Jowonews

Logo Jowonews Brown

Jalan Panjang Menanti Kelahiran Badan Halal Indonesia

JAKARTA, Jowonews.com – Di penghujung masa jabatannya sebagai Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni bersama Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar, Kakanwil Kemenag Jateng Imam Haromain Asy`ari, bersama penulis mendatangi kediaman Dr. (HC). KH. Mohammad Ahmad Sahal Mahfudh di Pondok Pesantren (Ponpes) Maslakul Huda di Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah.

Dr. KH. Mohammad Ahmad Sahal Mahfudh sehari-hari memimpin ponpes yang didirikan ayahnya, (KH Mahfudh Salam, pada 1910), sejak 1963. KH. Mohammad Ahmad Sahal Mahfudh adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak tahun 2000 hingga 2014. Sebelumnya selama dua periode menjabat sebagai Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sejak 1999 hingga 2014. Ia lahir pada 17 Desember 1937 dan wafat pada Jumat 24 Januari 2014.

Kunjungan Maftuh Basyuni, yang juga punya pertalian erat sebagai keluarga besar ulama tersebut, selain posisinya sebagai menteri agama yang memberi perhatian kepada kehidupan ponpes juga untuk bersilaturahim dan mendiskusikan produk jaminan halal. Soal jaminan produk halal saat itu menjadi pembahasan “hangat” di badan legislatif. Maftuh berkeinginan kuat RUU tentang produk halal segera dapat disahkan sebelum lengser dari jabatannya sebagai menteri agama bersamaan berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu (Jilid II) pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pertemuan KH. Sahal Mahfudh dengan Maftuh terlihat santai. Namun ketika memasuki substansi, pembahasannya terlihat serius. Kadang nada suaranya sedikit meninggi. Sementara Nasaruddin Umar lebih banyak mengambil sikap diam dan memperhatikan kedua orang tua di hadapannya berdiskusi. Maftuh sebelumnya sempat menguraikan perihal berbagai sebab yang menjadi kendala para anggota dewan minta kejelasan mengapa para ulama, termasuk MUI bersikeras meminta aspek legalitas jaminan produk halal menjadi domainnya. Bukan menjadi otoritas pemerintah saat itu.

Pada diskusi itu, berbagai argumentasi disampaikan Maftuh tentang pentingnya pemerintah ikut campur dalam produk jaminan halal. Seingat penulis, salah satu alasan yang mengemuka pentingnya pemerintah harus ikut campur karena dari sisi yuridis pemerintah memiliki legalitas kuat terhadap jaminan produk halal. MUI kedudukannya sama dengan organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam lainnya, sehingga jika menghadapi gugatan kedudukannya lemah.

KH Sahal, pada pertemuan tersebut mendukung Maftuh agar pembahasan tentang jaminan produk halal dapat segera dirampungkan. “Saya akan tolak jika ada yang menentang. Saya akan dukung anda, jika suratnya ada saya akan tanda tangani,” ungkap KH Sahal saat itu dengan nada meninggi.

Pembahasan dan perdebatan tentang produk jaminan halal ternyata berkepanjangan. Butuh waktu sekitar delapan tahun ke depan sejak Kabinet Indonesia Bersatu jilid II berakhir hingga Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo.

Siapa yang memiliki kewenangan untuk itu. Rakyat pun, saat itu, seperti dibuat bingung. MUI meminta DPR agar sertifikat jaminan produk halal hendaknya dikeluarkan oleh satu lembaga saja untuk mencegah agar tidak terjadi kebingungan di masyarakat bila ada perbedaan pendapat. MUI sudah terbukti teruji selama 24 tahun. Standar halal MUI sudah diakui secara internasional. Karena itu pemerintah tak perlu ikut campur dalam penentuan sertifikasi halal.

Menaggapi itu Nasaruddin Umar mengatakan, pemerintah tak mengambil peran MUI, apa lagi memperkecil lembaga ulama ini karena sudah memiliki domain atau wilayah masing-masing terkait dalam penyusunan JPH. Sebab, yang paling tahu urusan syariah adalah para ulama. Dan dari segi substansinya pun pemerintah tak ikut campur dalam urusan halal dan haram. Tiap agama di Indonesia, lanjut dia, juga punya majelis masing-masing dan hingga kini Kementerian Agama tak ikut campur.

