Jowonews

KPK Tangkap Menteri Kelautan!

JAKARTA, Jowonews- Setelah lama tak terdengar kiprahnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai beraksi lagi. Tersiar kabar, lembaga antirasuah ini menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan beberapa orang lainnya di Bandara Soekarno-Hatta Tangerang, Banten pada Rabu (25/11) dinihari tadi. “Benar, jam 01.23 dini hari di Soetta,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam keterangannya, sebagaimana dilansir Antara di Jakarta, Rabu (25/11). Berdasarkan informasi, Edhy ditangkap setelah pulang perjalanan dari Amerika Serikat. Sebelumnya, KPK membenarkan telah menangkap Edhy dan beberapa orang lainnya. “Benar, kita telah mengamankan sejumlah orang pada malam dan dini hari tadi,” ucap Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam keterangannya di Jakarta, Rabu. Edhy bersama beberapa orang yang ditangkap tersebut sudah berada di Gedung KPK, Jakarta untuk menjalani pemeriksaan intensif. Namun, KPK belum memberikan informasi detil terkait kasus apa sehingga pihaknya menangkap Edhy. Sesuai KUHAP, KPK mempunyai waktu 1X24 jam untuk menentukan status pihak-pihak yang ditangkap tersebut.

Komisi III Minta KPK Awasi Dana COVID-19 Tidak Dibobol Penumpang Gelap

JAKARTA, Jowonews.com – Komisi III DPR RI mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengawasi penggunaan dana untuk penanganan COVID-19 agar tidak dibobol oleh “penumpang gelap”. “Terkait pengawasan dana COVID-19 juga disoroti oleh Anggota Komisi III bahwa jangan sampai di era pandemi yang sekarang ini situasi darurat, Presiden menyerukan percepatan tetapi ada penumpang gelap yang akhirnya kebobolan dana,” ucap Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery usai rapat dengan Pimpinan dan Dewas KPK di Gedung KPK, Jakarta, Selasa. KPK, kata Herman, sudah menjawab akan terus melakukan pendampingan dan pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan dana untuk penanganan COVID-19 tersebut. “Kami menyoroti sejauh mana KPK mengawal urusan dana COVID-19 ini, Pimpinan KPK sudah menjawab bahwa terus ada pendampingan terus ada pengawasan dan bahkan bila ada penyimpangan pimpinan KPK juga tidak akan segan-segan melakukan tindakan,” tuturnya. Terkait hal tersebut, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan lembaganya tetap berkomitmen untuk mencegah penyimpangan penggunaan dana penanganan COVID-19 melalui koordinasi dengan kementerian/lembaga lainnya. “Supaya anggaran itu tetap berjalan dan tidak ada penyimpangan. Bantuan sosial juga tetap berjalan tidak ada dilakukan dalam rangka Pilkada semuanya harus dilakukan dengan akuntabilitas dan KPK bertindak tegas bila ada fenomena korupsi yang merugikan keuangan negara,” kata Firli. Untuk diketahui, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), KPK bertugas antara lain melakukan tindakan-tindakan pencegahan, koordinasi, dan monitoring sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi.  (jwn5/ant)

