Tradisi Asrah Batin, Tradisi Persaudaraan dan Larangan Menikah di Dua Desa Grobogan
Di Grobogan, Jawa Tengah, tradisi Asrah Batin tetap hidup dengan merayakan momen pertemuan dua desa, Karanglangu dan Ngombak, setiap dua tahun sekali.
Di Grobogan, Jawa Tengah, tradisi Asrah Batin tetap hidup dengan merayakan momen pertemuan dua desa, Karanglangu dan Ngombak, setiap dua tahun sekali.
SEMARANG – Setiap daerah di Indonesia memiliki cara unik dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Di Kota Semarang, salah satu tradisi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Ramadhan adalah tradisi Dugderan. Namun, apa sebenarnya makna di balik tradisi ini? Tradisi Dugderan tidak sekadar perayaan biasa, tetapi sarat dengan makna dan sejarah yang dalam. Tradisi ini merupakan warisan turun-temurun yang masih dilestarikan hingga kini, menghubungkan generasi dengan sejarah leluhur mereka. Diperkirakan, asal-usul tradisi Dugderan bermula pada masa kepemimpinan Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat, atau yang dikenal sebagai Bupati Purbaningrat pada tahun 1881. Pada masa itu, muncul perbedaan pendapat dalam masyarakat tentang penentuan awal bulan Ramadhan. Di tengah kondisi tersebut, Indonesia masih berada dalam zaman kolonial Belanda, yang membuat masyarakat Kota Semarang terbagi menjadi empat golongan: pecinan (etnis Tionghoa), pakojan (etnis Arab), kampung Melayu (warga perantauan dari luar Jawa), dan orang Jawa asli. Untuk menyamakan persepsi dalam menentukan awal Ramadhan, pemerintahan Bupati Purbaningrat menetapkan tradisi yang unik. Mereka menabuh bedug di Masjid Agung Kauman dan menyalakan meriam di halaman kabupaten. Kedua bunyi tersebut, bedug dengan bunyi ‘dug dug dug’ dan meriam dengan bunyi ‘der der der’, dibunyikan masing-masing sebanyak tiga kali. Setelah itu, diumumkanlah awal bulan Ramadhan di masjid. Dulu, perayaan Dugderan berpusat di Masjid Agung Semarang atau Masjid Besar Semarang, yang kini dikenal sebagai Masjid Kauman, yang berada di dekat Pasar Johar. Makna dan tujuan dari Dugderan sendiri adalah untuk menyatukan masyarakat dalam menentukan awal bulan Ramadhan, sekaligus memperingati nilai-nilai sejarah dan kebudayaan yang kental dalam kehidupan masyarakat Semarang. Demikianlah, suara meriah Dugderan bukan hanya sebagai penanda awal Ramadhan, tetapi juga sebagai pengingat akan kekayaan budaya dan sejarah yang harus tetap dijaga dan dilestarikan oleh generasi mendatang. Tradisi ini menjadi salah satu cermin dari keberagaman budaya Indonesia yang patut disyukuri dan dijaga.
