Jowonews

Menapak Jejak Kartini, Koleksi Unik Museum RA Kartini yang Menceritakan Sejarah dan Perjuangan

Menapak Jejak Kartini, Koleksi Unik Museum RA Kartini yang Menceritakan Sejarah dan Perjuangan

JEPARA – Ruang kerja RA Kartini di Museum RA Kartini, Jepara, menyimpan sejumlah benda bersejarah dan kisah tentang perjuangannya membela hak kaum wanita. Ruang kerja Raden Ajeng Kartini berada di pintu masuk museum. Di dalamnya ada satu set meja dan kursi tamu. Lalu ada kotak surat, anyaman sulam, dan mesin jahit kuno milik putri Bupati Jepara, Mas Adipati Ario Sosroningrat, itu. Juga terdapat lukisan Kartini karya seniman Jepara, Waluyo Hadi. Petugas pemandu museum, Abdul Latif mengatakan semasa hidupnya, RA Kartini banyak menulis surat yang dikirim ke Belanda. Salah satunya kepada Rosa Abendanon. “Walaupun di sini ada meja kursi, ini sudah replika. Dulunya RA Kartini kalau surat menyurat itu di kamar beliau yang ada di Pendapa Kabupaten Jepara,” kata Latif dikutip dari detikJateng. Latif lalu memperlihatkan replika seperti kotak surat. Menurutnya, kotak surat itu untuk menyimpan surat Kartini sebelum dikirim ke teman-temannya. Namun kotak surat itu hanya replika yang menjadi koleksi di museum. “Ini contoh replika, ini ada kotak surat yang mana saat beliau menulis atau mengirim surat kepada sahabat, kepada temannya, dulu disimpan seperti ini. Kotak surat ini bagian dari koleksi Museum Kartini Jepara,”ujar Latif. Selain itu, terdapat juga kotak anyaman sulam milik Kartini dan mesin jahit kuno yang masih asli. Latif menjelaskan bahwa Kartini memiliki keterampilan menjahit dan menyulam. “Ada kotak anyaman sulam, replika juga. Yang masih asli ada mesin jahit kuno, ini masih menggunakan tangan, peninggalan RA Kartini, yang mana beliau memiliki keterampilan menjahit,” terang dia. Latif juga menyoroti keberagaman bakat Kartini seperti kemampuan membatik, melukis, dan menggambar, yang dapat dilihat melalui koleksi di museum. Museum ini juga menyimpan lukisan wajah RA Kartini karya Waluyo Hadi, yang dibuat pada tahun 1977. “Lukisan di museum ini dilukis dari gambar, dibuat tahun 1977 setelah museum diresmikan. Melibatkan seniman asli Jepara, Pak Waluyo Hadi, dan kemudian dilukis kembali tahun 2010 oleh pelukis yang sama,” ungkap Latif. Total koleksi di Museum RA Kartini mencapai 700 item, dengan fokus tidak hanya pada RA Kartini, tetapi juga mencakup berbagai elemen sejarah dan seni. “Ada 700 koleksi di museum, tidak hanya tentang RA Kartini saja. Untuk koleksi tentang RA Kartini kebanyakan berupa foto-foto, dengan sekitar 100 koleksi terkait R.A Kartini,” pungkas Latif.