KPK Petakan Titik-titik Rawan Korupsi Pilkada 2020

JAKARTA, Jowonews.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memetakan titik-titik rawan korupsi yang dapat terjadi dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. “KPK perlu menyampaikan komitmen untuk turut menyukseskan penyelenggaraan pilkada agar bersih dan bebas dari praktik-praktik korupsi, karena hanya pilkada yang bebas dari praktik-praktik korupsi kita berharap terlahir pemimpin-pemimpin yang mampu memberikan harapan bagi rakyat Indonesia,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam webinar bertema An Election in the Time of Pandemic: “Protecting the Quality of Democracy and Potential Corruption” yang disiarkan melalui akun Youtube Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kamis. Ia mengatakan di tengah situasi pandemi COVID-19, perlu kiranya diperhatikan beberapa hal yang mungkin terjadi dalam Pilkada 2020 agar praktik-praktik korupsi dapat dihindari. “Seperti politik transaksional, karena sekali lagi pandemi COVID-19 mengakibatkan kita banyak di rumah “stay at home”, sehingga mengkibatkan semua masyarakat hanya mampu memiliki kekuatan untuk hidup saja tetapi tidak mampu memiliki kekuatan ekonomi yang lebih kuat lagi,” ujarnya pula. Kondisi ekonomi yang lemah tersebut, kata dia lagi, berpotensi melahirkan praktik-praktik transaksional dalam pilkada. “Kondisi kelemahan ekonomi ini merupakan potensi yang terbuka bagi praktik-praktik pragmatis transaksional dalam pilkada akibat dampak pandemi COVID-19 ini, untuk melakukan cara-cara transaksional dan ilegal guna mendapatkan suara pemilih yang kondisi ekonominya sedang di titik terendah,” kata Ghufron. Selain itu, ia juga menyatakan akan muncul potensi “fraud” atau kecurangan dalam pengadaan logistik pilkada. “Hal tersebut dapat terjadi karena akan sulit untuk melakukan pengawasan, karena terhadap alur pengadaan sarana dan prasarana pilkada di tengah pandemi ini memiliki banyak keterbatasan. Misalnya, masyarakat tidak banyak di luar rumah, sehingga pengawasan dari masyarakat akan semakin kurang,” kata Ghufron lagi. Ia pun menegaskan jika proses pilkada jauh dari praktik-praktik korupsi, maka dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. “Proses yang bagus akan melahirkan pemimpin yang bagus, pemimpin yang bagus akan melahirkan pelayanan publik yang bagus, peningkatan pendapatan daerah yang bagus, pembelanjaan negara yang bagus,” kata dia. Karena itu, ia menyatakan bahwa praktik korupsi itu sesungguhnya adalah hilir dari sebuah hulu yang bernama pilkada maupun pemilu. “Kalau pemilunya bagus pilkadanya bagus, maka sesungguhnya kita berharap tentunya korupsi akan turun, tetapi sebaliknya kalau proses pemilihan pemimpinnya rusak atau gagal maka kita tidak akan berharap kemudian korupsi akan bersih,” ujar Ghufron. KPK, kata dia, juga memandang saat ini biaya pilkada sangat tinggi, sehingga kepala daerah yang telah terpilih cenderung mengembalikan biaya tersebut saat sudah menjabat. “KPK idealnya hanya membersihkan residu-residu yang idealnya tidak lebih dari 5 persen dari proses korupsi di suatu pemerintahan. Faktanya saat ini, pandangan KPK sistem pemilu, sistem pilkada kita “cost”-nya terlalu tinggi. Kemudian menimbulkan pemimpin-pemimpin yang cenderung berpikirnya tidak lagi untuk kepentingan publik, tetapi mengembalikan modalnya. Pada saat mengembalikan modal, maka praktik-praktik korupsi terjadi,” katanya pula. (jwn5/ant)

KPK Periksa Silang Nurhadi dan Menantunya Rezky Herbiyono

JAKARTA, Jowonews.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu, memeriksa mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi (NHD) dan menantunya, Rezky Herbiyono (RHE), dalam penyidikan kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada tahun 2011—2016. “Hari ini, keduanya diperiksa sebagai saksi. Tepatnya saling menjadi saksi,” ucap Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu. Dalam penyidikan kasus tersebut, KPK pada hari Rabu juga memanggil dua saksi untuk tersangka Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO). Dua saksi, yakni pegawai negeri sipil di MA Kardi dan Deny Sahrul, sopir pribadi dari Kardi. Diketahui, Hiendra saat ini masih menjadi buronan KPK setelah ditetapkan dalam status daftar pencarian orang (DPO) bersama Nurhadi dan Rezky sejak Februari 2020. Untuk tersangka Nurhadi dan Rezky, ditangkap tim KPK di Jakarta, Senin (1/6). Sebelumnya, KPK telah menetapkan ketiganya sebagai tersangka pada tanggal 16 Desember 2019. Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait dengan pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Adapun penerimaan suap tersebut terkait dengan pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT KBN (Persero) kurang lebih sebesar Rp14 miliar, perkara perdata sengketa saham di PT MIT kurang lebih sebesar Rp33,1 miliar, dan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan kurang lebih Rp12,9 miliar. Akumulasi yang diduga diterima kurang lebih sebesar Rp46 miliar. (jwn5/ant)

