Jowonews

Asal Nama Jepara dan Julukan Kota Ukir Kelas Dunia

Asal Nama Jepara dan Julukan Kota Ukir Kelas Dunia

JEPARA – Jepara, sebuah kota yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah, Indonesia, menyimpan kekayaan sejarah dan keunikan budaya yang memikat. Asal-usul Jepara dapat ditelusuri hingga zaman kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara, di mana daerah ini menjadi pusat perdagangan dan peradaban maritim yang kaya. Namun, yang benar-benar membuat Jepara dikenal di seluruh dunia adalah julukannya sebagai ‘kota ukir dunia’. Gelar ini tidak diberikan dengan sia-sia, melainkan tercermin dari warisan seni ukir kayu yang membanggakan, yang telah menjadi ciri khas kota ini. Jepara mempunyai sejarah yang panjang, dan julukan sebagai kota ukir berkelas dunia bukanlah suatu kebetulan. Berikut ini adalah penjelasan mengenai sejarah dan asal-usul Jepara. Asal Muasal Nama Jepara Dikutip dari laman resmi PPID Kabupaten Jepara, asal nama Jepara berasal dari kata Ujung Para yang kemudian mengalami perubahan menjadi Ujung Mara dan Jumpara, hingga akhirnya menjadi Jepara. Kata “Jepara” memiliki arti sebagai tempat pemukiman para pedagang yang melakukan niaga ke berbagai daerah. Kata “ujung para” terdiri dari dua kata, yaitu “ujung” dan “para”. Dalam kamus bahasa Indonesia, “ujung” memiliki arti sebagai bagian darat yang menjorok (jauh) ke laut, sementara “para” memiliki arti menunjukkan arah. Oleh karena itu, “ujung para” jika digabungkan memiliki arti sebagai suatu daerah yang letaknya menjorok ke laut. Sejarah Kota Jepara sebagai Kota Ukir Berkelas Dunia Kota Jepara, yang sering disebut sebagai The World Carving Center atau kota ukir dunia, membanggakan sejarahnya yang kaya dalam seni ukir kayu. Sejak abad ke-19, Jepara telah menjadi pusat kerajinan ukiran kayu dan mebel terbesar di Indonesia, bahkan dikenal hingga mancanegara. Seni ukir kayu di Jepara telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya, seni, dan ekonomi masyarakatnya. Tradisi ini diwariskan dari generasi ke generasi, mencerminkan perkembangan zaman. Kota Jepara saat ini menjadi salah satu produsen kerajinan ukiran kayu terbesar di Indonesia, dan produknya telah diekspor ke berbagai negara di dunia. Lalu, bagaimana sejarah Jepara mendapatkan julukan sebagai kota ukir berkelas dunia? Dikutip dari laman resmi Indonesia.go.id, sejarah ini bermula pada zaman Prabangkara, seorang ahli lukis dan ukir, yang dipanggil oleh Raja Brawijaya untuk melukis istrinya tanpa busana sebagai tanda cinta. Prabangkara, tanpa melihat permaisuri secara langsung, melukis dengan sempurna. Namun, tahi lalat jatuh di lukisan, dan sang raja menuduh Prabangkara melihat permaisuri tanpa busana berdasarkan lokasi tahi lalat yang persis. Prabangkara dihukum dengan diikat di layang-layang, diterbangkan, dan jatuh di belakang gunung yang kini dikenal sebagai Mulyoharjo. Prabangkara kemudian mengajarkan seni ukir kepada warga Jepara, dan keahlian ini bertahan hingga saat ini. Seni ukir Jepara sudah ada sejak pemerintahan Ratu Kalinyamat pada tahun 1549. Retno Kencono, putri ratu, memiliki peran besar dalam perkembangan seni ukir. Pada era ini, seni ukir berkembang pesat dengan dukungan Sungging Badarduwung, seorang menteri ahli ukir asal Campa. Di belakang Gunung, ada kelompok pengukir yang melayani kebutuhan ukir keluarga kerajaan. Meskipun perkembangan seni ukir terhenti setelah Ratu Kalinyamat, Raden Ajeng Kartini, pahlawan wanita Jepara, memainkan peran penting dalam menghidupkan kembali seni ini. Kartini memanggil pengrajin dari daerah belakang Gunung untuk membuat ukiran seperti peti jahitan, meja kecil, figura, dan barang cinderamata lainnya. Kartini menjual produk-produk ini ke Semarang dan Batavia (sekarang Jakarta), memperkenalkan kualitas ukiran Jepara kepada dunia. Peranan Kartini juga melibatkan pengenalan seni ukir Jepara ke luar negeri. Semua hasil penjualan diserahkan kepada pengrajin, meningkatkan taraf hidup mereka. Ciri Khas Ukiran Jepara Ukiran Jepara memiliki ciri khas yang membedakannya, terutama dari motifnya. Motif yang terkenal adalah Daun Trubusan, terdiri dari dua jenis, yang keluar dari tangkai relung dan yang keluar dari cabang atau ruasnya. Ciri lainnya adalah motif Jumbai, di mana daunnya membuka seperti kipas dengan ujung meruncing. Tiga atau empat biji keluar dari pangkal daun dalam motif ini. Tangkai relung yang memutar dengan gaya memanjang dan menjalar membentuk cabang-cabang kecil juga menjadi ciri khas yang menghiasi dan memperindah ukiran Jepara. Semua ini menciptakan identitas unik dan tak tergantikan bagi seni ukir kota ini.

