Jowonews

Logo Jowonews Brown

Dua Mantan Menteri Akan Dihadirkan Dalam Sidang BLBI

JAKARTA, Jowonews.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menghadirkan dua mantan menteri, yaitu Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri dalam sidang dugaan tindak pidana korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim terkait pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

“Untuk semakin memperkuat proses pembuktian kasus BLBI ini, sidang selanjutnya akan dilakukan Kamis (5/7) pagi, saksi yang akan dihadirkan di antaranya Kwik Kian Gie, Edwin Gerungan, Rizal Ramli, I Putu Gede Ary Suta, dan lainnya,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Selasa.

Saat kasus itu terjadi, Kwik Kian Gie adalah Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Edwin Gerungan merupakan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 1999, Rizal Ramli adalah Menko Ekuin sekaligus Ketua KKSK periode 2000-2001, sedangkan I Putu Gede Ary Suta adalah mantan Ketua BPPN yang menggantikan Edwin Gerungan.

“Kasus BLBI dengan kerugian negara yang sangat besar ini, perlu dikawal bersama. BPK sebagai lembaga negara yang telah melakukan perhitungan kerugian keuangan negara menyimpulkan bahwa ada kerugian negara Rp4,8 triliun dan BPK merupakan institusi yang kredibel dan berwenang untuk menghitung kerugian negara tersebut,” ujar Febri.

Febri menjelaskan bahwa KPK membaca ada pendapat dari sejumlah pihak yang mencoba membentuk wacana seolah-olah audit BPK yang menghitung kerugian negara saat ini dapat batal demi hukum.

“Hal tersebut sangat kami sayangkan. Kami percaya hakim akan mempertimbangkan dengan adil karena kasus BLBI ini termasuk salah satu kasus dugaan korupsi yang sangat merugikan bangsa ini,” ujar Febri.

Pada Senin (2/7) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jaksa KPK juga telah mengajukan sejumlah saksi penting dari pejabat BPPN, yaitu mantan Wakil Ketua BPPN Raden Eko Santoso Budianto, mantan Deputi Bidang Asset Management Investment (AMI) BPPN Stephanus Eka Dasawarsa Sutantio, mantan Kepala Loan Work Out (LWO) BPPN Dira K Mochtar, dan Team Leader LWO-I Asset Management Credit (AMC) BPPN 2000-2002 Thomas Maria.

“Para saksi menerangkan bahwa kewajiban SN (Sjamsul Nursalim) belum ‘final closing’ artinya SN belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang diatur Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA). Sedangkan, terkait penyerahan aset dari BDNI terdapat aset berupa utang petambak sebesar Rp 4,8 triliun saat diserahkan kepada BPPN dalam kondisi macet,” kata Febri lagi.

Terdakwa dalam perkara ini adalah Ketua BPPN periode 2002-2004 Syafruddin Arsyad Temenggung yang didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun.

BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998.

Berdasarkan perhitungan BPPN, BDNI per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp 47,258 triliun. Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp 18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp 4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim.

BPPN pada 27 April 2000 memutuskan utang petambak yang dapat ditagih adalah Rp 1,34 triliun dan utang yang tidak dapat ditagih yaitu Rp 3,55 triiun diwajibkan untuk dibayar kepada pemilik atau pemegang saham PT DCD dan PT WM. Namun Sjamsul Nursalim juga tidak bersedia memenuhi usulan restrukturisasi tersebut.

Setelah dilakukan “audit financial due diligence” dan “legal due diligence” terhadap aset tersebut, BPPN mengambil langkah penyelesaian dengan mengajukan konsep restrukturisasi yang diajukan kepada KKSK, sehingga menghasilkan dua keputusan KKSK tertanggal 27 April 2000 dan 29 Maret 2001.

Namun, karena pihak debitur PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wahyuni Mandira dimana Sjamsul Nursalim menjadi pemegang saham pengendali kedua perusahaan itu menolak, maka dua SK tersebut tidak dapat dilaksanakan.

“Atas penolakan tersebut, akhirnya BPPN menggolongkan PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wahyuni Mandira sebagai debitur yang tidak kooperatif dan menyerahkan penanganannya ke pihak legal litigasi BPPN,” ujar Febri.

Dalam persidangan juga terungkap fakta dalam rangka sosialisasi SK KKSK 27 April 2000 di depan petambak udang di Lampung, Syafruddin saat itu menjabat sebagai Sekretaris KKSK menyampaikan bahwa utang petambak maksimal adalah sebesar Rp 100 juta, padahal di dalam SK KKSK 27 April 2000 ditetapkan jumlah utang petambak masing-masing sebesar Rp 135 juta.

“Dalam pertemuan Lampung, pak Syaf mengatakan agar bisa meredam gejolak di plasma itu utang petani plasma jadi Rp100 juta, lalu pak Syaf mengatakan nanti kita usulkan ke KKSK, saya dengar beliau dengar seperti itu lalu saya mengatakan ‘Pak itu Rp 135 juta bukan Rp 100 juta,” kata Dira dalam sidang Senin (2/7).

“Namun terdakwa saat itu menyampaikan hal itu nanti akan dibahas dalam forum rapat KKSK. Akhirnya SK KKSK tanggal 29 Maret 2001 menyatakan jumlah utang petambak masing-masing adalah sebesar Rp100 juta sebagaimana yang diusulkan terdakwa,” ungkap Febri.

Selain itu ditemukan fakta bahwa ada beberapa petambak udang tidak mengetahui jumlah utang kepada BDNI, karena yang menerima uang adalah PT DCD dan PT WM yang juga milik Sjamsul Nursalim.

“Dari keterangan ini, semakin diyakini bahwa terdakwa SAT sejak awal, bahkan ketika menjadi sekretaris KKSK diduga telah berupaya mengurangi kewajiban Sjamsul Nursalim dari Rp 135 juta menjadi Rp 100 juta per orang,” kata Febri pula.(jwn4/ant)

Simak Informasi lainnya dengan mengikuti Channel Jowonews di Google News

Bagikan berita ini jika menurutmu bermanfaat!

Baca juga berita lainnya...