Jowonews

Brimob Banyumas Terjun Amankan Pilkada 2020

PURWOKERTO, Jowonews- Personel Brimob dari Kompi 3 Batalyon B Pelopor, Banyumas, telah disiapkan membantu pengamanan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2020. “Khususnya untuk pelaksanaan pengamanan pilkada di 21 kabupaten/kota, untuk jajaran Satuan Brimob Polda Jawa Tengah. Kalau kami di eks wilayah Banyumas, yaitu mem-backup Wonosobo dan Kebumen,” kata Komandan Kompi 3 Batalyon B Pelopor Satuan Brimob Polda Jawa Tengah Iptu Siswadi Jamal di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Sabtu. (14/11). Siswadi mengatakan hal itu kepada wartawan usai Tasyakuran Hari Ulang Tahun Ke-75 Korps Brimob di halaman Markas Komando Brimob Kompi 3 Batalyon C Pelopor, Watumas, Purwokerto. Terkait dengan persiapan-persiapan untuk mendukung pengamanan tersebut, dia mengatakan pihaknya telah diperbarui dengan peralatan-peralatan penanggulangan huru-hara seperti tameng, barikade kawat (security barrier), dan mobil penanggulangan. “Anggota kami setiap hari selalu latihan dengan motto ‘Latihan Sepanjang Hari, Latihan Sepanjang Tahun,” katanya sebagaimana dilansir Antara. Ia mengatakan jumlah personel Satbrimob Polda Jateng yang disiapkan untuk membantu pengamanan Pilkada Serentak 2020 sebanyak dua pertiga pasukan. Atau sekitar 1.100 orang dari total personel yang mencapai kisaran 1.700 orang. Khusus untuk Brimob Kompi 3 Batalyon B Pelopor, kata dia, pihaknya menyiapkan dua peleton antianarkis yang secara keseluruhan terdiri atas 52 personel. “Dua peleton tersebut, masing-masing akan ditempatkan di Wonosobo dan Kebumen. Kalau untuk Purbalingga rencananya akan di-backup dari Pekalongan,” katanya menjelaskan. Menurut dia, personel yang akan dilibatkan dalam pengamanan Pilkada Serentak 2020 itu telah mengikuti latihan terpusat di Semarang yang langsung dievaluasi oleh Kepala Polda Jateng Irjen Pol Ahmad Luthfi. Ia memperkirakan personel pengamanan tersebut akan diterjunkan ke wilayah menggelar pilkada pada 9 Desember.

KPU Larang Kampanye Pilkada Berbentuk Pengumpulan Massa

JAKARTA, Jowonews- Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang kegiatan kampanye konvensional pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Hal tersebut diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19. KPU melarang partai politik, pasangan calon, tim kampanye dan pihak lain untuk melaksanakan kampanye yang biasa dilakukan pada kondisi normal, mulai dari rapat umum, pentas seni, panen raya, konser musik, gerak jalan santai, sepeda santai, perlombaan, bazaar, donor darah hingga peringatan hari ulang tahun parpol. Bagi pasangan calon kepala daerah yang melanggar ketentuan kampanye tersebut, sanksi akan diberikan mulai dari peringatan tertulis hingga pembubaran kegiatan kampanye. “Parpol atau gabungan parpol, pasangan calon, tim kampanye dan pihak lain yang melanggar larangan dikenai sanksi peringatan tertulis dan/atau penghentian pembubaran kegiatan kampanye oleh Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten-kota, apabila tidak melaksanakan peringatan tertulis,” demikian bunyi pasal 88C (2) pada PKPU 13/2020 yang ditetapkan oleh Ketua KPU Arief Budiman di Jakarta, Rabu (23/9). Penerbitan PKPU Nomor 13 Tahun 2020 tersebut merupakan tindak lanjut atas keputusan Pemerintah, DPR, dan lembaga penyelenggara pemilu untuk tetap melaksanakan tahapan Pilkada Serentak Tahun 2020 di tengah pandemi Covid-19. Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tetap dijalankan di tengah meningkatnya angka kasus Covid-19 selama protokol kesehatan diterapkan dan diberlakukan sanksi tegas bagi para pelanggar. Sebelumnya, pada Rapat Koordinasi Persiapan Pilkada Serentak Tahun 2020, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan diperlukan koordinasi dan regulasi lintas sektoral dalam rangka menegakkan peraturan tentang disiplin protokol kesehatan selama masa kampanye pilkada. “Regulasi yang dimaksud yang pertama adalah regulasi yang mengatur spesifik mengenai masalah pelaksanaan pilkada itu diatur dalam Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah, dan juga secara spesifik lebih detail oleh PKPU,” ujar Tito sebagaimana dilansir Antara.

