Jowonews

Pansus Covid-19 Diskusikan soal Vaksinasi ke Kemenkes

JAKARTA, Jowonews – Pansus Penanggulangan Covid-19 DPRD Provinsi Jateng menyoroti soal pelaksanaan/ distribusi vaksin ke daerah. Dalam hal ini, pansus mendiskusikannya dengan doktor Maxi Rein Rondonuwu selaku Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) di Kantor Kemenkes, Jakarta, Senin (15/11/2021). Saat berdiskusi, Ketua Pansus Penanggulangan Covid-19 Abang Baginda Muhammad Mahfudz menjelaskan bahwa di lapangan masih terjadi permasalahan terkait data/ sinkronisasi data yang berbeda antara pemprov dan kementerian, terutama angka kematian akibat Covid 19. Disisi lain, penetapan status leveling daerah saat ini juga telah melihat pada capaian vaksinasi. “Sementara, kewenangan dan distribusi vaksin merupakan kewenangan Pemerintah Pusat melalui Kemenkes. Disisi lain, PIC vaksin menjadi penting, siapa yang mendapatkan dan distribusi penggunaannya bagaimana,” tanya Politikus PDI Perjuangan itu. Menjawab hal itu, Doktor Maxi Rein Rondonuwu menjelaskan bahwa penentuan status leveling di daerah selain mendasarkan pada laju penularan (kasus konfirmasi, perawatan RS, Kematian) dan kapasitas respon (3T: Testing, Tracing, Treatment) juga selalu dikoordinasikan dengan melibatkan Kepala Daerah. Sehingga, pelibatan setiap pemangku kepentingan terus dipertimbangkan sebelum memutuskan dan menetapkan status leveling daerah. Terkait dengan vaksinasi yang menjadi faktor dalam penetapan status leveling di daerah, hal itu merupakan hasil kesepakatan pada rapat di tingkat kementerian yang juga melibatkan pimpinan kepala daerah. Hal tersebut sebagai upaya mendorong keseriusan pelaksanaan vaksinasi di daerah. “Soal capaian dan cakupan vaksinasi di daerah, Kemenkes membagi distribusi vaksin mendasarkan pada kebutuhan dan ketersediaan vaksin yang diinput di daerah masing-masing melalui aplikasi SMILE (Sistem Monitoring Imunisasi dan Logistik Elektronik), yang merupakan salah satu aplikasi menyangga lalu-lintas informasi terkait distribusi logistik, pelaporan, dan pemantauan-evaluasi secara realtime logistik rantai dingin vaksin dan penyimpanannya di seluruh titik penyedia vaksin, dari provinsi hingga tingkat Puskesmas dan Rumah Sakit,” papar Maxi sebagaimana dilansir laman DPRD Jateng. Sementara, Wakil Ketua Pansus Penanggulangan Covid 19 DPRD Provinsi Jateng Mutsholih memberikan penajaman terkait dengan vaksinasi yang tidak mudah dilaksanakan pada kelompok lansia, termasuk fakta di daerah bahwa vaksin tersedia tapi alat jarum suntik Auto Disable Syringe (ADS) vaksinnya belum tersedia sehingga menghambat pelaksanaan vaksinasi. “Bagaimana langkah dan antisipasi gelombang ketiga dan kesiapan daerah menghadapinya. Selain itu, penggunaan jenis vaksin yang paling relevan atau baik di daerah yang seperti apa,” tanya Wakil Ketua Fraksi PAN DPRD Provinsi Jateng itu. Merespon hal tersebut, Maxi menjelaskan bahwa vaksinasi lansia merupakan prioritas kedua setelah tenaga kesehatan dan pejabat/ pelayan publik. Karena, lansia paling rawan dan memiliki dampak Covid-19 yang cukup signifikan jika tertular. Untuk alokasi vaksin yang sudah dikirim ke Provinsi Jateng pada awal November yaitu Pfizer. Terkait dengan vaksin yang tersedia sementara alat suntik/ ADS nya belum tersedia, diakuinya, memang menjadi catatan bagi Kemenkes agar distribusi vaksin juga dibarengi dengan distribusi paket ADS. Karena, di lapangan memang distribusi vaksin langsung ke kabupaten/ kota dan sementara ADS nya justru lewat provinsi. Disisi lain, produsen ADS yang terbatas termasuk peralihan penggunaan dari ADS 0,5 milli menjadi 0,3 milli. Namun, hal itu ke depan sudah terjawab dengan penyediaan stok dan distribusi yang bersamaan antara vaksin dan ADS nya. “Terkait dengan gelombang ketiga, Pemerintah Pusat dan Daerah tetap menyiapkan langkah antisipatip. strategi utamanya tetap dengan pelaksanaan protokol kesehatan, penguatan 3T (Testing, Tracing dan Treatment), dan pelaksanaan vaksinasi. Disisi lain, saat ini pergerakan masyarakat perlu tetap dikontrol utamanya menjelang liburan natal dan tahun baru. Tak hanya itu, penguatan surveillance dan pembatasan keluar masuk pendatang dari Luar Negeri untuk menghindari varian baru,” jelasnya.

