diganti dengan iga sapi. Resep Rawon Iga Sapi Kunci keberhasilan membuat rawon iga yang lezat adalah daging iga lunak dan lembut. Ada dua tahap untuk membuat daging iga yang lembut tersebut. Rebus iga dalam 2 tahap. Sebelum iga dimasukkan ke kaldu bersama tumisan, iga perlu direbus dahulu setengah lunak. Selanjutnya, pada rebusan kedua, iga sapi harus dipastikan telah lunak. Untuk proses/ tahapan merebus iga sapi ini harus sudah benar. Berikut Resep Rawon Iga Sapi yang dikutip dari akun Instagram @dapurdini5 Bahan: Iga sapi 1 kg Serai 2 btg, geprek Lengkuas 4 cm Daun Jeruk 5 lembar Daun Salam 2 lbr Garam, merica , gula merah dan kaldu bubuk secukupnya Air Bumbu Halus: Bawang merah 10 butir Bawang putih 6 siung Kemiri 3 butir Cabe merah besar 3 bh Ketumbar sangrai 1 sdt Jahe 3 cm Kunyit 3 cm Terasi Mateng 1 sdt Keluwek 8 bh, kupas dan seduh sama air panas Cara Membuat: Cuci dan rebus iga sapi sampai mendidih dan darah kotornya keluar, buang air rebusan pertama, kemudian didihkan air, masukan kembali iga sapi, masak sampai setengah matang Tumis bumbu halus bersama serai, daun salam , Laos dan daun jeruk, masak sampai wangi, kemudian masukan kedalam kaldu iga sapi Kemudian masukan garam, merica, gula merah dan kaldu bubuk, masak sampai daging empuk dan bumbu menyerap, koreksi rasa dan sajikan hangat Pelengkap Telur asin Sambel rawit Jeruk nipis Bawang goreng Daun bawang Kerupuk kaleng / putih