Pakar: Infrastruktur Belum Siap, E-Voting Belum Bisa untuk Pilkada 2020

SEMARANG, Jowonews- Pemilihan Kepala Daerah 2020 dinilai belum bisa dilaksanakan secara elektronik atau e-voting, meski Undang-Undang Pilkada sudah mengakomodasinya. “Terlalu berat menyiapkan infrastrukturnya karena semuanya full electronic. Apalagi masalah pengamanan datanya,” kata Pakar keamanan siber dan komunikasi CISSReC Doktor Pratama Persadha, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (23/9) . Pratama mengatakan bahwa pelaksanaan e-voting, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 85, mempertimbangkan kesiapan pemerintah daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah. “Intinya penyelenggaraan pemilu elektronik harus melihat kesiapan infrastruktur di setiap daerah,” kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC. Dengan adanya wacana pilkada diundur karena pandemi Covid-19. Kemudian muncul lagi ide tentang e-voting, menurut Pratama, sulit untuk direalisasikan saat ini. Secara prinsip, kata dia, e-voting bisa dilaksanakan di tanah air. Namun, tidak secara 100 persen karena masih ada wilayah yang sulit dijangkau sinyal internet. Kendati demikian, ada jalan tengah bagi wilayah yang sulit internet. Yakni pemilihan tetap manual. Namun, hasil penghitungan suara dikumpulkan di satu titik lokasi khusus yang tersambung dengan internet dan sistem e-voting. e-rekap Pratama mengatakan bahwa KPU pada Pilkada 2020 menerapkan e-rekap. Hal ini bisa menjadi satu percobaan apakah KPU siap dengan sistem yang lebih sederhana “Namun, e-rekap juga memiliki kendala sama karena tidak semua terjangkau internet,” kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014. Dikatakan pula harus ada satu titik lokasi, tempat hasil perhitungan suara dikumpulkan, lalu dikirim dari lokasi tersebut. Menurut Pratama, yang harus disiapkan sebenarnya bukan hanya masalah sistem serta infrastruktur internet, melainkan juga terkait dengan kesiapan sumber daya manusia (SDM) sebagai user utamanya. Selain itu, lanjut dia, faktor keamanan sistem menjadi sangat penting saat menggunakan model pemilu elektronik. Pasalnya, e-voting rawan mengundang kecurangan lewat peretasan. “Hasilnya bisa dengan mudah didelegitimasi bila ditemukan kecurangan maupun kesalahan sistem,” kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini. Jalan panjang menuju e-voting, katanya lagi, masyarakat harus disiapkan dengan edukasi jauh-jauh hari. Minimal pemilu elektronik juga masuk dalam edukasi berkehidupan siber di tanah air sehingga masyarakat tidak kaget nantinya. Di lain pihak, menurut dia, sistem bisa disinkronisasi dengan database milik dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil) sehingga verifikasi menjadi lebih mudah.