Sejarah Stasiun Tuntang, Tempat Syuting Gadis Kretek

Sejarah Stasiun Tuntang, Tempat Syuting Gadis Kretek

SEMARANG – Film ‘Gadis Kretek’ telah menjadi sorotan para pecinta film, tak hanya karena jalan ceritanya yang memikat, tetapi juga karena proses di balik layar yang terus membangkitkan rasa penasaran penggemar. Dilakukan sebagian besar di Jawa Tengah, film ini mengambil beberapa adegan di lokasi menarik, termasuk Stasiun Tuntang di Kabupaten Semarang. Stasiun ini menjadi latar belakang untuk adegan terakhir antara Mas Raja dan Jeng Yah. Dalam adegan tersebut, Mas Raja mengucapkan kalimat menggoda, “Temui saya di stasiun minggu depan, saya akan pulang.” Sepenggal kalimat yang diucapkan Mas Raja pada Jeng Yah dalam film ‘Gadis Kretek’. Lokasi-lokasi seperti Stasiun Tuntang memberikan nuansa autentik dan memikat, menambah keindahan visual film ini. Keputusan untuk memilih lokasi syuting yang unik di Jawa Tengah juga memberikan sentuhan khusus pada film ini. Stasiun Tuntang Didirikan oleh NIS Stasiun Tuntang, yang didirikan oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), berdiri kokoh sejak tahun 1871 dan diresmikan pada 21 Mei 1873. Stasiun kecil ini membanggakan gaya arsitektur “Chalet NIS,” yang umumnya digunakan pada rancangan stasiun-stasiun pada awal abad ke-20. Meskipun ukurannya terbilang kecil, Stasiun Tuntang memiliki peran vital dalam bidang pengangkutan produk perkebunan. Stasiun ini melayani pengiriman berbagai hasil perkebunan, termasuk karet, gula, kopi, dan coklat yang diangkut menuju Ambarawa. Selain fungsi kereta api, Stasiun Tuntang juga pernah menjadi tempat transit untuk layanan bus milik NIS dengan trayek Stasiun Tuntang-Kota Salatiga. Pada tahun 1921, layanan bus tersebut akhirnya diakuisisi oleh perusahaan otobus swasta, Eerste Salatigasche Transport Onderneming (ESTO). Sempat Mangkrak dan Kembali Beroperasi sebagai Jalur Wisata Pada tanggal 1 Juni 1970, Stasiun Tuntang mengalami masa nonaktif dan hanya dijadikan sebagai museum. Keputusan ini diambil karena Stasiun Tuntang dianggap tidak lagi bersaing dengan moda transportasi lain dan kendaraan pribadi. Stasiun ini sempat mencoba melayani kereta wisata Ambarawa-Tuntang, namun upaya tersebut tidak berlangsung lama karena adanya kerusakan pada rel. Akibatnya, layanan kereta wisata ke Tuntang dihentikan dan jalur tersebut pun mangkrak. Setelah 32 tahun lamanya tidak aktif, Stasiun Tuntang akhirnya dibuka kembali sebagai jalur wisata pada tahun 2002 setelah mengalami proses renovasi. Awalnya, stasiun ini hanya mampu melayani lori Ambarawa-Tuntang. Namun, sejak tahun 2009 ketika menjalani renovasi lebih lanjut, stasiun ini kembali melayani kereta uap wisata. Saat ini, para pengunjung dapat menikmati keindahan Stasiun Tuntang dengan menaiki kereta uap wisata yang ditarik oleh lokomotif diesel vintage, membawa pengunjung dalam perjalanan yang menghadirkan nostalgia dan pesona dari era kereta api yang klasik.