KPK Periksa Ketua KPU Arief Budiman

JAKARTA, Jowonews.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat memeriksa Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman sebagai saksi dalam penyidikan kasus suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024. “Saya lupa panggilannya, pokoknya untuk apa ya, mungkin Pak WS (Wahyu Setiawan) sama Bu Tio. Pokoknya untuk empat orang (tersangka) itu,” ucap Arief saat tiba di gedung KPK, Jakarta, Jumat. Pemanggilan Arief merupakan penjadwalan ulang setelah sebelumnya belum memenuhi panggilan KPK pada Selasa (25/2) akibat terkendala banjir. “Banjir, aku sudah hadir tetapi diinformasikan oleh pihak KPK akses ke sini atau penyidik yang mau ke sini terkendala banjir. Jadi, dipindah sebenarnya hari Rabu (26/2) tetapi saya tidak bisa Rabu,” kata Arief. Sebelumnya, Arief pernah diperiksa KPK pada Selasa (28/1). KPK saat itu mengonfirmasi Arief perihal mekanisme pelaksanaan PAW di KPU. KPK pada Kamis (9/1) telah mengumumkan empat tersangka dalam kasus tersebut. Sebagai penerima, yakni mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan (WSE) dan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF). Sedangkan sebagai pemberi, yakni kader PDIP Harun Masiku (HAR) yang saat ini masih menjadi buronan dan Saeful (SAE), swasta. Diketahui, Wahyu meminta dana operasional Rp900 juta untuk membantu Harun menjadi anggota DPR RI dapil Sumatera Selatan I menggantikan caleg DPR terpilih dari Fraksi PDIP dapil Sumatera Selatan I Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Dari jumlah tersebut, Wahyu hanya menerima Rp600 juta. (jwn5/ant)

KPK Panggil Dua Pejabat KPU Terkait Kasus Wahyu Setiawan

JAKARTA, Jowonews.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis, memanggil dua pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi suap terkait penetapan anggota DPR RI terpilih Tahun 2019-2024. Dua pejabat, yakni Kepala Bagian Teknis KPU Yuli Harteti dan Kasubag Pencalonan KPU Yulianto. Keduanya diagendakan diperiksa untuk tersangka Saeful (SAE) dari unsur swasta. “Keduanya diagendakan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka SAE terkait tindak pidana korupsi suap penetapan anggota DPR RI terpilih Tahun 2019-2024,” ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis. Sebelumnya, KPK pada Rabu (22/1) juga telah memeriksa Kasubag Persidangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riyani juga untuk tersangka Saeful. Terkait pemeriksaan Riyani, KPK mengonfirmasi yang bersangkutan terkait tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) para Komisioner KPU. KPK pada Kamis (9/1) telah mengumumkan empat tersangka dalam kasus tersebut sebagai penerima, yakni Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan (WSE) dan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF). Sedangkan sebagai pemberi kader PDIP Harun Masiku (HAR) dan Saeful. Diketahui, Wahyu meminta dana operasional Rp900 juta untuk membantu Harun menjadi anggota DPR RI dapil Sumatera Selatan I menggantikan caleg DPR terpilih dari Fraksi PDIP dapil Sumatera Selatan I Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Dari jumlah tersebut, Wahyu hanya menerima Rp600 juta. (jwn5/ant)