Analis: Soal E-Voting, Tinggal Siapkan Peraturan KPU saja

SEMARANG, Jowonews- Terkait implementasi e-voting, Komisi Pemilihan Umum dinilai tinggal menyiapkan Peraturan KPU tentang Pemilihan Suara Secara Elektronik saja. Karena di dalam Undang-Undang Pilkada sudah ada aturan mengenai e-voting. “Jadi, tidak perlu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) terkait dengan pemilihan kepala daerah di 270 daerah, baik di sembilan provinsi, 224 kabupaten, maupun 37 kota, di tengah pandemi Covid-19,” terang analis politik dari Universitas Diponegoro, Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin, di Semarang, Selasa (22/9) malam. Teguh Yuwono lantas menyebut UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Di dalam Pasal 85 Ayat (1) disebutkan bahwa pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara: a. memberi tanda satu kali pada surat suara; atau b. memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik. Namun, lanjut dia, dalam Ayat (2a) disebutkan bahwa pemberian suara secara elektronik itu dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan pemerintah daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah. Teguh Yuwono mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md. yang menegaskan bahwa pilkada tetap dilaksanakan secara serentak di 270 daerah pada tanggal 9 Desember 2020. Ketika menyampaikan pengantar secara virtual Rapat Koordinasi Persiapan Pilkada Serentak Tahun 2020 di Jakarta, Selasa (22/9), Mahfud memaklumi adanya kontroversi dari masyarakat yang menginginkan penundaan pilkada. Namun, ada pula yang menghendaki pelaksanaan pilkada tetap pada tanggal 9 Desember 2020. Menjawab pertanyaan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, Teguh Yuwono mengatakan, “Saya kira pilihan terbaik tetap pilkada langsung karena demokrasi itu ‘kan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jadi, ini yang menjadi konsen semua pihakn,’ ujarnya sebagaimana dilansir Antara. Penundaan Tidak Solutif Menyinggung pilkada di tengah pandemi Covid-19, Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip itu mengutarakan bahwa penundaan pilkada bukan merupakan solusi karena tidak semua aktivitas harus tertunda. “Kalau semua gara-gara virus corona ditunda, nanti kuliah ditunda, makan ditunda, saya kira tidak solutif penundaan pilkada. Apalagi pernah ditunda, sebelumnya hari-H pencoblosan pada tanggal 23 September mundur menjadi 9 Desember 2020,” kata Teguh. Penundaan pilkada ini temaktub dalam UU No. 6/2020 Pasal 201A Ayat (1) yang intinya pemungutan suara serentak pada bulan September 2O2O tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal karena ada bencana nasional pandemi Covid-19. Selanjutnya, pada Ayat (2) disebutkan bahwa pemungutan suara serentak yang ditunda dilaksanakan pada bulan Desember 2O2O. Dikatakan pula oleh Teguh Yuwono bahwa pandemi COVID-19 adalah sesuatu yang riil dihadapi oleh masyarakat. Akan tetapi, justru bagaimana caranya dalam situasi seperti ini ada mekanisme teknologi yang bisa dipakai, misalnya e-voting. “Jadi, saya kira perlu disiapkan mekanisme online (dalam jaringan/daring) atau mekanisme offline (luar jaringan/luring) tetapi dengan protokol yang ketat,” katanya menegaskan. Jika di suatu daerah belum siap melaksanakan e-voting, menurut Teguh, waktu pemilihan lebih lama, misalnya sampai pukul 17.00. Begitu pula, ritme perlu diatur agar tidak terjadi kerumunan di tempat pemungutan suara (TPS). Alumnus Flinders University Australia ini lantas menandaskan, “Covid-19. tidak menjadi halangan. Bahwa virus corona harus di-handle, iya. Namun, kegiatan tidak bisa berhenti.”