Pabrik Gula Klaten, Saksi Bisu Kejayaan Hindia Belanda Pada Masa Lampau

Pabrik Gula Klaten, Saksi Bisu Kejayaan Hindia Belanda Pada Masa Lampau

KLATEN – Klaten, Jawa Tengah, kini lebih dikenal sebagai lumbung padi dan surga wisata air yang memesona. Namun, pada masa penjajahan Belanda, Klaten ternyata merupakan pusat pabrik gula yang memikat. Pabrik-pabrik tersebut berdiri megah di Pedan, Gondang Winangoen, dan Klaten Kota. Mengulas jurnal Mozaik karya Ririn Darini, Dyah Ayu Anggraheni, dan Mudji Hartono, kita serasa dibawa kembali ke abad ke-19, di mana pabrik-pabrik gula tersebut sudah hadir. Hindia Belanda bahkan menjadikan 25 hingga 40 persen dari luas Klaten sebagai perkebunan tebu untuk memastikan pasokan bahan baku yang cukup. Dampak kehadiran pabrik-pabrik gula tak hanya dirasakan dalam dunia industri, tetapi juga memengaruhi infrastruktur. Pemerintah Hindia Belanda memperbaiki jalanan guna memperlancar transportasi hasil panen dan produksi pabrik gula. Bahkan, di Klaten, sebuah jaringan rel kereta api dibangun sebagai jalur pengangkut hasil perkebunan. “Pada 1862, perusahaan swasta Nerderlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) membangun rel kereta api. Pada 2 Maret 1872, jalur Semarang-Vorstenlanden (Solo)-Jogja sepanjang 58 kilometer mulai beroperasi,” ungkap Darini dalam jurnalnya yang dilansir oleh National Geographic pada Senin (24/1/2022). Seiring berjalannya waktu, kereta api juga menjadi alat transportasi bagi manusia. Baik penduduk pribumi maupun Eropa dapat dengan mudah menggunakan layanan kereta tersebut. Wilayah sekitar stasiun kereta api dan pabrik gula pun berkembang menjadi pusat ekonomi yang ramai. “Selain tenaga kerja yang dibutuhkan di pabrik-pabrik gula, munculnya pasar di sekitar kawasan industri juga membuka lapangan pekerjaan. Pada tahun 1918, pasar-pasar di Pedan, Pandansimping, Jatinom, dan Delanggu mengalami revitalisasi,” tambah Darini. Namun, sayangnya, tidak semua bangunan bekas pabrik gula di Klaten menyimpan kenangan indah. Meskipun bangunan pabrik gula Gondang Winangoen masih berdiri gagah di pinggir jalan utama Solo-Yogyakarta, beberapa pabrik lain, seperti Pabrik Gula Karanganom, mengalami nasib yang memilukan. “Pada masa lalu, Kampung Tanjunganom dikenal dengan nama ‘Babrik’ karena adanya bangunan ini. Namun sekarang, Pabrik Gula Karanganom hanya tinggal sisa-sisanya. Ini cukup disayangkan karena bangunan ini memiliki nilai sejarah. Seharusnya, kita menjaga agar generasi penerus tahu bahwa dulu di sini berdiri pabrik gula,” ungkap Gunarto, Kepala Desa Karangan, seperti dilansir oleh Tribun Jogja (10/2/2022). Bagaimanapun, kontribusi besar pabrik gula di Klaten telah membentuk daerah ini menjadi maju seperti sekarang. Semoga warisan bersejarah ini segera mendapatkan perhatian yang pantas agar dapat dilestarikan untuk generasi mendatang.

Jejak Kota Garnisun Salatiga, Menelusuri Kejayaan dan Keabadian Bangunan-Bangunan Bersejarah

Jejak Kota Garnisun Salatiga, Menelusuri Kejayaan dan Keabadian Bangunan-Bangunan Bersejarah