Stok Vaksin Covid-19 Lansia Aman

JAKARTA, Jowonews- Stok vaksin Covid-19 untuk kelompok lanjut usia (lansia) dan petugas pelayanan publik dipastikan aman. “Vaksin Sinovac yang sudah jadi kan tiga juta. Terus kita tahu ada Sinovac dalam bentuk bulk sebanyak 35 juta dosis. Jadi kurang lebih totalnya itu bisa untuk sekitar 33 juta dosis,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi di Jakarta, Senin (15/3) Nadia mengatakan stok dan distribusi vaksin Covid-19 di Indonesia masih aman sehingga pemerintah meyakini program vaksinisasi bisa berjalan lancar. Target vaksin untuk masyarakat lansia telah dialokasi sekitar 21,5 juta dosis. Kemudian, target vaksin untuk petugas pelayanan publik telah dialokasikan sekitar 16,9 juta dosis. “Ini tentunya kalau kita lihat angka 33 juta pasti tidak cukup dong. Minimal kita butuh vaksinasinya itu adalah 70 juta. Jadi kita masih perlu datangkan vaksin lainnya pada Maret ini. Masih akan ada 20 juta dan ada vaksin dari AstraZeneca,” katanya. Dia menambahkan, proses distribusi vaksin selama ini berjalan lancar karena dilakukan secara bertahap. “Tidak terlalu ada kendala, karena memang gudang vaksin sudah dikosongkan. Jadi saat kedatangan vaksin, gudang-gudang vaksin sudah dikosongkan,” katanya sebagaimana dilansir Antara. Pemerintah menggunakan dua mekanisme dalam distribusi vaksin. “Pertama, melalui dinas kesehatan provinsi, tapi kita juga melalui Bio Farma,” katanya. Tantangan dalam proses distribusi vaksin terjadi di sejumlah lokasi pengiriman pada daerah terpencil. “Karena terkait pengiriman melalui darat, itu tidak selalu bisa lancar,” katanya. Ada pula daerah yang membutuhkan waktu yang relatif lebih panjang dalam proses distribusi. “Tapi sejauh ini tidak ada kendala yang berarti untuk proses distribusi,” kata Siti Nadia. Menurut dia, upaya menjaga ketersediaan stok vaksin adalah yang terpenting untuk dilakukan, alasannya orang yang sudah mendapatkan dosis pertama harus dipastikan memperoleh dosis kedua, sehingga pemerintah harus memastikan ketersediaan vaksin untuk masyarakat. Siti Nadia menambahkan ada selang waktu 14 hari dari pemberian vaksin tahap pertama ke tahap kedua. Sedangkan untuk lansia, ada selang waktu 28 hari dari pemberian vaksin dosis pertama ke tahap kedua. “Kita melakukan prioritas. Dalam vaksinasi ini ada beberapa prioritas-prioritas yang tentunya kita susun. Misalnya, untuk lansia hanya di ibu kota provinsi. Semua lansia harus dapat. Jadi kita atur proses distribusinya,” ujar Siti Nadia.