Ganjar: Tindak Tegas Paslon Pelanggar Protokol Kesehatan

SEMARANG, Jowonews -Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu untuk berani menindak tegas pasangan calon kepala daerah yang terbukti melanggar penerapan protokol kesehatan pada setiap tahapan Pillkada Serentak 2020. “KPU dan Bawaslu harus berani memberikan sanksi bagi kontestan yang melanggar protokol kesehatan selama proses pilkada berlangsung,” kata Ganjar Pranowo di Semarang, Selasa (22/9). Kalau memang membahayakan dan berulang-ulang, menurut Ganjar, mungkin pembatalan pasangan calon juga menarik untuk dipertimbangkan sehingga benar-benar serius. “Kan hukuman itu harus ada efek jeranya,” kata Ganjar. Menurut Ganjar, dengan adanya keputusan bahwa Pilkada Serentak 2020 tetap dilanjutkan saat pandemi Covid-19, ada pekerjaan rumah yang sangat besar yang harus diselesaikan. Yakni pemerintah daerah, KPU, Bawaslu, dan TNI/Polri harus menegakkan protokol kesehatan yang sangat ketat. “Saya ngikuti di media, katanya akan tetap dilanjutkan. Kalau opsinya itu, semuanya harus siap. Ini enggak main-main.Protokol kesehatan harus disiapkan secara ketat untuk mengamankan,” ujarnya sebagaimana dilansir Antara. Selain meminta penyelenggara pemilu harus berani bersikap tegas, Ganjar juga meminta semua tahapan pilkada harus divirtualkan. Misalnya penentuan nomor urut, debat kandidat, dan tahapan lainnya guna mengantisipasi terjadinya kerumunan orang. Para elite politik yang bersaing dalam kontestasi politik juga diminta memberikan edukasi yang baik kepada masyarakat dengan melakukan lomba ide, gagasan secara virtual agar tidak menimbulkan kerumunan. Segala macam kegiatan dengan pengumpulan massa, lanjut Ganjar, sudah tidak masuk akal dilakukan saat pandemi Covid-19, baik itu konser musik, hiburan, maupun pertemuan massal seperti tahun-tahun sebelumnya. “Para calon bertarung saja di media sosial masing-masing dengan kreativitas dan program yang menarik. Misalnya, ingin ketemu calon tertentu, mengobrol, maka ikuti channel ini, ‘kan menarik. Tulis saja di banyak tempat dengan gambar besar. Ini calonnya, ini medsosnya dan ikuti obrolan setiap hari,” katanya. Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 saat pandemi Covid-19 menjadi perdebatan publik setelah sejumlah pihak meminta pelaksanaan ditunda karena dinilai membahayakan terkait kondisi darurat pandemi. Sedangkan pihak lain ada yang meminta pilkada tetap dilanjutkan demi melindungi hak konstitusi masyarakat. Sebenarnya, lanjut Ganjar, ada banyak skenario yang dapat dipilih dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. “Kalau umpama tetap lanjut, pelaksanaannya harus ketat dan tidak boleh abai,” katanya. Ganjar melanjutkan, “Namun, jika ditunda, permasalahan itu akan selesai. Atau bisa juga selektif, di daerah zona merah tidak boleh, di zona hijau tetap dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat. Tidak boleh ada pertemuan dan virtual. Kalau tidak, ya, sama saja.”

