Indonesia adalah suurganya kuliner, apalagi saat malam hari. Banyak sekali pedagang pinggir jalan yang menjajakan makanan. Segala jenis lengkap dari makanan ringan hingga makanan berat. Salah satu favorit sejak lama dan dapat ditemukan hampir diseluruh wilayah Indonesia adalah martabak. Biasanya penjual martabak menjual dua jenis martabak dalam satu gerobak, yaitu martabak manis dan martabak telur. Martabak banyak penggemarnya karena merupakan camilan yang enak dan mengenyangkan, cocok untuk melengkapi suasana malam hari. Baik martabak manis maupun martabak telur sama-sama banyak penggemarnya. Namun kali ini kita fokus dulu ke martabak telur yang ternyata memiliki kisah sejarah yang sangat menarik untuk disimak. Martabak telur biasa disantap dilengkapi dengan cabai, asinan timun, dan kuah cuka. Mungkin bisa dicek sendiri jika penjual martabak kebanyakan memiliki logat ngapak. Bukan tanpa alasan, tapi memang martabak telur berasal dari Tegal, tepatnya di Kecamatan Lebaksiu. Martabak telur sudah ada sejak 1935 yang disebarluaskan ke berbagai wilayah Indonesia bahkan hingga luar negeri. Berbagai Versi Sejarah Martabak Telur Versi pertama, Menurut Ketua Almarian (Asli Lebaksiu Martabak dan Jajan) H Maskun, martabak telur diperkenalkan oleh Abdullah, seorang saudagar yang berasal dari India. Sekitar awal 1930-an, beberapa pemuda asal Lebaksiu, Tegal, Jawa Tengah, mengadu nasib dengan berjualan makanan dan mainanan anak-anak yang tersebar di kota-kota besar, salah satunya Semarang. Di Kota Semarang seorang pemuda bernama Ahmad bin Abdul Karim berkenalan dengan bin Hasan Al-Malibary seorang pemuda asal India. Mereka bersahabat dan Abdullah diajak ke kampung halaman Ahmad di Desa Lebaksiu Kidul, Tegal. Disana, Abdullah berkenalan dengan adik perempuan Ahmad yang bernama Masniah binti Abdul Karim. Abdullah jatuh cinta kepada Masniah dan akhirnya mempersunting Masniah menjadi istrinya. Abdullah atau yang biasa disapa Tuan Dulloh, adalah seorang saudagar cukup ternama pada zamannya. Salah satu keahlian Abdullah adalah membuat makanan yang terbuat dari adonan terigu yang bernama martabak. Tuan Duloh salah satu diantara pemuda-pemuda India yang berhasil memodifikasi martabak dari resep aslinya dari India. Hal ini beliau lakukan untuk menyesuaikan dengan citarasa maupun selera masyarakat Indonesia, khususnya orang Jawa yang umumnya tidak terlalu suka makan daging secara berlebihan dan lebih suka makan sayur-sayuran. Susunannya, adonanan tepung terigu yang dibentuk bulat sebesar telur ayam, dibanting, dilebar Di India, susunan martabaknya adalah adonan tepung terigu yang dibentuk sebesar telur ayam, dibanting, dilebarkan di atas kaca, marmer atau seng, setelah membentuk ukuran berdiameter kurang lebih 40 cm, lalu diisi dengan telur atau kentang kemudian digoreng, lalu dihidangkan dengan kare kambing/gulai. Sedangkan versi kedua kisah sejarahnya, bersumber dari Siti Aminah, 64 tahun yang merupakan keponakan Masniah. Kisah budhenya bertemu dan menikah dengan Tuan Abdullah. Siti Aminah menceritakan saat itu Masniah bertemu dengan Abdullah yang sedang berjualan martabak ketika di sebuah Pasar Malam di Jakarta. Kemudian menikah dan pindah, bikin rumah di Lebaksiu. Abdullah kemudian mulai berdagang martabak di Lebaksiu. Saat itu masih menggunakan peralatan dan bahan tradisional, berjualan juga masih menggunakan meja belum gerobak. Bahan-bahannya juga masih menggunakan aci yang ditumbuk karena belum ada tepung terigu. Abdullah juga mempekerjakan warga lokal dan saudara-saudaranya. Seiring berjalannya waktu, usaha martabak telur ini semakin ramai dan mencapai puncak kejayaannya yang saat itu terjadi pada tahun 1985 dan terkenal hingga luar Pulau Jawa seperti Gorontalo, Manokwari. Abdullah sangat berpengaruh bagi perkembangan perekonomian masyarakat Lebaksiu yang sebelumnya profesi kebanyakan adalah seorang petani, setelah Abdullah banyak mempekerjakan dan mengajari cara membuat martabak telur kepada warga lokal pada akhirnya banyak yang mandiri mendirikan usaha martabak telur. Tidak jarang Abdullah memberi modal pada warga agar usaha martabaknya dapat berkembang. Dari situlah regenarasi terus berjalan. Bahkan banyak warga lokal yang berani merantau ke berbagai wilayah di Indonesia dan berjualan martabak. Usia 60 tahun, Abdullah wafat dengan meninggalkan empat anak, yaitu Muhammad, Halimah, Fatimah, dan Musa Abdullah. Namun hanya dua orang anaknya saja yang meneruskan profesi bapaknya yaitu Muhammad dan Musa. Saat ini, yang masih ada hanya Musa yang membukan restoran di Jakarta dengan menu martabak tentunya. Fatimah dan Halimah tidak meneruskan jualan matabak karena ikut suami. Asrofi, pengusaha senior martabak di Lebaksiu mengatakan bahwa menu martabak yang dibawa Abdullah sangat sederhana. Hanya adonan tepung, lalu dicampur dengan daun bawang kemudian digoreng. Jadi dulu saat martabaknya dimakan ambrol karena tidak ada perekatnya. Pada 1970-an, rasa dan tekstur martabak mengalami perubahan. Warga Lebaksiu memodifikasi menyesuaikan rasa sesuai lidah warga lokal, seperti inovasi dalam rasa martabak dengan menambah bahan pembuatan (telur, daging) dan bumbu martabak dengan rempah. Asrofi yang juga pernah menjadi pengurus paguyuban pedagang martabak Lebaksiu itu memprediksi saat ini sudah mencapai 10.000 pedagang martabak asal Lebaksiu yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dari Aceh hingga Papua. Karena semakin banyaknya jumlah pedagang martabak yang tersebar di Indonesia, maka dibentuklah Asosiasi Pedagang Martabak dan Jajanan (Almarjan) Indonesia di rumah Musa Abdullah pada 21 Februari 2007, dan saat ini Asrofi ditunjuk sebagai bendahara paguyuban.