Lacak Covid-19, Kemenkes Gunakan Tes Antigen di 98 Kota

JAKARTA, Jowonews- Kementerian Kesehatan menggunakan alat tes cepat antigen dalam upaya mempercepat pemeriksaan dan pelacakan kontak erat kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Penggunaan tes ceoat antigen ini dilakukan di 98 kabupaten/kota pada sembilan provinsi dengan kasus tertinggi. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Siti Nadia Tarmizi dalam konferensi pers daring yang dipantau di Jakarta, Rabu (10/2), mengatakan penggunaan tes cepat antigen ini dilakukan sebagai upaya penemuan kasus Covid-19 lebih dini. Hal ini guna mencegah penularan serta penanganan pasien agar tidak berlanjut pada gejala yang lebih berat dan bisa menyebabkan kematian. Nadia menyebutkan peningkatan tes yang masif tidak menggunakan tes RT-PCR karena keterbatasan fasilitas laboratorium khususnya di luar Pulau Jawa dan Bali, keterbatasan kapasitas laboratorium, dan keterbatasan waktu yang diperlukan dalam proses pengiriman spesimen dari Puskesmas. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan memilih penggunaan tes cepat antigen sebagai upaya peningkatan tes secara masif di masyarakat. “Kalau berbicara bagaimana kita harus mengupayakan deteksi dini, merupakan tantangan besar. Karena spesimen dari kontak erat harus diambil kemudian dikirimkan. Ini membutuhkan waktu untuk proses pengiriman dan konfirmasi hasil spesimen yang diambil. Pada daerah yang geografisnya sangat sulit, ditambah beban jumlah spesimen yang bisa diperiksa di laboratorium, di beberapa daerah waktu tunggunya cukup lama, bisa lebih dari tiga hari, satu minggu, bahkan 10 hari,” kata Nadia sebagaimana dilansir Antara. Nadia mengatakan saat ini dua juta alat tes cepat antigen sudah disebar ke seluruh Puskesmas di Indonesia. Sementara Kemenkes juga menambahkan 1,7 juta alat tes cepat antigen pada Puskesmas di 98 kabupaten/kota yang memiliki kasus Covid-19 tinggi sebagai upaya pemeriksaan dan pelacakan kontak yang masif. Alat tes cepat antigen ini digunakan hanya untuk keperluan penyelidikan epidemiologi kasus dan mendiagnosis pasien yang memiliki gejala Covid-19, bukan untuk keperluan skrining atau persyaratan pelaku perjalanan. Kementerian Kesehatan juga meningkatkan target pelacakan kontak erat tiap satu orang kasus terkonfirmasi positif Covid-19, dari yang tadinya hanya melacak lima sampai 10 orang per satu kasus menjadi 20 hingga 30 orang per satu kasus positif. Setiap kasus positif yang ditemukan dengan menggunakan alat tes cepat antigen ini nantinya juga akan dimasukkan ke dalam pencatatan dan laporan kasus harian. “Dalam pencatatan pelaporan langsung bisa menyatakan pemeriksaan antigen, artinya hasilnya sama dengan pemeriksaan RT-PCR dan akan dilaporkan sebagai kasus konfirmasi melalui sistem pencatatan dan pelaporan kita. Hanya nanti kita akan memisahkan mana kasus positif dari pemeriksaan RT-PCR dan mana yang kasus konfirmasi positif yang kita dapatkan dari pemeriksaan antigen,” kata Nadia. Ia memperkirakan laporan harian kasus konfirmasi positif Covid-19 di Indonesia akan melonjak seiring peningkatan tes dan pelacakan kontak erat yang dilakukan secara besar-besaran oleh pemerintah.