Jubir Istana Tegaskan Pilkada Tetap Sesuai Jadwal

JAKARTA, Jowonews- Walaupun sejumlah pihak telah meminta pelaksanaan Pilkada ditunda, tampaknya pemerintah tetap bersikeras melanjutkan prosesnya sesuai jadwal. Juru bicara Presiden Fadjroel Rachman menegaskan Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal tanggal 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih, dan hak memilih. “Pilkada harus dilakukan dengan disiplin protokol kesehatan ketat disertai penegakan hukum dan sanksi tegas agar tidak terjadi kluster baru pilkada,” ujar Fadjroel dalam siaran pers di Jakarta, Senin (21/9). Dia menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo telah menegaskan penyelenggaraan pilkada tidak bisa menunggu pandemi berakhir, karena tidak ada satupun negara yang mengetahui kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. “Karenanya, penyelenggaraan pilkada harus dengan protokol kesehatan ketat agar aman dan tetap demokratis,” ujar dia sebagaimana dilansir Antara. Dia mengatakan pilkada di masa pandemi bukan mustahil, negara-negara lain seperti Singapura, Jerman, Perancis, dan Korea Selatan juga menggelar pemilihan umum di masa pandemi, dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Fadjroel mengatakan pemerintah mengajak semua pihak untuk bergotong-royong mencegah potensi kluster baru penularan Covid-19 pada setiap tahapan pilkada. Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) No.6/2020, pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 harus menerapkan protokol kesehatan tanpa mengenal warna zonasi wilayah. Semua kementerian dan lembaga terkait, juga sudah mempersiapkan segala upaya untuk menghadapi pilkada dengan kepatuhan pada protokol kesehatan dan penegakan hukum. “Pilkada serentak ini harus menjadi momentum tampilnya cara-cara baru dan inovasi baru bagi masyarakat bersama penyelenggara negara untuk bangkit bersama dan menjadikan pilkada ajang adu gagasan, adu berbuat dan bertindak untuk meredam dan memutus rantai penyebaran Covid-19,” kata dia. Selain itu kata Fadjroel, pilkada serentak ini sekaligus juga menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional serta menjaga keberlanjutan sistem pemerintahan demokratis sesuai dengan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945.

KPU Surakarta Rekrutmen 1.231 PPDP Untuk Pilkada 2020

SOLO, Jowonews.com – Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta melakukan rekrutmen Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) untuk melaksanakan pencocokan dan penelitian (Coklit) daftar pemilih untuk persiapan Pilkada serentak 2020. Rekrutmen PPDP dengan cara pendaftaran online dimulai sejak 24 Juni hingga 14 Juli mendatang, kata Divisi Bidang Perencanaan Data dan Informasi KPU Surakarta Kajad Pamuji Joko Waskito, di Solo, Rabu. Menurut Kajad Pamuji jumlah PPDP yang dibutuhkan sebanyak 1.231 orang atau sesuai dengan jumlah tempat pemungutan suara (TPS) pada Pilkada 2020 di Solo. “PPDP untuk Coklit daftar pemilih ini, Jumat (10/7), harus sudah terbentuk, karena kegiatan pencocokan daftar pemilih dapat dimulai pada tanggal 15 Juli mendatang,” kata Kajad Pamuji. Kajad menjelaskan syarat menjadi petugas PPDP antara lain peserta tidak pernah dijatuhi sanksi sebagai pegawai, tidak berpihak ke salah satu pasangan calon peserta pemilihan, menguasai teknologi informasi, setia Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, serta berumur 20 hingga 50 tahun. “Realisasi rekrutmen petugas PPDP hingga saat ini, belum bisa diketahui jumlahnya, karena data masih di tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Peserta PPDP bisa pengurus Rukun Tetangga atau Rukun Warga,” kata Kajad. Ketua KPU Kota Surakarta Nurul Sutarti menambahkan sebanyak 1.231 anggota PPDP tersebut setelah terbentuk kemudian mengikuti kegiatan bimbingan teknologi (Bintek) yang digelar Minggu (12/7) hingga Selasa (14/7). “PPDP setelah mengikuti Bimtek bisa langsung bisa bekerja ke lapangan pemutakhiran data pemilih dengan tetap menerapkan protokol kesehatan COVID-19,” kata Nurul Sutarti. PPDP melaksanakan pemutakhiran data pemilih untuk Pilkada Surakarta 2020 sebanyak 437.667 pemilih. Kegiatan Coklit daftar pemilih dengan cara door to door dengan penerapan protokol kesehatan COVID-19, mengenakan masker, pelindung muka, dan membawa hand sanitizer. Selain itu, KPU Surakarta pada tahapan Pilkada juga sedang melaksanakan verifikasi faktual (verfak) syarat dukungan calon perseorangan, pasangan Bagyo Wahyono-F.X. Supardjo (Bajo). Hasil verfak paling lambat tanggal 21 Juli di tingkat kota. “Tahapan verifikasi syarat dukungan perseorangan dengan pembentukan PPDP untuk pemutakhiran daftar pemilih waktunya berimpitan,” kata Nurul. (jwn5/ant)