SALATIGA – Masa kolonialisme di Jawa membawa banyak perubahan dalam pola hidup dan pemukiman. Elite Belanda pada awalnya tinggal di dalam benteng berdinding tinggi dengan kanal mengelilinginya, namun seiring berkurangnya konflik dengan penduduk setempat, mereka mulai membangun di luar benteng. Kota-kota pesisir seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya yang semula menjadi pusat dagang dan tempat tinggal, perlahan ditinggalkan karena dianggap kurang sehat. Salatiga, sebagai persimpangan antara Semarang, Surakarta, Magelang, dan Yogyakarta, menjadi pilihan utama. Kota ini, yang pernah menjadi garnisun semasa VOC berkuasa, kini menyimpan jejak-jejak bersejarah yang menarik. Sejarawan Salatiga, Eddy Supangkat, mengungkapkan bahwa masih ada 144 bangunan peninggalan kolonial yang dihitung sebagai Bangunan Cagar Budaya di kota ini. Rumah Historia Salatiga Eddy, semenjak masa kecilnya, kecintaannya terhadap sejarah tumbuh seiring dengan cerita yang diceritakan oleh nenek-kakeknya. Kini, rasa cintanya itu telah melahirkan 20 buku tentang Kota Salatiga yang telah ia terbitkan. Cerita-cerita dan pengetahuan yang diturunkan oleh nenek-kakeknya menjadi pondasi kuat bagi dedikasinya pada sejarah. Rumah yang menjadi saksi bisu perjalanan waktu ini juga menjadi rumah peninggalan nenek-kakek Eddy. Di dalamnya, terdapat segala kenangan dan cerita tentang masa lalu Salatiga yang telah ia telusuri dengan penuh gairah. Sejak tiga tahun lalu, Rumah Historia, menjadi tempat penyatuan foto-foto berharga yang menggambarkan jejak garnisun di Salatiga. Foto-foto lawas yang terpajang di Rumah Historia bukan hanya sekadar dokumentasi visual, tapi menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang gemar menggali sejarah. Melalui karya seni fotografi nenek-kakek Eddy, kita dapat menyelami dan menghormati perjalanan panjang Salatiga sebagai kota garnisun yang kaya akan cerita. Jejak Kota Garnisun Salatiga Demi kelancaran transaksi dagang di Jawa, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) menghadirkan kantong garnisun di Salatiga. Pada tahun 1746, berdirilah Fort De Hersteller, sebuah benteng yang diambil namanya dari kapal Belanda yang bersandar di Batavia. Bangunan ini menjadi saksi bisu peran strategis Salatiga dalam mendukung aktivitas perdagangan di wilayah tersebut. Masuk abad ke-19, Belanda semakin mengintensifkan keberadaan pasukannya di Salatiga. Kota kecil ini, yang menjadi poros utama antara Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta, diberi julukan baru sebagai Kota Militer atau Kota Garnisun. Di sinilah pusat kekuatan Belanda dalam mengamankan jalur perdagangan dan mempertahankan keamanan di wilayah Jawa. Meskipun sejumlah bangunan bersejarah telah mengalami kerusakan, seperti Fort De Hersteller, sejumlah lainnya masih kokoh berdiri hingga kini. Beberapa dari bangunan tersebut bahkan masih digunakan untuk keperluan sehari-hari. Inilah beberapa di antaranya, yang tak hanya menjadi saksi bisu sejarah, tetapi juga bagian hidup dari keseharian masyarakat Salatiga. Gedung Pakuwon Gedung Pakuwon, yang berlokasi di selatan alun-alun Salatiga, menyimpan cerita mendalam tentang Perjanjian Salatiga. Perjanjian ini, sebuah kesepakatan penting dalam pembagian wilayah antara tiga penguasa Jawa pada masanya, membawa nama-nama besar seperti Raden Mas Said, Pakubuwono III, dan Hamengkubuwana I. Perjanjian tersebut, yang disaksikan oleh VOC, menjadi tonggak bersejarah dalam menyelesaikan kisruh keturunan Kerajaan Mataram. Dalam kesepakatan tersebut, Raden Mas Said diberikan setengah wilayah Surakarta dan diberi gelar Mangkunegara I sebagai bagian dari upaya mengakhiri konflik di kalangan keturunan kerajaan. Namun, meskipun Gedung Pakuwon menyimpan begitu banyak nilai sejarah, akses untuk masuk ke dalamnya menjadi terbatas