Kemenkes Diminta Tindak Lanjuti Soal Manfaat Eucalyptus Melawan Corona

JAKARTA, Jowonews.com – Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Hasan Aminuddin meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menindaklanjuti hasil temuan Kementerian Pertanian (Kementan) terkait manfaat eucalyptus dalam mengurangi terpaan virus corona. “Kementan dan Kemenkes ini harus segera melakukan sinkronisasi. Kalau memang produk ini sedang dibutuhkan oleh dunia kesehatan, ya harus secepatnya dilakukan (sinkronisasi) itu,” ujarnya di sela rapat kerja Komisi IV DPR RI bersama Menteri Pertanian di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa. Sementara itu, Badan Litbang Pertanian Kementan menyebutkan produk eucalyptus yang dikembangkannya telah diuji molecular docking dan uji vitro. Berdasarkan kedua uji tersebut, minyak atsiri eucalyptus citridora ditemukan dapat menginaktiviasi virus avian influenza subtype H5N1, gammacorona virus, dan betavoronavirus. Saat in, tiga produk turunannya yang berbentuk roll on, inhaler, dan kalung aromaterapi telah mendapat izin Badan POM untuk kriteria jamu. Sejumlah pihak mendorong Kementan untuk secepatnya melakukan uji klinis sehingga statusnya bisa dinaikkan menjadi obat herbal terstandar (OHT). Oleh karena itu, Hasan meminta Kemenkes untuk secepatnya bekerja sama dengan Kementan guna menindaklanjuti hasil penelitian Badan Litbang Pertanian tersebut. “Saya minta sahabat-sahabat di komisi yang bermitra dengan Kemenkes, marilah penemuan ini kita hargai,” katanya. Sebelumnya, Kepala Balitbangtan Fadjry Djufry menyebutkan saat ini pihaknya tengah menjajaki kerja sama dengan berbagai institusi untuk uji klinis salah satunya dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Dekan FKUI Prof Dr dr Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM menyambut baik ajakan kerja sama tersebut, apalagi berdasarkan riset, kayu putih memang terbukti dapat mengatasi berbagai permasalahan kesehatan. “Kami perlu bekerja sama untuk melanjutkan riset ini. Kita punya IMERI, yang saat ini bergiat untuk membantu mengatasi permasalahan COVID-19,” katanya. (jwn5/ant)

Menkeu Ungkap Anggaran Kesehatan Penanganan COVID-19 Tak Cuma di Kemenkes

JAKARTA, Jowonews.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan belanja kesehatan untuk penanganan pandemi COVID-19 tidak hanya berada di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tetapi juga di Gugus Tugas dan BPJS Kesehatan. “Dalam hal ini ada yang berpersepsi bahwa anggaran kesehatan baru cair sedikit, seolah-olah itu hanya tanggung jawabnya Kemenkes, sebenarnya tidak juga, karena memang banyak jalurnya,” katanya dalam jumpa pers virtual BNPB di Jakarta, Selasa. Menkeu menjelaskan pemerintah menganggarkan Rp87,55 triliun untuk belanja bidang kesehatan dalam penanganan COVID-19. Sebagian dari anggaran itu, kata dia, merupakan belanja tambahan yang berhubungan langsung dengan penanganan COVID-19 seperti pembelian alat pelindung diri (APD) dan peningkatan kapasitas rumah sakit yang merupakan belanja Gugus Tugas dan Kementerian Kesehatan. Selain itu, juga diberikan kepada BPJS Kesehatan untuk membayar biaya perawatan kepada rumah sakit. Pemerintah juga memberikan insentif pajak yang diberikan langsung kepada rumah sakit untuk jasa kesehatan. Sri Mulyani mengungkapkan pemerintah akan terus memantau perkembangan semua pos belanja COVID-19 agar mempercepat penanganan bidang kesehatan sekaligus mendorong perekonomian dan menekan masalah sosial. “Kita berharap dampaknya terutama bidang kesehatan itu menjadi lebih baik sehingga kemungkinan kita memulihkan kondisi sosial ekonomi menjadi lebih besar,” katanya. Adapun rincian belanja bidang kesehatan sebesar Rp87,55 triliun itu yakni belanja penanganan COVID-19 sebesar Rp65,80 triliun, insentif tenaga medis Rp5,9 triliun, santunan kematian Rp0,3 triliun, dan bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Rp3 triliun. Kemudian, Gugus Tugas COVID-19 Rp3,5 triliun dan insentif perpajakan bidang kesehatan Rp9,05 triliun. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam sidang kabinet paripurna menegur sejumlah menteri dan pimpinan lembaga negara karena dinilai kinerjanya belum optimal di tengah pandemi. Kepala Negara juga menyinggung serapan anggaran penanganan COVID-19 yang masih rendah, salah satunya untuk pos kesehatan yang baru mencapai 1,53 persen. (jwn5/ant)