Biografi Syaikh Jumadil Kubra, Satu Nama Banyak Cerita

Biografi Syaikh Jumadil Kubra, Satu Nama Banyak Cerita

Di dalam sumber-sumber histoiografi, kisah tokoh yang dikenal dengan Syaikh Jumadil Kubra meimiliki banyak versi. Menurut Th. G. Th. Pigeaud dalam Literature of Java : Catalogue Raisonne of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Collections in The Netherlands, disebutkan bahwa pada zaman kuno terdapat empat orang suci beragama Islam: Jumadil Kubra di Mantingan, Nyampo di Suku Domas, Dada Pethak di Gunung Bromo, dan Maulana Ishak di Blambangan. Asal Muasal Nama Jumadil Kubra Menurut Martin an Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, Tarekat, dan Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, nama Jumadil Kubra yang mirip nama Arab tergolong aneh karena melanggar tata bahasa Arab. Kata Arab Kubra adalah kata sifat dalam bentuk mu’annas (feminin), bentuk superlatif (ism tafdhil) dari kata kabir, yang berarti ‘besar’. Bentuk kata mudzakkar (maskulin) yang sesuai adalah akbar. Martin menilai aneh, kata al-Kubra menjadi bagian nam seorang laki-laki. Karena itu, Martin erpendapat nama Jumadil Kubra aalah penyingkatan nama Najmuddin al-Kubra menjadi Najumadinil Kubra, yang dihilangkan bunyi suku kata pertamanya menjadi Jumadil Kubra. Berbagai Versi Sosok Syaikh Jumadil Kubra Di dalam Kronika Banten, Syeikh Jumadil Kubra digambarkan sebagai seorang nenek moyang Sunan Gunung Jati. Dikisahkan bahwa salah seorang putera Syeikh Jumadil Kubra yang bernama Ali Nurul Alam tinggal di Mesir. Ali Nurul Alam beputra Syarif Aabdullah. Syarif Abdullah berputra Syarif Hidayatullah, kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Sementara itu, menurut Babad Cirebon, tokoh Syeikh Jumadil Kubra dianggap sebagai leluhur Sunan Gunung Jati dan wali-wali lai seperti Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga. Sedangkan menurut Kronika Gresik, Syeikh Jumadil Kubra memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel dan tinggal di Gresik. Putera Syeikh Jumadil Kubra bernama Maulana Ishaq dikirim ke Blambangan untuk melakukan islamisasi di sana. Maulana Ishaq adala ayah dari Sunan Giri. Jadi Syeikh Jumadil Kubra, menurut versi ini adalah kakek dari Sunan Giri. Sejalan dengan Kronika Gresik, Raffles dalam The History of Java yang mencatat kisah-kisah legenda Gresik menyebutkan bahwa Syaikh Jumadil Kubra bukanlah seorang tokoh nenek moyang melainkan seorang pembimbing wali yang pertama. Dikisahkan, Raden Rahmat yang kelak menjadi Sunan Ampel, pertama-tama datang dari Champa ke Palembang dan kemudian meneruskan perjalanan ke Majapahit. Mula-mula Raden Rahmat ke Gresik, dan mengunjungi seorang ahli ibadah yang tinggal di Gunung Jali, bernama Syeikh Molana Jumadil Kubra. Syeikh Molana Jumadil Kubra kemudian menyatakan bahwa kedatangannya telah diramalkan oleh Nabi bahwa keruntuhan agama kafir telah dekat dan Raden Rahmat dipilh untuk mendakwahkan Agama Islam di pelabuhan timur Pulau Jawa. Babad Tanah Jawi menuturkan bahwa Syeikh Jumadil Kubra adalah sepupu Sunan Ampel yang hidup sebagai petapa di sebuah hutan dekat Gresik. Keberadaan Syeikh Jumadil Kubra sebagai seorang petapa, didapati pula dalam cerita tutur bersifat legendaris yang tersebar di sekitar lereng Gunung Merapi di utara Yogyakarta. Dalam cerita ini, Syeikh Jumadil Kubra diyakini sebagai wali tertua asal Majapahit yang hidup bertapa di hutan Lereng Merapi. Syeikh Jumadil Kubra dalam legenda itu, diyakini berusia sangat tua sehingga dipercaya menjadi penasihat ruhani Sultan Agung. Sementara itu, menurut tradisi para sayyid asal Hadramaut yang datang ke Indonesia pada akhir abad ke – 18, para wali termasuk Syeikh Jumadil Kubra yang mengislamkan Jawa dan wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara adalah keturunan sayyid. Tokoh yang dianggap sebagai leluhur mereka itu bernama Jamaluddin Husain al-Akbar. Manakah kisah yang lebih otentik antara sumber-sumber babad lokal dengan cerita radisi yang disampaikan para sayyid? Dalam simpulannya, Martinvan Bruinessen yang mendasar kajian pada dokumentasi yang ada, menilai versi babad Jawa lebih asli daripada versi para sayyid. Bagi Martin, cerita tentang Jamaluddin al-Akbar versi para sayyid tampaknya merupakan hasil dari upaya pada abad ke-20 awal untuk ‘mengoreksi’ legenda-legenda Jawa. Kata sifat Kubra diganti dengan kata Arab yang lebih tepat, yaitu al-Akbar, dan nama aneh Jumadil diganti dengan nama Arab yang paling mirip, yaitu Jamaluddin. Banyak Makam Syaikh Jumadil Kubra Sesuai dengan kisah keberadaan dan sepak terjangnya yang simpang siur dalam banyak versi, makamnya juga diyakini berada di berbagai tempat. Berdasar kisah dalam Babad Tanah Jawi yang menuturkan Syeikh Jumadil Kubra pernah melakukan tapa di Bukit Bergota di Semarang, maka penduduk setempat meyakini bahwa sebuah makam tua yang terletak di antara tambak dan darah Terbaya, adalah makam Syeikh Jumadil Kubra. Kisah Syeikh Jumadil Kubra di Gresik dan Mantingan, tidak meninggalkan jejak makam maupun petilasan dari tokoh tersebut. Di lereng Gunung Merapi tepatnya di Desa Turgu di kaki Gunung Kawatsu, terdapat makam keramat yang diyakini sebagai makam Syeikh Jumadil Kubra. Dan, satu-satunya makam yang diyakini umum sebagai kuburan Syekh Jumadil Akbar adalah yang terletak di kompleks makam Tralaya di Kabupaten Mojokerto. Sumber referensi: Agus Sunyoto dalam buku Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah

Babad Tanah Jawi: Masa Pembangunan Kerajaan Kahuripan

Babad Tanah Jawi: Masa Pembangunan Kerajaan Kahuripan

Masa Pembangunan Kerajaan Kahuripan. Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga juga memperluas wilayah Kerajaan Kahuripan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut Prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Untuk membangun kembali Kerajaan Kahuripan, Airlangga harus menunggu waktu hingga semua keadaan aman. Baru setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan berbagai pembangunan di berbagai sektor demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya adalah sebagai berikut :1. Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 10362. Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman3. Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh yang letaknya di Muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang4. Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.5. Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 10416. Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha Selain menaruh perhatian pada berbagai pembangunan itu, Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Buktinya pada tahun 1035, Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan wurawari. Ketika itu Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Siwa dan Budha. Sumber Referensi: Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli | Penulis: Soedjipto Abimanyu

Sadranan Lepen Sendang Sengon Temanggung, Cara Masyarakat Bersyukur Atas Karunia Air Yang Melimpah

Sadranan Lepen Sendang Sengon Temanggung, Cara Masyarakat Bersyukur Atas Karunia Air Yang Melimpah

TEMANGGUNG – Ribuan warga Banjarsari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, kembali menggelar tradisi Sadranan Lepen di Sumber Mata Air Sendang Sengon atau warga sekitar menyebutnya Tok Sendang Sengon, pada Senin (11/7/2022). Grebeg Kirab ini rutin digelar setahun sekali, namun sempat terhenti selama dua tahun karena pandemi. Dan baru tahun ini diselenggarakan kembali. Sadranan Lepen merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang Desa Banjarsari. Tradisi ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas mata air yang senantiasa mengalir jernih dan melimpah. Sadranan Lepen diawali dengan kirab tujuh gunungan yang berisi tumpeng dan hasil bumi dari Pojok Desa Banjarsari menuju Mata Air Sendang Sengon yang berjarak sekitar 1 kilometer. Sesampainya di Sendang, kemudian dilakukan ritual pelepasan ikan sebanyak tujuh ekor. Hal ini sebagai perlambang bahwa air merupakan simbol kehidupan bagi seluruh makhluk. Air yang keluar dari mata air tersebut senantiasa memberikan kebermanfaatan terhadap warga sekitar. Selanjutnya warga bersama tokoh masyarakat setempat melakukan ritus basuh dan bersih diri di sendang. Seusai ritual tersebut dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng. Bupati Temanggung. HM Al Khadziq mengungkapkan permohonan maaf kepada warga masyarakat karena tradisi ini sempat terhenti selama dua tahun karena pandemi. Ia juga berharap warga masyarakat agar tetap menjaga dan memelihara lingkungan hidup sebaik-baiknya. “Mari kita jaga air ini dengan sebaik-baiknya. Lingkungan hidup juga perlu dipelihara dengan seksama agar sumber air kita tetap besar dan menghasilkan keberkahan buat kita semua,” katanya. Foto: ANTARA FOTO/Anis Efizudin/tom

Rurabasa, Istilah Salah Kaprah dalam Bahasa Jawa yang Lazim Digunakan

Rurabasa, Istilah Salah Kaprah dalam Bahasa Jawa yang Lazim Digunakan

SEMARANG – Bahasa merupakan cara yang digunakan manusia untuk berkomunikasi kepada manusia lainnya. Untuk itulah ketika berkomunikasi perlu menggunakan bahasa yang baik dan benar, agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Dalam tradisi penggunaan Bahasa Jawa dikenal sebuah istilah rurabasa. Apakah rurabasa itu? Dikutip dari surakarta.go.id, rurabasa berasal dari dua kata, yaitu rura yang berarti rusak dan basa yang berarti bahasa. Sehingga rurabasa dapat diartikan sebagai bahasa yang rusak atau salah kaprah. Uniknya, bahasa yang salah kaprah ini masih digunakan dan dianggap lazim. Tidak hanya itu, istilah-istilah dalam rurabasa jika diucapkan dengan kaidah yang benar, justru menjadi aneh. Sebenarnya tidak hanya bahasa Jawa, dalam bahasa Indonesia pun demikian halnya, terdapat beberapa kata yang digunakan masyarakat secara umum meskipun salah. Tapi karena sudah biasa dan umum digunakan, kata-kata tersebut menjadi kata umum dan biasa digunakan. Berikut beberapa contoh rurabasa yang kerap digunakan di tengah masyarakat. Adang Sega (Memasak Nasi) Itilah ini adang sega ini lazim kita dengar dalam keseharian di tengah masyarakat Jawa. Jika menurut bahasa istilah yang paling tepat adalah adang beras. Yakni aktivitas memasak beras agar menjadi nasi. Sebagian masyarakat memang ada yang menggunakan istilah yang lebih tepat yakni adang beras, namun istilah ini justru dianggap tidak lazim. Ngethok Gedhang (Menebang Pisang) Istilah ini sebenarnya lebih tepat jika diucapkan dengan kalimat ngethok wit gedhang atau arep apek gedhang (Menebang pohon pisang atau mau memetik buah pisang). Namun, kalimat di atas jika digunakan dianggap terlalu berbelit-belit dan terdengar kurang lazim di tengah masyarakat. Mbuntel Tempe (Membungkus Tempe) Istilah ini merujuk pada aktivitas yang kerap dilakukan para produsen tempe. Istilah mbuntel tempe, secara bahasa lebih tepat dengan istilah mbuntel dele (membungkus kedelai). Namun jika digunakan di tengah masyarakat, maka aktivitas ini justru terdengar aneh. Demikian beberapa contoh penggunaan ruraabasa dalam lingkup bahasa Jawa. Meski istilah-istilah rurabasa dianggap salah kapar, istilah tersebut masih sering dipakai dalam keseharian masyarakat dan dianggap sebagai salah satu khasanah bahasa Jawa.