WONOSOBO – Tradisi Momongi Tampah merupakan salah satu tradisi unik di Desa Warangan, Kecamatan Kepil, Wonosobo. Dalam perayaan tradisi ini, warga desa berkumpul untuk menanam bambu dan berbagi hidangan sebagai ungkapan rasa syukur. Tradisi ini dimulai dengan prosesi kirab dari Balai Desa Warangan menuju hutan perhutani yang terletak sekitar 1 kilometer dari pemukiman desa. Mengenakan pakaian adat, warga desa secara bersama-sama membawa bibit bambu yang akan ditanam. Sebelum menanam, bibit bambu ini diritualkan dengan penyiraman menggunakan air yang diambil dari berbagai mata air alami di sekitar Desa Warangan. Selain itu, puluhan warga juga membawa 60 sajian tumpeng untuk dinikmati bersama di area hutan perhutani. Kepala Desa Warangan, Mustofa, menjelaskan bahwa tradisi ini merupakan ekspresi rasa syukur warga, terutama mengingat bahwa 90 persen dari penduduk lokal adalah perajin bambu. “Di Warangan, 90 persen penduduk adalah perajin tampah yang terbuat dari bambu. Bambu adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan di sini,” kata Mustofa setelah acara di lahan hutan perhutani Desa Warangan pada Sabtu, (7/10/2023). Tradisi ini juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk kembali menanam bambu, yang merupakan bahan utama pembuatan tampah, alat tradisional untuk menyajikan makanan. Saat ini, produk tampah dari Desa Warangan telah mendapat pengakuan dan didistribusikan ke berbagai daerah di Indonesia. “Kami tidak hanya menebang bambu untuk membuat tampah, tetapi juga menanamnya kembali. Saat ini, produk tampah dari Desa Warangan telah dikenal hingga ke berbagai wilayah di Indonesia,” tambahnya. Melalui tradisi Momongi Tampah ini, kepala Desa Warangan berharap akan terjadi peningkatan produktivitas pertanian, khususnya bambu. Aspirasinya adalah tradisi ini akan membawa berkah bagi hasil pertanian lokal di Desa Warangan, memperkuat ikatan antara masyarakat dan lingkungan mereka, serta melestarikan budaya lokal mereka. Foto Dok. Detik
Di Desa Banyuanyar, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, terdapat sebuah tradisi tradisional yang disebut “kenduri udan dawet.” Tradisi ini memiliki tujuan utama sebagai ritual untuk meminta hujan, terutama sebagai respons terhadap kemarau panjang yang tengah melanda. Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun sejak zaman nenek moyang mereka. Tradisi kenduri udan dawet biasanya dilaksanakan setiap tahun, tepatnya pada hari Jumat Pon bulan keempat dalam penanggalan Jawa. Bulan ini biasanya merupakan musim kemarau, dan inilah alasan utama mengapa tradisi ini dilaksanakan pada saat tersebut, yaitu untuk memohon hujan. Upacara ini diadakan di dekat sebuah sendang atau sumber air yang dikenal sebagai Mande Rejo, yang berada di Dukuh Desa Banyuanyar. Selama prosesi, dawet, makanan tradisional seperti tumpeng, serta ingkung ayam dan lauk-pauk lainnya dibawa dalam kirab oleh warga setempat. Ratusan warga dari berbagai dukuh, seperti Dukuh Dukuh, Dukuh Bunder, dan Ngemplak, mengenakan pakaian adat untuk mengikuti kirab ini. Dalam kirab, terdapat dua gunungan besar, yakni gunungan dawet dan gunungan yang berisi berbagai sayuran dan buah-buahan. Setibanya di Sendang Mande Rejo, prosesi selanjutnya dimulai dengan warga duduk bersama dan melakukan pembacaan doa-doa. Ritual kemudian dilanjutkan dengan menyiramkan dawet ke sendang tersebut sebagai tanda permohonan kepada Tuhan untuk memberikan hujan yang berkah. Selama proses penyiraman dawet ke sendang, warga juga mengucapkan kalimat “udan buyut,” yang memiliki makna sebagai permohonan agar hujan segera turun dengan deras. Setelah ritual selesai, warga berkumpul untuk meminum dawet dan bersama-sama makan dari tumpeng yang mereka bawa. Dengan melaksanakan tradisi ini, warga berharap agar hujan segera turun, sehingga mereka dapat segera melanjutkan aktivitas pertanian dan mendapatkan pasokan makanan untuk ternak mereka. Tradisi kenduri udan dawet ini mencerminkan pentingnya budaya dan kepercayaan lokal dalam menjaga keseimbangan alam dan kehidupan masyarakat.