Kemenkes Catat Penambahan Kasus Demam Berdarah Hingga 500 Kasus Per Hari

JAKARTA, Jowonews.com – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mencatat penambahan jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) 100 hingga 500 kasus per hari yang tersebar di berbagai daerah Indonesia. “Kalau kita lihat secara keseluruhan ada 68 ribu kasus demam berdarah di seluruh Indonesia,” kata Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi di Jakarta, Senin. Ia mengatakan biasanya puncak demam berdarah tersebut terjadi setiap bulan Maret. Namun, pada 2020 ada perbedaan di mana jumlah kasus masih terus bertambah hingga bulan Juni. “Artinya angka ini sesuatu yang agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya,” ujar Nadia. Selain itu, dari analisis yang dilakukan Kemenkes ditemukan bahwa provinsi yang jumlah kasus COVID-19 tinggi juga memiliki kecenderungan angka kasus DBD tinggi pula. Provinsi-provinsi tersebut di antaranya Jawa Barat, Lampung, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sulawesi Selatan. Lebih rinci lagi, dari 460 kabupaten dan kota yang melaporkan adanya kasus DBD, sebanyak 439 di antaranya juga melaporkan adanya kasus COVID-19 di daerah itu. “Jadi ini ada infeksi ganda,” katanya. Dari jumlah akumulatif secara nasional sebanyak 68 ribu tersebut, Kemenkes mencatat angka kematian yaitu 346 jiwa yang tersebar di berbagai daerah terutama provinsi dengan kasus COVID-19 tinggi. Ia mengatakan jika melihat kembali asal penyakit tersebut pertama kali ditemukan di Tanah Air pada 1968 kondisinya juga tidak jauh berbeda dengan pandemi COVID-19. “Angka kematian dan angka kesakitannya 50 persen,” katanya. Namun pada saat ini pemerintah sudah bisa menurunkan angka kematian akibat demam berdarah bahkan hingga di bawah satu persen dengan target tidak ada kematian lagi. Sementara itu upaya penurunan angka kesakitan diakui Nadia masih berfluktuasi. Apalagi, pada 2016 Indonesia pernah mengalami kejadian luar biasa yakni angka kesakitan masih cukup tinggi. “Sebelum kejadian luar biasa itu kita bisa menekan di bawah 20 persen dan jangan sampai kejadian di 2016 terulang kembali,” katanya. (jwn5/ant)

Kemenkes: Pelayanan Imunisasi Terdampak Signifikan Pandemi COVID-19

JAKARTA, Jowonews.com – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan program imunisasi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) bagi anak terkena dampak cukup signifikan akibat pandemi COVID-19. “Kondisi pandemi COVID-19 ini memang memiliki dampak yang signifikan terhadap penanganan program imunisasi,” kata Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes drg. R. Vensya Sitohang dalam konferensi pers bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Graha BNPB, Jakarta, Senin. Ia mengatakan akibat pandemi COVID-19, hampir 83,9 persen pelayanan kesehatan, terutama imunisasi, terkena dampak. “Artinya pelayanan imunisasi itu tidak dilaksanakan lagi. Kita tahu seperti apa dampaknya kalau pelayanan imunisasi ini tidak dilakukan,” katanya. Dampaknya terhadap pelayanan di Posyandu maupun di Puskesmas tersebut terjadi hampir di seluruh provinsi dan kabupaten. Dampak tersebut, katanya, menimbulkan perubahan cukup signifikan dan serius, karena jika dibandingkan dengan periode April pada tahun sebelumnya atau pada April 2019, maka tren imunisasi dasar lengkap telah mengalami penurunan. “Kalau dari Januari dan Februari sebenarnya masih belum terdampak di dalam laporan. Tapi di April sudah cukup signifikan penurunannya, hampir 4,7 persen, selisih daripada cakupan yang ada di imunisasi lengkap pada 2019 dan 2020,” katanya. Vensya juga mengatakan bahwa didasarkan pada cakupan imunisasi nasional, maka cakupan tersebut pada dasarnya telah mencapai target. Namun, data tersebut perlu dirinci lebih lanjut di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kurahan hingga tingkat RT untuk melihat daerah mana yang anak-anaknya belum mendapatkan imunisasi. “Ini strategi yang memang harus dilaksanakan, yang mana setiap Puskesmas itu mengetahui anak by name by adress dan jenis imunisasi yang harus dia dapatkan, sehingga diketahui juga hak imunisasi mana yang belum didapatkannya,” kata dia. (jwn5/ant)