Iring-iringan Delman dan Kereta Kencana di Demak Dapat Penghargaan Rekor MURI

Grebeg Besar Demak

DEMAK – Iring-iringan delman dan kereta kencana pada perayaan Grebeg Besar di Kabupaten Demak mendapat penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI), pada Minggu (10/7/2022). Perayaan Grebeg Besar yang dilaksanakan setiap bulan Dzulhijjah itu diikuti sebanyak 137 Delman dan 2 kereta kencana. Banyaknya delman dalam iring-iringan prajurit 40-an tersebut tercatat dalam piagam dengan Nomor 10426/R.Muri/VII/2022. Pengumuman rekor dari MURI itu dibacakan setelah rombongan Pemkab Demak menuju Makam Sunan Kalijaga. Di komplek Pemakaman tersebut, Pemkab Demak bersama Kasepuhan Kadilangu melakukan penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga. Bupati Demak, dr. Eisti’anah bersyukur atas penghargaan yang didapatkan. Ia berharap pencapaian rekor tersebut mampu memberikan dampak di sektor pariwisata Demak. “Kami mengajak kepada seluruh masyarakat baik nasional maupun dunia, ayo ke Demak. Kita naikkan wisata religi di Kabupaten Demak,” pungkasnya. Penghargaan Rekor MURI diserahkan oleh perwakilan MURI, Sri Widayati, di Kadilangu, Demak. Foto: Mochamad Saifudin/detikJateng

Resep Kering Tahu Teri, Gurih Pedas Manis

Resep Kering Tahu Teri, Gurih Pedas Manis

Resep Kering Tahu Teri – Terdapat beragam resep olahan tempe atau tahu kering yang biasa untuk konsumsi sehari-hari. Sesuai dengan namanya ‘kering”, makanan ini identik dengan teksturnya yang kering atau garing. Resep makanan ini cukup mudah diolah dengan berbagai bahan masakan. Kuliner ini biasa disajikan sebagai lauk sederhana pendamping nasi dan lauk-pauk lainnya, Perlu diketahui kering tahu teri merupakan jenis kering yang menggunakan bahan dasar tahu dan ikan teri yang digoreng dan dikeringkan. Masakan ini ditambahkan bumbu-bumbu dengan rasa manis atau pedas. Berikut adalah resepnya. Resep Kering Tahu Teri Bahan:⁣ 2 bh tahu cina, iris tipis 1×5 cm, grg kering⁣ 100 gr teri jengki, grg kering⁣ 1 sdm air jeruk nipis⁣ 4 lmbr daun jeruk, buang tulang daunnya⁣ 1/2 sdt garam⁣ 2 sdm gula pasir (me 1 sdm)⁣ 3 sdm minyak utk menumis⁣ 1/2 sdm kecap manis (tambahan dr sy)⁣ Bumbu Cincang halus⁣: 8 bh cabe merah besar⁣ 2 bh cabai merah keriting⁣ 8 btr bawang merah⁣ 4 btr bawang putih⁣ Caranya:⁣ Tumis bumbu cincang halus dan daun jeruk hingga harum lalu masukkan garam dan gula pasir aduk rata.⁣ Tambahkan tahu, teri dan kecap manis, aduk aduk sampai semua tercampur rata, beri air jeruk nipis, aduk, angkat⁣