sejak tahun 1980 karena telah menjadi properti pribadi. Kantor Walikota Salatiga dan Jejak Baron Carel Willem van Heeckeren Sebuah bangunan di Jalan Sukowati menghadirkan kisah yang tak kalah menarik. Bangunan ini, yang semula dimiliki oleh advokat sekaligus taipan kelahiran Belanda, Baron Carel Willem van Heeckeren, telah menjadi saksi bisu perjalanan waktu di Salatiga. Menurut Eddy, pemilik Rumah Historia Salatiga, kepemilikan bangunan ini berpindah dari tangan Carel Willem ke GBF van Heeckeren van der Schoot. Selanjutnya, bangunan tersebut sempat menjadi milik Semarang Administrasi Mascapai. Melalui perjalanan waktu yang panjang, bangunan ini pernah disewa oleh Pemkot Salatiga sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk membelinya dan mempertahankan keberadaannya hingga sekarang. Daya tarik utama dari bangunan megah ini adalah atapnya yang datar dengan lekukan pemanis. Dalam istilah orang Jawa, atap seperti ini sering disebut sebagai “gedung rata” atau “papak”. Sebuah sentuhan arsitektur yang memperkaya keindahan bangunan dan menambah kesan elegan. Dengan halaman luas yang membingkai bangunan ini, kita dapat merasakan sejuknya udara masa lalu dan merenung tentang perjalanan sejarah Salatiga yang terpatri dalam dinding-dindingnya. Wisma BCA di Jalan Diponegoro: Gemerlap Era Kolonial yang Abadi Terletak di Jalan Diponegoro, sebuah bangunan cagar budaya berusia perkiraan 100-an tahun menjadi saksi bisu gemerlap era kolonial Belanda di Salatiga. Meliriknya dari luar, siapa pun dapat dengan mudah mengidentifikasi keelokan arsitektur klasik era tersebut, dengan dua menara yang anggun menghiasi sisi kanan-kiri bangunan. Menurut Eddy, seorang sejarawan Salatiga, area sekitar Wisma BCA dulunya adalah kawasan elite yang dikenal sebagai Europeesche Wijk. Kawasan ini hanya boleh dihuni oleh orang Eropa, Asia Timur, dan bumiputra berpenghasilan tinggi. Bangunan yang kini menjadi Wisma BCA awalnya berfungsi sebagai rumah tetirah, menyimpan sejuta cerita tentang kehidupan masyarakat elite pada masa itu. Dengan gaya art deco yang kental, atap lancip, dan ornamen gotik, gedung yang tetap terawat baik ini memiliki daya tarik tersendiri. Dibangun pada awal abad ke-20, Wisma BCA juga dikenal dengan sebutan De Mestein Pensioens Hotel, atau “hotel para pensiunan.” Sebuah ungkapan yang mencerminkan kemegahan dan kelas yang melingkupi bangunan ini. Gardu Listrik Peninggalan ANIEM, Kotak Bersejarah di Jalan Adisucipto Jalan Adisucipto menyimpan sebuah kotak bersejarah yang dulunya adalah gardu listrik milik Algemeen Nederlands Indische Electriciteits Maatschappij (ANIEM), anak perusahaan gas Hindia Belanda, Nederlandsch-Indische Gasmaatschappij (NIGM). Bangunan ini menjadi saksi bisu peran Salatiga sebagai jalur logistik militer pemerintah Hindia Belanda di Jawa. Salatiga, dengan sepuluh gardu listrik berkapasitas mumpuni, menjadi salah satu pilar utama dalam menyokong logistik militer. Gardu listrik ANIEM, yang dulu berfungsi sebagai rumah trafonya, kini menjadi saksi bisu perjalanan waktu. Agus Heri Purwanto, seorang admin di ruangan berukuran 2,5×2,5 meter yang menjadi saksi hidup dari sejarah ini, menjelaskan bahwa meskipun trafonya telah dipindahkan beberapa tahun terakhir, gardu listrik ini tetap dimanfaatkan untuk kepentingan fasilitas umum. Fungsi seperti pembayaran listrik, tempat lapor untuk pemasangan baru, tambah daya, dan migrasi tetap memberikan kontribusi bagi masyarakat Salatiga. Rumah Dinas Walikota, Saksi Pertemuan Sukarno dan Hartini Kompleks Rumah Dinas Walikota Salatiga bukan sekadar bangunan kuno, melainkan sebuah mahakarya bersejarah yang membentang sepanjang zaman. Kompleks ini menggambarkan kejayaan masa lalu dengan dua bangunan utama yang menjadi saksi bisu perjalanan waktu di tanah Salatiga. … Baca Selengkapnya