KPK Petakan Titik-titik Rawan Korupsi Pilkada 2020

JAKARTA, Jowonews.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memetakan titik-titik rawan korupsi yang dapat terjadi dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. “KPK perlu menyampaikan komitmen untuk turut menyukseskan penyelenggaraan pilkada agar bersih dan bebas dari praktik-praktik korupsi, karena hanya pilkada yang bebas dari praktik-praktik korupsi kita berharap terlahir pemimpin-pemimpin yang mampu memberikan harapan bagi rakyat Indonesia,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam webinar bertema An Election in the Time of Pandemic: “Protecting the Quality of Democracy and Potential Corruption” yang disiarkan melalui akun Youtube Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kamis. Ia mengatakan di tengah situasi pandemi COVID-19, perlu kiranya diperhatikan beberapa hal yang mungkin terjadi dalam Pilkada 2020 agar praktik-praktik korupsi dapat dihindari. “Seperti politik transaksional, karena sekali lagi pandemi COVID-19 mengakibatkan kita banyak di rumah “stay at home”, sehingga mengkibatkan semua masyarakat hanya mampu memiliki kekuatan untuk hidup saja tetapi tidak mampu memiliki kekuatan ekonomi yang lebih kuat lagi,” ujarnya pula. Kondisi ekonomi yang lemah tersebut, kata dia lagi, berpotensi melahirkan praktik-praktik transaksional dalam pilkada. “Kondisi kelemahan ekonomi ini merupakan potensi yang terbuka bagi praktik-praktik pragmatis transaksional dalam pilkada akibat dampak pandemi COVID-19 ini, untuk melakukan cara-cara transaksional dan ilegal guna mendapatkan suara pemilih yang kondisi ekonominya sedang di titik terendah,” kata Ghufron. Selain itu, ia juga menyatakan akan muncul potensi “fraud” atau kecurangan dalam pengadaan logistik pilkada. “Hal tersebut dapat terjadi karena akan sulit untuk melakukan pengawasan, karena terhadap alur pengadaan sarana dan prasarana pilkada di tengah pandemi ini memiliki banyak keterbatasan. Misalnya, masyarakat tidak banyak di luar rumah, sehingga pengawasan dari masyarakat akan semakin kurang,” kata Ghufron lagi. Ia pun menegaskan jika proses pilkada jauh dari praktik-praktik korupsi, maka dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. “Proses yang bagus akan melahirkan pemimpin yang bagus, pemimpin yang bagus akan melahirkan pelayanan publik yang bagus, peningkatan pendapatan daerah yang bagus, pembelanjaan negara yang bagus,” kata dia. Karena itu, ia menyatakan bahwa praktik korupsi itu sesungguhnya adalah hilir dari sebuah hulu yang bernama pilkada maupun pemilu. “Kalau pemilunya bagus pilkadanya bagus, maka sesungguhnya kita berharap tentunya korupsi akan turun, tetapi sebaliknya kalau proses pemilihan pemimpinnya rusak atau gagal maka kita tidak akan berharap kemudian korupsi akan bersih,” ujar Ghufron. KPK, kata dia, juga memandang saat ini biaya pilkada sangat tinggi, sehingga kepala daerah yang telah terpilih cenderung mengembalikan biaya tersebut saat sudah menjabat. “KPK idealnya hanya membersihkan residu-residu yang idealnya tidak lebih dari 5 persen dari proses korupsi di suatu pemerintahan. Faktanya saat ini, pandangan KPK sistem pemilu, sistem pilkada kita “cost”-nya terlalu tinggi. Kemudian menimbulkan pemimpin-pemimpin yang cenderung berpikirnya tidak lagi untuk kepentingan publik, tetapi mengembalikan modalnya. Pada saat mengembalikan modal, maka praktik-praktik korupsi terjadi,” katanya pula. (jwn5/ant)