Kemenkes Ingatkan Tidak Perjualbelikan Obat Anti Tuberkulosis karena Gratis

JAKARTA, Jowonews.com – Kementerian Kesehatan memperingatkan rumah sakit untuk tidak memperjualbelikan obat anti tuberkulosis (OAT) yang termasuk dalam program pemerintah untuk eliminasi TB di Indonesia karena sudah disediakan gratis bagi para penderita TB. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Wiendra Waworuntu saat dihubungi di Jakarta, Kamis, menyatakan Kementerian Kesehatan akan memberikan peringatan keras kepada rumah sakit yang terbukti menjual OAT kepada pasien TB. “Saya sangat prihatin jika ini banyak terjadi di masyarakat ternyata masalah obat yang harus bayar,” kata Wiendra. Dia menegaskan bahwa pemerintah sedang fokus dalam program eliminasi TB pada 2030 sehingga mengupayakan berbagai hal untuk mencapai target tersebut, termasuk dengan menyediakan obat TB secara gratis. Sebelumnya salah seorang jurnalis Antara yang juga pasien TB kelenjar, Aditya, harus membayar OAT sebesar Rp1.758.480 untuk 120 tablet atau dosis selama satu bulan pada salah satu rumah sakit di Depok. Dia diharuskan membayar untuk OAT tersebut dikarenakan mendaftar sebagai pasien umum dengan pembayaran secara pribadi. Padahal sebelumnya Aditya pernah mendaftar sebagai pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan mendapatkan obat yang sama secara gratis. Wiendra menjelaskan Kementerian Kesehatan telah memasok OAT ke Puskesmas dan rumah sakit di seluruh Indonesia dalam rangka percepatan program eliminasi TB di Tanah Air. Obat tersebut disediakan oleh pemerintah dan tidak boleh diperjualbelikan. Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kementerian Kesehatan Saidah mengatakan Kementerian Kesehatan telah memasok OAT secara cuma-cuma kepada RSUD dan RS swasta yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan di seluruh Indonesia. Saidah menegaskan bahwa RSUD maupun RS swasta tidak diperkenankan untuk memperjualbelikan OAT kepada pasien TB karena obat tersebut telah disediakan gratis dari pemerintah. Aditya juga pernah membeli obat yang memiliki komposisi sama dengan OAT yang disediakan pemerintah secara pribadi di apotek. Dia membelinya berbekal resep dokter hasil konsultasi secara daring melalui aplikasi telemedicine Halodoc. Namun obat tersebut dikemas secara berbeda dengan dosis yang berbeda pula. Karena perbedaan jenis dan dosis obat tersebut, Aditya mengurungkan niat untuk mengonsumsi obat itu karena khawatir akan berpengaruh pada terapi pengobatan yang telah dijalankan. Uniknya, harga obat yang dibelinya di apotek untuk dosis selama 10 hari hanya mencapai Rp35 ribu atau sekitar Rp105 ribu untuk dosis selama 30 hari. Harga tersebut jauh lebih rendah dibandingkan yang dijual oleh salah satu rumah sakit di Depok dengan harga Rp1.758.480 untuk 30 hari. (jwn5/ant)