Sekaten merupakan acara tahunan dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang masih dilestarikan oleh dua keraton kerajaan di Pulau Jawa yaitu Keraton Surakarta dan Keraton Jogja. Perayaan ini diadakan sekali dalam setahun, tepatnya pada tanggal 5 hingga 12 Rabiul Awal (dalam kalender Jawa disebut bulan Mulud). Tradisi sekaten dianggap sebagai cara untuk menunjukkan rasa syukur dan kegembiraan bagi masyarakat Jawa. Pada saat acara Sekaten, biasanya ada perayaan pasar malam sepanjang bulan. Keunikan tradisi ini terletak pada keberagaman elemen budaya, seperti koleksi benda pusaka yang berharga, warisan budaya yang dijaga, kepercayaan yang diyakini, dan seni yang dijalankan. Pada awalnya, tujuan utama dari sekaten adalah untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Walaupun kedua kota tersebut melaksanakan ritual yang serupa, tetapi terdapat perbedaan yang menjadi ciri khas dari kedua keraton tersebut. Berikut penjelasan sekaten dan perbedaan prosesi perayaan di keraton Solo dan Jogja. Sejarah Sekaten Upacara sekaten adalah perayaan adat yang diadakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam buku “Asesmen Kognitif Pembelajaran IPA dengan Pendekatan STEM Berbasis Kearifan Lokal” yang ditulis oleh Ahmad Annadzawil, dijelaskan bahwa kata “sekaten” berasal dari kata “sekati”. Kata tersebut merujuk dari nama perangkat gamelan pusaka keraton yang dibunyikan dalam rangkaian upacara yang memperingati Maulid Nabi Muhammad. Sekati merupakan kombinasi kata suka dan ati yang memiliki arti bersenang hati. Istilah “sekati” juga bisa diartikan sebagai kata sesek dan ati yang berarti sesak hati. Nama sekaten kemudian diperluas menjadi Sahutain (menghentikan atau menghindari dua sifat, yaitu sifat lacur dan menyeleweng). Sakhatain (menghapus dua hal, yaitu sifat binatang dan sifat setan), Sakhotain (menanamkan dua hal, yaitu selalu menjaga sikap budi pekerti yang tinggi dan selalu merindukan Tuhan). Sekati (setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal- hal yang baik dan buruk), Sekat (batas, orang hidup harus membatasi diri untuk berlaku jahat). Sejak zaman Majapahit, sekaten telah menjadi sebuah ritual tradisional yang diadakan oleh para raja Jawa. Upacara ini dirancang untuk memperingati serta menjaga keselamatan kerajaan. Namun seiring berjalannya waktu, budaya sekaten dijadikan sebagai alat penyebaran agama Islam khususnya di wilayah Jawa Tengah. Penyebaran agama Islam di Jawa Tengah dilakukan melalui seni musik gamelan. Gamelan dipilih sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam karena pada saat itu, masyarakat Jawa amat terpikat dengan keindahan musik gamelan. Seiring dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dalam acara sekaten, penggunaan rebana sebagai instrumen musik pengiring tidak lagi digunakan, melainkan digantikan oleh gamelan yang digunakan untuk melantunkan shalawat. Sekaten di Solo dan Jogja Di Solo, secaten biasanya dibarengi dengan pasar malam yang berlangsung sebulan penuh. Permulaan perayaan sekaten dimulai dengan prosesi pengiringan gamelan ke masjid yang telah dihiasi dengan janur kuning. Pertunjukan tersebut berlangsung selama periode 5 hingga 12 Rabiul Awal, dengan musik gamelan yang terus dimainkan. Selanjutnya, terdapat pula pertunjukan tumplak wajik dan grebeg maulud yang menjadi bagian dari acara ini. Tumlak Wajik dilaksanakan dua hari sebelum Grebeg Maulud. Ritual tumplak