Warga Desa Dorang Jepara Keluhkan Sejumlah Penyakit Akibat Banjir

Banjir Jepara

JEPARA – Warga Desa Dorang, Kecamatan Nalumsari, Kabupaten Jepara mulai mengeluhkan sejumlah penyakit akibat banjir yang melanda desa tersebut. Informasi yang didapat di lapangan, lebih dari 150 orang di sana mengeluhkan sejumlah penyakit, seperti gatal-gatal, pilek, diare, dan meriang. Warga Dukuh Gempol, Desa Dorang, Faiz mengatakan beragam penyakit itu mulai menyerang sejak dua hari terakhir. Mereka sudah diperiksa di Posko Kesehatan yang tersedia, pagi tadi (4/1/2023). “Saya minta obat flu banyak. Buat jaga-jaga kalau tetangga ikut sakit juga,” kata Fais, dikutip dari Murianews, Rabu (4/1/2023). Sekertaris Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Jepara, Muh Ali mengatakan, sementara ini pihaknya masih mengerahkan petugas kesehatan dari Puskesmas Nalumsari I. Namun, jika nanti dibutuhkan lebih banyak, pihaknya mengerahkan nakes dari fasilitas kesehatan yang lain. “Sementara nakes (di Puskesmas Nalumsari I, red) sudah cukup. Kami siapkan obat-obatan sesuai keluhan paling banyak. Seperti pilek, meriang, gatal-gatal, dan diare,” ujar Muh Ali saat meninjau lokasi. Selain bertempat di posko kesehatan, nakes juga aktif mendatangi permukiman warga yang masih bisa dijangkau kendaraan. Muh Ali mengimbau warga agar tetap menjaga kebersihan. Sebab, salah satu penyakit yang mungkin saja muncul yaitu leptospirosis.

Festival Jondang Kawak Jepara Berlangsung Meriah, Setelah Sempat Terhenti Karena Pandemi

Festival Jondang Kawak Jepara Berlangsung Meriah, Setelah Sempat Terhenti Karena Pandemi

