Jowonews

Logo Jowonews Brown

BUKAN HUKUMAN, TAPI KEPERCAYAAN!

Oleh: Rizqy Aries Nurhanifah

Siswa tidak ingin mendengarkan kata-kata anda sebagai gurunya? Ketika dipanggil dan dinasehati mereka justru bertambah marah? Atau mereka suka berteriak-teriak ketika ada masalah? Memasuki kelas 4 SD, siswa layaknya menguji kesabaran kita sebagai guru. Tenggorokan kita akan terasa lebih sakit jika sering berbicara atau selalu mengingatkan peserta didik untuk menjaga sikap, perilaku atau melakukan tugas tertentu. Diingatkan berulang kali, bukannya sadar tetapi justru bergeming atau justru akan marah dengan kita. Akhirnya rasa lelah datang dan dengan tidak sadar kita memberikan reaksi membentak, mengomel, marah atau bahkan menghukum anak tersebut.

Menurut Maatakupan 1994, siswa kelas 4 SD adalah siswa dengan rentang usia 10-11 tahun. Usia ini merupakan usia pada masa peralihan dari dunia khayal menuju dunia nyata yang sering kita sebut masa operasional konkret. Masa ini juga merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang penuh kebebasan dan masih perlu bimbingan dalam mengatasi masalah. Oleh karena itu, pada masa kelas 4 SD mereka memiliki rasa ingin selalu mencoba, bereksperimen, dan mengekspresikan dirinya yang terkadang mereka masih kebingungan dalam melakukannya.

Sebagai pendidik kita harus mengetahui bahwa  anak-anak belajar sesuatu hal berdasarkan perkembangan usia mereka. Guru harus mampu menciptakan hubungan dan komunikasi yang baik antar guru dan siswa agar siswa mendapatkan lingkungan yang baik serta nyaman dalam belajar. Jika melihat pendapat Gary Gore dalam tulisan Muhammas Fauzi 2016, anak-anak tidak boleh dididik dengan ketakutan. Mereka tidak boleh dibina dengan paksaan-paksaan yang tidak mereka pahami. Seorang pendidik yang memaksa anak-anak melakukan sesuatu, secara tidak sadar sedang menagajarkan bahwa kebenaran itu (harus dilakukan) dengan paksaan. Efek negatifnya adalah anak-anak tidak melakukan pelanggaran karena paksaan bukan karena kesadaran mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan memberi “tuntunan bukan tuntutan” terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki.

Meningkatkan kesadaran anak-anak terhadap apa yang mereka kerjakan merupakan salah satu cara agar anak-anak terhindar dari ketakutan ketika mereka melakukan sesuatu. Cara meningkatkan kesadaran tersebut melalui mengajak anak berdiskusi dalam menghadapi suatu masalah atau menentukan sebuah kesepakatan. Melibatkan anak dalam berbagai kegiatan di kelas juga akan menumbuhkan rasa percaya diri bahwa mereka memliki peran dan posisi yang penting didalam kelas.

Lalu bagaimana memberikan kepercayaan kepada anak-anak? Bagaimana memberikan kebebasan kepada anak-anak agar mereka mampu berkembang dengan baik sesuai kodratnya? Jawabannya adalah dengan memberikan kepercayaan kepada mereka terhadap sebuah tanggung jawab. Pernyataan ini senada dengan pendapat Zubaedi dalam Yasmin dkk (2016), ketika kita memberikan kepercayaan penuh kepada mereka tentang tanggung jawab tertentu, maka rasa memiliki, disiplin dan empati juga akan muncul.

Seorang anak memiliki power untuk mempengaruhi temannya, tentunya akan memiliki dampak besar apabila kita lepaskan begitu saja tanpa pengawasan yang lebih. Sebagai pendidik kita harus mampu melihat potensi tersebut untuk membantu mereka mengembangkan karakter baik yang terdapat pada dirinya, sehingga ia dapat mengurangi dampak dari karakter yang kurang baik tersebut. Mengingatkan mereka dengan cara marah-marah atau nada tinggi, justru membuat si anak merasa dipojokkan sehingga ia akan bertambah marah karena tidak mdapat mengekspresikan dirinya dengan tepat.

Sebagai pendidik kita harus mampu mengajak anak berkomunikasi dan berdiskusi anak tersebut dengan dekat. Setelah berdiskusi kita perlu memberikan kepercayaan akan sebuah tanggung jawab, misalnya menyebutnya sebagai “polisi kelas” yang memiliki tugas mengingatkan temannya untuk melaksanakan piket kelas atau mengingatkan temannya tentang tugas hari ini. Di dalam kelas yang pernah saya pegang, trik ini cukup membantu anak tersebut untuk mampu mengendalikan emosinya. Tidak dapat langsung berubah dalam sekejap namun berproses, untuk membantu anak-anak menemukan karakter baik dalam dirinya. Dengan memberikannya kepercayaan, membuat mereka merasa dirinya penting dan berharga dalam sebuah kelas. Sampai akhirnya, saya jarang melihat anak tersebut bergeming atau marah-marah ketika diingatkan atau dinasehati, justru saya melihat sekarang ia tumbuh menjadi polisi kelas yang ngemong teman-temannya.

Pentingnya menemukan potensi dalam setiap tindakan siswa meski dalam bentuk pengekspresian yang kurang baik mampu memberikan dampak yang besar terhadap karakter siswa. Memberikan kepercayaan kita dengan cara berdiskusi terkait sikap mereka adalah cara paling ampuh melibatkan mereka sendiri membangun karakter baik dalam dirinya. Ketika seorang pendidik tidak memiliki kepercayaan tersebut dan bersikap sebaliknya yaitu memberikan hukuman, justru akan memberikan kesan negatif dan paksaan kedalam pikiran peserta didik sehingga mereka sulit menumbuhkan kesadaran terhadap lingkungan baik disekitarnya.

Simak Informasi lainnya dengan mengikuti Channel Jowonews di Google News

Bagikan berita ini jika menurutmu bermanfaat!

Baca juga berita lainnya...