KPK Periksa Mantan Ketua KONI Pusat Tono Suratman

JAKARTA, Jowonews.com – KPK, Selasa, memanggil mantan Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Tono Suratman, dalam penyidikan kasus suap penyaluran pembiayaan skema bantuan pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga pada KONI Tahun Anggaran 2018. Suratman –kini menjadi kepala sekolah SMA Taruna Nusantara di Magelang– diagendakan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi. “Yang bersangkutan diagendakan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka IMR terkait tindak pidana korupsi suap penyaluran pembiayaan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora pada KONI Tahun Anggaran 2018,” ucap Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa. Sebelumnya, Suratman juga pernah diperiksa KPK pada 6 Februari 2019 sebagai saksi untuk tersangka Sekretaris Jenderal KONI, Ending Fuad Hamidy, dalam penyidikan kasus yang sama. Saat itu, KPK mengonfirmasi Suratman soal pengajuan proposal dana hibah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada KONI. Selain Nahrawi, KPK juga telah menetapkan Miftahul Ulum, asisten pribadi Nahrawi, sebagai tersangka. Untuk Ulum, KPK pada Rabu (8/1), telah melimpahkan berkas, barang bukti, dan tersangka Ulum ke penuntutan agar dapat segera disidangkan. Dalam konstruksi kasus tersebut disebut Nahrawi diduga menerima uang dengan total Rp26,5 miliar. Uang tersebut diduga merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan KONI kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga Tahun Anggaran 2018, penerimaan terkait ketua Dewan Pengarah Satlak Prima, dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan Nahrawi selaku menteri pemuda dan olahraga. Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Nahrawi dan pihak Iain yang terkait. (jwn5/ant)

Tak Ikuti UU Baru, Pengamat: OTT Wahyu Setiawan Tidak Sah

JAKARTA, Jowonews.com – Guru besar hukum pidana Universitas Borobudur, Prof Faisal Santiago, menilai bahwa operasi tangkap tangan KPK terhadap eks anggota KPU Wahyu Setiawan dan pihak lain, tidak sah secara administrasi karena KPK dalam menyadap, menangkap, dan menggeledah tanpa seizin dari Dewan Pengawas KPK. Melalui siaran pers, Rabu, dia mengatakan OTT itu masih merujuk pada undang-undang yang lama yakni UU Nomor 30/2002. Padahal UU Nomor 19/2019 Tentang Perbaikan Kedua UU Nomor 30/2002 sudah berjalan. Oleh karena itu, menurut dia, pihak yang merasa dirugikan akibat OTT ini bisa mengajukan gugatan praperadilan. “Kalau dari segi administrasi bermasalah. Kalau dia (pihak yang dirugikan) mau, ya ajukan praperadilan. Tapi masalahnya semangat pemberantasan tindak pidana korupsi lain cerita,” kata dia. Ia berpendapat, status alat bukti yang diperoleh tanpa melalui prosedur sesuai UU, menurut hukum acara, itu tidak sah. Sementara itu mantan Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Chairul Imam, menyatakan KPK tidak bisa menggunakan UU Nomor 30/2002 dalam melakukan OTT, karena UU Nomor 19/2019 sudah diundangkan dan harus menjadi dasar prosedur saat melakukan penyelidikan hingga penyidikan seperti penyadapan dan penangkapan serta penggeledahan. Lebih lanjut menurut Imam, OTT KPK terhadap WS dan sejumlah pihak yang ditetapkan sebagai tersangka, sudah harus menggunakan UU KPK yang baru hasil revisi. “Ya tidak bisa, UU yang baru sudah ada, kenapa pakai UU yang lama. Kalau dia (pimpinan KPK) menandatangani itu (Sprindik), mestinya sudah memakai atau menggunakan UU yang baru hasil revisi,” kata Chairul. Sebelumnya, KPK menangkap tangan Setiawan dan pihak lain yang ikut tertangkap. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus jual beli jabatan pergantian antar waktu anggota DPR periode 2019-2024 yang menjerat Harun Masiku dari PDI Perjuangan dan Saeful Bahri sebagai penyuap serta Agustiani Tio Fridelina yang menerima suap. KPK diketahui sudah sejak lama mengintai WS dalam penyelidikan sejak Agustus 2019 lalu. (jwn5/ant)