JEPARA – Festival Jondang atau biasa disebut juga dengan Festival Jondang Kawak merupakan tradisi turun temurun di Desa Kawak, Kecamatan Pakis Aji, Kabupaten Jepara. Setelah sempat terhenti karena pandemi, akhirnya Festival Jondang dapat terselenggara kembali dan berlangsung meriah. Ribuan warga Desa Kawak mengarak total 40 jondang. Jumlah RT di Desa Kawak terdiri dari 20 RT, dan masing-masing RT membawa 2 jondang. Jondang Kawak yang berisi makanan, hasil bumi dan palawija itu kemudian diarak menuju makam sesepuh desa, pada Kamis (23/6/2022). Hal yang menjadi pembeda sedekah bumi Desa Kawak dengan desa lainnya adalah Jondang. Jondang merupakan benda berbentuk persegi panjang dengan ukuran 1×40 cm. Benda tersebut terbuat dari kayu dengan empat kaki di bagian bawah. Pada bagian ujungnya terdapat lubang untuk memasukkan bambu. Fungsi bambu yang dimasukkan tersebut digunakan sebagai pikulan yang dapat dipikul oleh dua orang. Sementara itu pada bagian tengah jondang kemudian diletakkan berbagai macam jening panganan hasil bumi. Jondang yang diarak terdiri dari dua jenis, yakni Jondang Lanang dan Jondang Wadon. Jondang lanang merupakan tempat yang bisa digunakan warga untuk menyimpan hasil bumi, bahan makanan dan gerabah. Jondang ini berbahan dasar kayu dengan bentuk lebih tinggi. Adapun Jondang wadon difungsikan sebagai tempat menaruh makanan jadi dan memiliki tempat lebih pendek. Konon jondang tak hanya digunakan sebagai tempat, melainkan juga digunakan sebagai alat angkut hasil bumi dan bahan lainnya. Bentuknya yang memanjang seperti halnya peti tanpa tutup, membuat jondang mampu menampung banyak barang untuk dipikul. Namun hadirnya moda transportasi modern, perlahan-lahan Jondang ini mulai ditinggalkan masyarakat. Untuk itulah kemudian festival ini diselenggarakan untuk nguri-uri budaya dan membangun kembali semangat gotong royong. “Untuk itu kami berusaha melestarikannya melalui festival ini,” kata Petinggi Desa Kawak, Eko Heri Purwanto, dikutip dari laman Suara Merdeka. Festival Jondang rutin diselenggarakan seiap tahun yang waktu pelaksanaannya berbarengan dengan momentum sedekah bumi di desa tersebut. Namun sempat terhenti selama dua tahun karena pandemi. Festival ini, lanjut Eko, juga sebagai bentuk ungkapan syukur warga Desa Kawak, atas hasil bumi yang merupakan anugrah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sementara itu, Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jepara, Amin Ayahudi, menjelaskan festival ini sebagai salah satu budaya masyarakat yang perlu terus dikembangkan. Menurutnya, tradisi ini bukan hanya nguri-nguri budaya, tetapi juga sebagai sarana silaturrahmi warga Desa, merekatkan kebersamaan dan kerukunan antara warga, meningkatkan perekonomian terutama usaha mikro, dam juga sebagai media hiburan bagi masyarakat. Foto: suarabaru.id

Tradisi Jembul Tulakan Kembali Dilaksanakan Setelah Dua Tahun Sempat Terhenti

Tradisi Jembul Tulakan Kembali Dilaksanakan Setelah Dua Tahun Sempat Terhenti

JEPARA – Setelah pandemi mulai mereda, tradisi Jembul Tulakan kembali dilaksanakan warga Desa Tulakan, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Jembul Tulakan adalah acara sedekah bumi berupa gunungan yang biasa disebut dengan ancak. Gunungan ini terdiri dari nasi, gemblong, jenang, pisang, tape, dan berbagai macam makanan tradisional lainnya. Selain itu biasanya juga terdapat hiasan dari bilahan bambu yang disisir. Di atas gunungan juga terdapat patung yang menggambarkan seorang tokoh bernama Sayyid Usman. Ia merupakan ulama yang ikut menyertai Ratu Kalinyamat bertapa di Siti Wangi. Dikutip dari Antara Jateng, Senin (20 Juni 2022), Camat Donorojo, Setyo Adhi Widodo, mengungkapkan budaya semacam ini perlu dikembangkan dan terus dilestarikan. Ia berharap di masa mendatang anak cucu masih dapat mengenali tradisi ini. “Semua potensi budaya desa perlu dikembangkan dan dilestarikan,” katanya. Sementara itu Kepala Desa Tulakan, Budi Sutrisno, menjelaskan tradisi ini sempat terhenti selama dua tahun tersebab pandemi. Dan baru kali ini dilaksanakan kembali setelah pandemi mulai mereda. Selain melestarikan budaya yang sudah berlangsung secara turun temurun, tradisi ini juga diharapkan dapat meningkatkan kekuatan ekonomi warga. “Tradisi Tulakan sangat menarik minat pengunjung dari berbagai daerah. Kami akan terus melestarikan dan mengembangkan tradisi ini dan dapat menjadi kekuatan ekonomi warga,” terangnya. Seusai kirab gunungan jembul dari rumah kepala desa, tradisi budaya ini ditutup dengan acara bersih-bersih tempat yang digunakan untuk melakukan acara. Kegiatan tersebut dolakukan sebagai simbol pengusiran terhadap penyakit dan kejahatan di Desa Tulakan. Jembul Tulakan merupakan tradisi yang diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