Keunikan Geodiversitas Karangsambung di Sisi Utara Kebumen

Keunikan Geodiversitas Karangsambung di Sisi Utara Kebumen

KEBUMEN – Di sisi utara wilayah Kebumen, tersimpan sebuah rahasia alam yang menakjubkan. Jutaan tahun lalu, Pulau Jawa bukanlah daratan, melainkan lantai samudera. Bukti-bukti konkretnya dapat disaksikan di Geodiversitas Karangsambung, menghadirkan fenomena geologis subduksi yang unik. Proses ini menyebabkan benturan bebatuan di dasar laut, yang secara bertahap mengangkat dasar laut tersebut menjadi daratan, termasuk wilayah Kecamatan Karangsambung saat ini. Lewat laman resmi Kecamatan Karangsambung, mari kita eksplorasi lebih lanjut tentang keajaiban Geodiversitas Karangsambung dengan membaca penjelasan berikut ini! Lokasi dan Rute Menuju Geodiversitas Karangsambung: Geodiversitas Karangsambung beralamat di Jalan Karangsambung KM 19, Karangsambung, Kabupaten Kebumen. Dari pusat kota Kebumen, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan ke arah utara melalui Jalan Karangsambung. Dengan jarak kurang lebih 20 KM, perjalanan menggunakan sepeda motor atau mobil membutuhkan waktu sekitar 35 menit. Jam Operasional Geodiversitas Karangsambung: Geodiversitas Karangsambung buka setiap Senin-Jumat, mulai pukul 07.30 hingga 16.00 WIB. Apa yang Ditawarkan di Geodiversitas Karangsambung: Berdasarkan informasi dari laman resminya, Geodiversitas Karangsambung menyediakan berbagai layanan menarik, Lur. Edukasi, Informasi, dan Konservasi Kebumian Pengunjung dapat melihat dan merasakan batuan dari dasar samudera tanpa harus menyelam. Semuanya dapat dinikmati di daratan, bahkan di puncak bukit. Selain itu, detikers dapat berdiskusi dengan para peneliti geologi sambil bermain di sungai Luk Ulo. Cagar Alam Nasional Geologi Karangsambung memiliki 32 situs geologi yang unik, memberikan manfaat besar bagi pendidikan dan konservasi kebumian. Melihat Langsung Geodiversity Geodiversitas Karangsambung membawa pengunjung menjelajahi keberagaman geologi di beberapa lokasi berbeda, seperti Rijang Merah Berlapis, Baru Lempung, dan Sekis Mika. Museum Melange Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung menampilkan Museum Melange dengan koleksi batuan yang memiliki cerita masing-masing. Paket Edukasi Geodiveritas, yang berada di bawah naungan BRIN, menyediakan paket edukasi untuk membantu pemahaman lebih lanjut mengenai bumi. Paket ini ditujukan untuk murid-murid sekolah, mahasiswa, dan masyarakat umum, termasuk kegiatan seperti virtual outing (online), kuliah lapangan, dan outing offline. Demikianlah informasi lengkap mengenai Geodiversitas Karangsambung di Kebumen, Jawa Tengah. Semoga informasi ini bermanfaat, Lur!

Galeri Lokananta Surakarta, Tempat Wisata Musik yang Menghipnotis Hati

Galeri Lokananta Surakarta, Tempat Wisata Musik yang Menghipnotis Hati

SURAKARTA – Warga Solo kini dapat kembali menikmati pesona Galeri Lokananta yang telah dibuka untuk umum sejak 3 Juni 2023 lalu. Destinasi wisata budaya yang mengusung tema musik ini sebelumnya memiliki akses terbatas, namun kini, setelah melalui proses revitalisasi, Galeri Lokananta membuka pintunya untuk seluruh masyarakat. Lokananta, yang dulunya merupakan pabrik piringan hitam dan perusahaan rekaman bersejarah di Indonesia, kini menjadi galeri yang memaparkan kisah-kisah menarik seputar sejarah musik dan industri rekaman Tanah Air. Meski mengangkat tema musik, Galeri Lokananta ternyata tetap dapat dinikmati oleh mereka yang bukan pecinta musik sekalipun. Melalui langkah revitalisasi yang dimulai pada tahun 2022, Pemerintah Kota Solo menciptakan Lokananta sebagai destinasi wisata yang menarik di kota ini. Dalam proses ini, tidak hanya tata letak dan struktur bangunan yang mengalami perubahan, namun Galeri Lokananta tetap mempertahankan keaslian historisnya. Sejarah Lokananta Sejarah Lokananta sebagai pabrik piringan hitam pertama yang dimiliki oleh negara menjadi bagian penting dalam perjalanan musik Indonesia. Didirikan pada tanggal 29 Oktober 1956 oleh Direktur Jenderal Radio Republik Indonesia, Raden Maladi, Lokananta hadir untuk memenuhi kebutuhan Radio Republik Indonesia (RRI) dalam mendistribusikan rekaman musiknya. Di era sebelum digital, piringan hitam menjadi sarana utama untuk menyebarkan dan menggandakan data. “Ini adalah bagian dari sejarah kita. Lokananta mencapai masa kejayaannya pada tahun 1960-1980an, tetapi pada tahun 1990an, kejayaannya mulai meredup akibat kasus pembajakan yang marak. Pada tahun 2001, Gusdur memindahkan Lokananta untuk bersatu dengan PNRI,” jelas In Magma, Project Manager Lokananta. Pada tahun 2022, Pemerintah Kota Solo mengambil langkah untuk merestorasi Lokananta. Revitalisasi ini menghasilkan wajah baru bagi galeri tersebut, menciptakan suasana yang lebih modern tanpa menghilangkan sentuhan sejarah yang melekat padanya. Prosedur Reservasi Bagi yang ingin mengunjungi Galeri Lokananta, terdapat prosedur reservasi yang perlu diikuti. Kapasitas terbatas membuat reservasi menjadi langkah penting. Caranya pun cukup mudah, pengunjung dapat mengaksesnya melalui Instagram resmi @lokanantabloc dan mengikuti langkah-langkah yang tersedia. Dengan harga tiket sebesar Rp30.000, pengunjung dapat memasuki dunia musik dan sejarah rekaman di Indonesia melalui Galeri Lokananta. Proses pembayaran dilakukan secara non-tunai, sehingga pengunjung disarankan untuk menyiapkan metode pembayaran sebelumnya. Jam Buka Lokananta Galeri Lokananta buka setiap Rabu-Minggu, mulai pukul 10.00 WIB hingga 16.00 WIB, dengan waktu kunjungan terbatas pada pukul 10.00 WIB, 12.00 WIB, dan 14.00 WIB. Pada hari Selasa, Lokananta libur. Selain menikmati galeri, pengunjung juga dapat menjelajahi area pendukung seperti Tenant FnB, yang menawarkan beragam kuliner dari UMKM lokal, serta Open Space di bagian belakang Lokananta yang dapat digunakan untuk berbagai acara komunitas dan pertunjukan musik. Galeri Lokananta Solo, sebuah perjalanan yang membuka pintu bagi semua kalangan untuk menikmati pesona sejarah dan musik Indonesia.