BACA JUGA  Pekalongan Perketat Izin TKI Ke Luar Negeri

Namun, lanjut dia, pemerintah pun harus memberikan peran karena di dalamnya terkait dengan hukum positif yang menjadi domain pemerintah. Jadi, ada kapling masing-masing.

RUU JPH merupakan inisiatif DPR tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian produk halal bagi umat muslim. RUU tersebut merupakan implementasi pasal 28 dan pasal 29 UUD 1945, yakni kewajiban negara untuk melindungi hak warga negara dalam menjalankan keyakinan dan ajaran agamanya.

Problem utama Jika ditengok ke belakang perjalanan pembentukan UU JPH, Sekjen Kementerian Agama Nur Syam menyebut bahwa yang menjadi problem utama di dalam pembahasan ini adalah dimanakah menempatkan MUI di dalam UU JPH. Sebab, saat itu, ada sebagian anggota Panja DPR yang menghendaki agar MUI memiliki pengaruh yang tetap sebagaimana peran MUI saat itu, dan ada sebagian menghendaki agar peran tersebut tidak sedominan sekarang.

MUI memang memperoleh kewenangan dari Kementerian Agama untuk menjadi lembaga yang melakukan sertifikasi produk halal. Peran ini sudah dilakukannya semenjak 2008. Makanya, MUI telah menjadi lembaga persertifikatan halal yang sangat “powerfull” baik untuk produk dalam maupun luar negeri. Sampai akhirnya kemudian muncullah beberapa permasalahan yang menghinggapi program sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI. Makanya, upaya untuk mengurangi peran MUI kembali memperoleh momentumnya.

Dalam beberapa kali pembahasan, MUI tetap pada pendiriannya bahwa pelaksanaan sertifikasi halal haruslah tetap dilakukan oleh MUI semuanya, mulai dari pendaftaran sampai ke luarnya sertifikasi produk halal. MUI berperinsip “khudz kullahu atau utruk kullahu”, atau ambil semua atau tinggalkan semua.

Prinsip inilah yang sesungguhnya membuat rumit di dalam persidangan di Panja DPR. Prinsip yang akan mengambil hulu sampai hilir untuk program sertifikasi ini ditentang oleh banyak pihak. Hampir seluruhnya kurang sependapat dengan prinsip ini. Demikian pula panja pemerintah beranggapan sama. Persoalan inilah yang membuat perbincangan di dalam panja menjadi berkepanjangan.

Sesungguhnya semua bersepaham bahwa melibatkan MUI dalam proses sertifikasi halal adalah sebuah keharusan sejarah dan pengalaman. Artinya, MUI memang harus terlibat di dalam proses sertifikasi. Tetapi ada perbedaan pendapat apakah seluruhnya atau sebagian saja. Jika seluruhnya tentu akan menemui kendala sebab Badan Nasional Pemeriksa Produk Halal (BNP2H) adalah Lembaga Negara yang akan memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan produk halal. Jadi, artinya adalah lembaga inilah yang nantinya akan menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk melakukan pemeriksaan produk halal.

Posisi MUI di dalam penjaminan produk halal adalah yang disertakan oleh BNP2H yang tentu saja memiliki otoritas yang dianggap relevan dengan tugas dan fungsi keulamaannya. Jadi, ada kewenangan yang nantinya akan melekat kepada MUI sebagai kewenangan yang diberikan oleh BNP2H dalam proses pemeriksaan halal.

“Saya merasa bersyukur bahwa kompromi politik ini bisa dilalui dalam proses persidangan antara Panja Pemerintah dan DPR. Maka, dirumuskan bahwa BNP2H memiliki kewenangan yang utuh, akan tetapi kewenangan tersebut bisa didelegasikan kepada berbagai lembaga untuk proses pemeriksaan halal,” kata Nur Syam.

Di antara otonomi yang dimiliki oleh MUI (bisa sendiri atau bersama yang lain) adalah pada fatwa halal, pemeriksaan produk halal, sertifikasi auditor halal, sertifikasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), persidangan produk halal dan penandatangan fatwa tertulis atau SK tentang kehalalan produk.