3 Warga Jepara Tewas Tersambar Petir

JEPARA, Jowonews- Dua petani dan satu nelayan di Kabupaten Jepara, tewas tersambar petir ketika tengah bekerja saat hujan deras yang disertai dengan petir di tempat berbeda, Selasa (16/2). Kedua petani nahas tersebut, tengah bekerja di areal persawahan di Desa Bondo, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Selasa (16/2) pukul 10.00 WIB. Sedangkan seorang nelayan yang tersambar petir ketika pulang dari melaut. Setibanya di Pesisir Pantai Pesajen Selasa (16/2) pukul 07.30 WIB, nelayan naas itu tersambar petir. Menurut Kapolsek Bangsri AKP Sarwo Edy Santosa di Jepara, Selasa, dua petani yang tersambar petir, yakni Rahtrio (57) asal Desa Cepogo, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara dan Murtiani (47) Desa Jerukwangi, Kecamatan Bangsri, Jepara. Adapun petani yang bekerja di areal persawahan milik Rahtrio di Desa Bondo, Kecamatan Bangsri ada lima orang. Akan tetapi, ketika terjadi hujan lebat pada Selasa (16/2) pukul 10.00 WIB, mereka berteduh di gubuk. Setelah hujan agak reda, tiga petani kembali bekerja di sawah. Sedangkan dua temannya masih tetap berteduh di gubuk karena masih ada petir. Dua teman korban juga sempat mengingatkan ketiga temannya itu, yakni Rahtrio, Murtiani dan Kartini agar pekerjaannya dilanjutkan setelah petir benar-benar mereda, namun tidak mengindahkan. Ketika para korban tersebut kembali bekerja, tiba-tiba korban tersambar petir di lokasi ketiganya sedang bekerja. Dari ketiga korban tersebut, Rahtrio dan Murtiani dinyatakan meninggal dunia. Sedangkan Kartini (45) asal Desa Jerukwangi, Kecamatan Bangsri dinyatakan selamat. Korban selamat masih menjalani perawatan di Puskesmas Bangsri. Sedangkan dua petani yang tidak ikut tersambar petir karena berteduh di gubuk, yakni Matori (60) dari Desa Bondo, Kecamatan Bangsri dan Tikno (55) asal Desa Jerukwangi, Kecamatan Bangsri. Sementara kasus serupa yang terjadi di Pesisir Pantai Pesajen Kabupaten Jepara pada Selasa (16/2) pukul 07.30 WIB, dengan korban meninggal Zainurrohman (31) asal Kelurahan Demaan, Kecamatan Jepara, sempat dilarikan ke rumah sakit. “Korban memang sempat dirawat di RSUD Kartini, sebelum akhirnya meninggal dunia,” ujar Kapolsek Jepara Kota Polres AKP I DG Mahendra. Adapun kronologis kejadian, berawal ketika korban berangkat melaut pukul 02.00 WIB. Selanjutnya, setelah mendapatkan hasil korban pulang, tetapi sesampainya di pesisir Pantai Pesajen sekitar pukul 07.30 WIB tiba–tiba petir datang dan menyambar. Korban mengalami luka bakar cukup serius dan dibawa ke RSUD Kartini sebelum akhirnya meninggal dunia.

Longsor di Desa Wisata Jepara, Akses Jalan Tertutup

JEPARA, Jowonews- Sebuah tebing di Desa Wisata Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, mengalami longsor akibat gerusan air hujan hingga menutup akses jalan warga desa setempat, menyusul tingginya curah hujan di daerah setempat. Menurut Sekretaris Desa Tempur Mahfud di Jepara, Kamis (28/1), dampak longsor sangat dirasakan oleh warga Desa Tempur karena akses jalan hendak menuju daerah lain terganggu. Sedangkan pembersihan jalan dari material longsor tidak bisa dilakukan secara manual. Penyebabnya, material longsornya menutupi jalan cukup tebal karena tebing yang longsor memiliki ketinggian 20-an meter dengan lebar tanah yang longsor mencapai 15 meteran. Peristiwa tanah longsor yang menutupi akses jalan warga dari Dukuh Petung ke Dukuh Pekoso, Desa Tempur tersebut, terjadi pada Rabu (27/1) malam sekitar pukul 19:00 WIB. Sementara saat ini alat berat sudah didatangkan ke lokasi sejak pukul 11.00 WIB, sedangkan pembersihan jalannya diperkirakan baru selesai sore hari. “Untuk sementara belum bisa dilalui kendaraan roda empat karena memang akses jalannya tidak begitu lebar,” katanya sebagaimana dilansir Antara. Desa Tempur sendiri merupakan salah satu desa tangguh bencana yang ditetapkan pada tahun 2016 sehingga warganya juga sudah terlatih. Selain diresmikan sebagai desa tangguh bencana, dibentuk pula forum relawan Desa Tempur yang memiliki anggota puluhan personel. Mereka menjadi tangan panjang Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jepara yang sudah dibekali berbagai kemampuan. Mulai dari mitigasi bencana, pembuatan jalur evakuasi bencana hingga pembuatan peta risiko bencana. 