Mengungkap Pesona Wisata Bersejarah di Kabupaten Kebumen

Wisata Bersejarah Kebumen

Kabupaten Kebumen, sebuah kawasan yang kaya akan sejarah, menyimpan sejumlah bangunan bersejarah dan peninggalan yang memikat perhatian para pengunjung. Inilah beberapa ulasan menarik di balik bangunan-bangunan dan tempat-tempat bersejarah yang ada di Kebumen. Tugu Lawet, Ikon Penghasil Sarang Burung Walet Di tengah pusat Kabupaten Kebumen, berdiri megah Tugu Lawet atau Tugu Walet. Tugu ini, yang berlokasi di Jalan Pemuda No.16 Keposan, Kecamatan Kebumen, telah menjadi ikon Kota Kebumen. Keberadaan tugu ini terkait erat dengan salah satu potensi utama Kebumen, yaitu sebagai penghasil sarang burung walet. Tugu Lawet, dengan tinggi mencapai 15 meter, didirikan pada tahun 1975. Monumen ini mewakili potensi alam yang dimiliki oleh Kebumen. Pada malam hari, tugu ini menjadi cantik dengan lampu-lampu berwarna yang membuatnya cocok sebagai latar belakang untuk foto-foto di pusat kuliner sekitar. Situs Arkeologi Lingga Yoni, Peninggalan Hindu Kuno Di Kemecing, Sumberadi, Kecamatan Kebumen, terdapat sebuah situs bersejarah yang mengungkap jejak kepercayaan Hindu kuno di wilayah pesisir selatan Kebumen. Situs ini dikenal sebagai Situs Arkeologi Lingga Yoni. Keberadaan Lingga dan Yoni, yang merupakan simbol keagamaan Hindu, menyebar di seluruh Jawa, termasuk Kebumen, menjadi bukti nyata bahwa warisan agama Hindu pada masa Jawa kuno masih hidup di sini. Situs candi Lingga Yoni ini memiliki dua candi Yoni dengan empat Lingga yang terletak pada tempat yang berbeda. Bukti arkeologi ini telah bertahan sejak abad ke-8 Masehi. Benteng Van Der Wijk, Warisan Hindia Belanda yang Unik Benteng Van Der Wijk, yang berada di Sidayutengah, Sidayu, Kecamatan Gombong, merupakan sebuah benteng pertahanan Hindia Belanda yang dibangun pada tahun 1820. Benteng ini adalah satu-satunya benteng persegi delapan di Indonesia dan memiliki kemiripan dengan Masjidil Haram. Di dalam bangunan ini terdapat puluhan ruangan berbagai ukuran. Benteng ini telah menjadi destinasi wisata sejarah yang terkenal dan menawarkan berbagai fasilitas umum, termasuk bangunan berarsitektur Belanda yang ikonik, kereta mini di atas benteng, wahana permainan, kolam renang, dan bahkan spot foto dengan dinosaurus. Harga tiket masuk hanya 25 ribu rupiah per orang. Monumen Lembah Luk Ulo, Keindahan Alam di Tengah Kota Monumen Lembah Lukulo, yang terletak di Tamanan, Tamanwinangun, Kecamatan Kebumen, adalah tempat yang menakjubkan dengan pemandangan sungai yang indah di pusat Kota Kebumen. Selain sungai yang memikat, di Lembah Lukulo juga terdapat jembatan dengan pemandangan alam yang memesona. Tidak hanya sungai, Anda juga dapat menikmati hutan hijau yang segar dan sungai-sungai kecil yang mengalir di sekitarnya. Tempat ini sangat cocok untuk rekreasi dan bersantai sambil menikmati keindahan alam. Itulah beberapa jejak sejarah yang menghiasi Kabupaten Kebumen, menawarkan pengalaman wisata yang penuh makna dan memperkaya pengetahuan tentang warisan budaya dan alam Indonesia. Segera kunjungi tempat-tempat bersejarah ini dan biarkan diri Anda terpesona oleh keindahan dan kisah di baliknya.