Dengan keputusan rumusan seperti ini, maka kiranya MUI telah memiliki peran yang sangat signifikan di dalam proses pemeriksaan produk halal. Jika dibandingkan dengan BNP2H, maka di sini hanyalah urusan administratif dan penganggaran. Untuk kepentingan administrasi, misalnya untuk pendaftaran pelaku usaha, penandatanganan sertifikat halal dan label halal serta hal-hal lain terkait dengan administrasi.

BACA JUGA  Wamenlu Sampaikan Pesan Damai Indonesia di ISBID III

Tak berleha-leha DPR akhirnya mengesahan Rancangan Undang- Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) menjadi undang-undang (UU), Kamis (25/9/2014). Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) ini bukan hanya untuk melindungi umat Islam, tetapi juga melindungi konsumen non-Muslim. Dengan begitu, barang yang tersedia di pasaran telah memenuhi standar kebaikan dan kesehatan konsumsi.

Tujuan halal itu sendiri adalah memberi keamanan. Diharapkan rasa khawatir terkait produk tanpa sertifikasi halal dan pro-kontranya dapat selesai dengan diberikannya keamanan dalam implementasi UU ini. Kini masyarakat sudah memiliki dasar untuk menuntut para produsen yang selama ini tidak peduli mencantumkan label halal pada produknya.

Terkait hal itu, Presiden Joko Widodo pada 15 Juli 2015 menandatangani Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama (Kemenag) sekaligus di dalamnya menentapkan BPJPH. Badan baru di kementerian itu ke depan mempunyai tugas melaksanakan penyelenggaraan jaminan produk halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai bunyi Pasal 46 Perpres ini.

BPJPH menyelenggarakan fungsi antara lain: a. Penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program di bidang penyelenggaraan jaminan produk halal; b. Pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal; c. Pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan jaminan produk halal; dan d. Pelaksanaan administrasi BPJPH.

Jadi, seperti dikemukakan Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri (KLN) Kementerian Agama, Achmad Gunaryo, kewenangan MUI dalam proses penerbitan sertifikat halal tidak ada yang dikurangi. BPJPH nantinya hanya bisa mengeluarkan sertifikat ketika ada fatwa halal. Lembaga yang bisa mengeluarkan fatwa halal dan satu-satunya hanya MUI. MUI punya peran besar bersama BPJPH terkait terbitnya sertifikasi halal.

Ke depan, setiap produsen nantinya wajib mendaftarkan produknya untuk disertifikasi ketika UU JPH mulai diimplementasikan. Tetapi, lanjutnya, selama lima tahun ke depan pemerintah masih melakukan proses persiapan terkait infrastruktur sertifikasi. Di antaranya pembentukan BPJPH termasuk melakukan audit Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

“Pada akhir 2019 dilakukan kewajiban produk harus disertifikasi,” ujarnya.

Pemerintah memberi kesempatan yang sama terhadap seluruh ormas untuk bisa membuat LPH. Tetapi, tegasnya, tentu harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Di antaranya, punya alat yang memenuhi standar audit untuk produk halal. Selain itu, LPH juga harus didirikan oleh ormas Islam yang telah berbadan hukum.

Pasal 64, pada Bab IX UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, disebutkan bahwa badan tersebut sudah harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pada Pasal 65 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Dari sisi regulasi terhadap pembentukan BPJPH sudah mendukung. Lantas, kapan Kementerian Agama mewujudkan badan halal tersebut. Hingga kini persiapan belum terlihat optimal. Sosialisasi di berbagai daerah tak terdengar lagi gaungnya. Publik pun jadi khawatir, apakah hanya karena UU tersebut mengamanatkan tiga tahun lantas persiapannya pun “berleha-leha”. Padahal, proses melahirkan UU tersebut begitu panjang, butuh waktu lama, selain banyak dilakukan lobi juga berlangsung “rumit” dan “sengit”.  (Jn16/ant)

Simak Informasi lainnya dengan mengikuti Channel Jowonews di Google News

Bagikan berita ini jika menurutmu bermanfaat!

Baca juga berita lainnya...