Obyek Wisata Ditutup, Kasus Covid-19 Bisa Turun

JEPARA, Jowonews- Penutupan semua objek wisata selama libur panjang di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, potensial menurunkan kasus penyakit virus corona (Covid-19). “Kami optimistis, ketika semua objek wisata di Kabupaten Jepara benar-benar ditutup, Jepara bisa menuju zona oranye pada awal Januari 2021,” kata Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Jepara Muh Ali di Jepara, Selasa (29/12). Untuk itu, dia berharap dukungan masyarakat untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan agar status zona merah ini bisa turun menjadi zona yang lebih aman dari risiko penularan virus corona. Ia berharap masyarakat bisa mengurangi mobilitasnya selama libur panjang. Bukannya memanfaatkan untuk berwisata karena berpotensi memunculkan kerumunan di berbagai lokasi yang dikunjungi masyarakat selama liburan. Tingkat kepatuhan masyarakat Jepara terhadap aturan ketika beraktivitas di luar rumah harus memakai masker dan menghindari kerumunan, dinilai juga masih rendah. Untuk itulah, setiap pemerintah kecamatan diminta mengingatkan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan melalui mobil yang dilengkapi pengeras suara secara berkeliling. “Jika masyarakat patuh tidak membuat kerumunan serta disiplin memakai masker, kami optimis skor untuk penentuan zona bisa naik dari sebelumnya 1,65 sudah mengalami kenaikan menjadi 1,75. Artinya ada perkembangan positif,” ujarnya sebagaimana dilansir Antara. Berdasarkan keterangan di laman https://covid19.go.id, disebutkan bahwa wilayah dengan zona merah berarti skornya di bawah 1,81. Sedangkan zona oranye skornya antara 1,81 – 2,4 dan zona kuning 2,41 – 3 dan zona hijau lebih dari 3. Pemkab Jepara sendiri mulai menutup semua objek wisata di Kabupaten Jepara mulai tanggal 23 Desember 2020 hingga 3 Januari 2021. Harapannya, langkah ini bisa mengurangi mobilitas warga selama libur Natal dan tahun baru.

Jepara Perketat Pembukaan Obyek Wisata

JEPARA, Jowonews- Pemerintah Kabupaten Jepara bakal memperketat pembukaan semua objek wisata di wilayahnya guna mencegah penyebaran penyakit virus Covid-19. “Temuan kasus secara spesifik kasus Covid-19 di objek wisata belum ada, termasuk di Objek Wisata Karimunjawa hingga kini juga masih nihil kasus. Akan tetapi, dalam rangka menekan temuan kasus pembukaan objek wisata di Jepara akan dievaluasi,” kata Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Jepara Muh Ali di Jepara, Ahad (13/12). Ia mengungkapkan evaluasi pembukaan objek wisata melibatkan banyak pihak guna menjaring informasi sebanyak-banyaknya. Meskipun demikian, kata dia, arahnya nanti tetap dilakukan pengetatan, termasuk kemungkinan ditutup sementara demi menekan angka kasus Covid-19. “Kepastiannya menunggu hasil rapat bersama. Apakah semua objek wisata ditutup sementara atau ada yang masih tetap dibuka dengan sejumlah persyaratan,” ujarnya sebagaimana dilansir Antara. Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, Objek wisata Karimunjawa sempat ditutup pada 17 Maret 2020 karena dikhawatirkan terjadi penulasan kasus Covid-19. Kemudian dibuka kembali pada 16 Oktober 2020 setelah ada simulasi dan kesiapan dalam penerapan protokol kesehatan. Pada laman https://corona.jepara.go.id/ per 12 Desember 2020, disebutkan jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Jepara mencapai 3.149 kasus, positif Covid-19 aktif sebanyak 698 kasus, dan meninggal 7,08 kasus. Per 6 Desember 2020, Kabupaten Jepara masuk kategori zona risiko penularan virus corona tingkat sedang atau zona oranye.