Sejarah Tugu Lilin, Lambang Kota Solo yang Penuh Makna Sejarah Tugu Lilin Solo,

Sejarah Tugu Lilin, Lambang Kota Solo yang Penuh Makna Sejarah Tugu Lilin Solo,

Kota Solo, Jawa Tengah, memiliki lambang yang tak hanya menjadi ikon kota, tetapi juga cagar budaya nasional yang kaya akan sejarah dan makna. Lambang itu adalah Tugu Lilin, yang terletak di kawasan Penumping, Laweyan. Mari kita telusuri sejarahnya yang menarik dan mengapa tugu ini menjadi simbol kota Solo. Sejarah Tugu Lilin Pembangunan Tugu Lilin dimulai ketika sejumlah warga Solo mengikuti Kongres Indonesia Raya I pada tahun 1931 di Surabaya, Jawa Timur. Pada tahun 1933, Tugu Kebangkitan Nasional atau Tugu Lilin dibangun untuk memperingati 25 tahun berdirinya organisasi Boedi Oetomo. Inisiatif pembangunan tugu ini diambil oleh Budi Utomo melalui Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI). Ir. Soetjipto, seorang arsitek ternama, mengusulkan konsep Tugu Lilin. Konsep ini dipilih karena dianggap mencerminkan semangat kebangsaan yang mudah dimengerti oleh masyarakat luas. Tugu ini memiliki bentuk yang melambangkan kekuatan, sedangkan simbol lilin mewakili penerangan, harapan, dan semangat para pejuang kemerdekaan Indonesia. Meskipun mendapatkan izin dari Pakubuwono X pada akhir November 1933, pembangunan Tugu Lilin tidak berjalan mulus. Pemerintah Hindia Belanda menolak pembangunan tugu ini karena dianggap sebagai simbol pemberontakan. Bahkan, Pakubuwono X dipanggil oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bonifacius Cornelis de Jonge, karena mendukung pembangunan tugu tersebut. Perjuangan Mempertahankan Tugu Lilin Meskipun akhirnya mendapatkan izin pembangunan, Tugu Lilin menghadapi banyak hambatan. Pemerintah Hindia Belanda menolak nama Tugu Peringatan Pergerakan Kebangsaan 1908-1933 dan mengancam akan membongkarnya. Melalui mediasi antara Pakubuwono X dan pemerintah Hindia Belanda, Tugu Lilin tetap berdiri hingga saat ini. Pada tahun 1953, Tugu Lilin dijadikan logo resmi Kota Solo, menggambarkan maksudnya sebagai lambang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam lambang kota. Pada tahun 2017, Tim Ahli Cagar Budaya Nasional merekomendasikan Tugu Lilin sebagai Cagar Budaya peringkat Nasional melalui Surat Keputusan Nomor 369/M/2017. Tugu Lilin bukan sekadar tugu batu, tetapi simbol semangat kebangkitan nasional dan perjuangan menuju kemerdekaan. Sejarahnya yang kaya menjadi bagian penting dari perbendaharaan sejarah Indonesia dan menginspirasi generasi masa kini.