wajik diawali dengan pemukulan kentongan sebagai bagian dari upacara permulaan pembuatan gunungan. Pada acara tumplak wajik, berbagai lagu seperti Lompong Keli, Owal Awil, Tudhung Setan, dan sebagainya dimainkan. Acara dilanjutkan dengan grebeg maulud yang merupakan puncak dari acara sekaten. Acara ini ditandai dengan gunungan yang berisi beras ketan, buah buahan, bahan pangan, sayur mayur, gunungan tersebut merupakan simbol doa dan ucapan selamat atas kesejahteraan kerajaan, setelah acara doa gunungan tersebut selanjutnya dibagikan kepada masyarakat. Seperti halnya di Solo, perayaan sekaten di Jogja juga mengadakan pasar malam selama satu bulan penuh. Perayaan sekaten di Jogja dimulai dengan mengeluarkan gamelan kyai sekati oleh para abdi dalem Keraton Ngayogyakarta. Gamelan yang terdiri dari gamelan kyai Guntur madu dan kyai Nogowilogo akan ditempatkan di Bangsal Ponconiti, Keben, dan akan digunakan untuk pertunjukan setelah waktu Isya. Pada tanggal 11 maulud atau malam grebeg, warga masyarakat akan berkumpul di Alun-alun Utara. Pada malam grebeg, Sri Sultan beserta rombongan akan berjalan dari pintu Gerbang Srimanganti menuju pintu Gerbang Masjid Besar. Setelah itu, upacara udik-udik akan dilaksanakan, yaitu dengan menyebarkan koin logam, beras, dan bunga. Setelah acara udik-udik berakhir, dilanjutkan dengan membacakan kisah hidup Nabi Muhammad SAW, dan acara akan diakhiri dengan penyelenggaraan prosesi kundur gongso, yaitu mengembalikan gamelan Kyai Sekati ke keraton. Perbedaan Sekaten Solo dan Jogja Meski sekilas memiliki prosesi yang sama, namun ternyata ada perbedaan antara kegiatan sekaten Solo dan Jogja. Bedanya pada pelaksanaan sekaten di Solo tidak ada tradisi pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW dan juga tidak ada penyebaran koin logam, beras, dan bunga yang disebut udik-udik. Selain itu, acara sekaten di Solo juga tidak melibatkan prosesi kundur gongso, yaitu ritual mengembalikan gamelan kyai sekati ke keraton. Sebaliknya, salah satu perbedaan antara adat Sekaten Solo dan Sekaten Jogja adalah penggunaan janur kuning sebagai dekorasi bangsal masjid di Sekaten Solo. Janur kuning tersebut akan diperebutkan oleh warga sebagai simbol keberkahan. Pada acara sekaten Jogja, gamelan akan mulai dimainkan setelah waktu sholat isya, sementara di Solo, gamelan akan dimainkan setelah acara miyos gangsa. Perbedaan lainnya adalah dalam acara sekaten Jogja, jumlah gunungan yang dibuat mencapai enam buah. Gunungan tersebut terdiri dari dua gunungan jaler (untuk laki-laki), satu gunungan wadon (untuk wanita), satu gunungan dharat, satu gunungan gepak, dan satu gunungan pawuhan. Namun, di Solo, hanya terdapat dua jenis gunungan, yaitu gunungan jaler dan estri.
Masyarakat Jawa mempunyai tradisi yang berbeda-beda dalam mengingat waktu, termasuk tradisi Saparan. Tradisi Sapara biasanya berlangsung pada bulan Sapar atau bulan kedua penanggalan Jawa. Tradisi merupakan hasil kreativitas, pertumbuhan dan tujuan hidup manusia, yang tersusun dari unsur-unsur kompleks yang tersusun dari berbagai hal seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, perilaku, budaya. Kemudian, apa yang dimaksud dengan tradisi Saparan? Berikut beberapa informasi terkait tradisi Saparan yang diambil dari penelitian berjudul Tradisi Saparan dalam Budaya Masyarakat Jawa di Lumajang oleh Tutuk Ningsih dalam Jurnal Kajian Islam dan Budaya. Seputar Tradisi Saparan Saparan adalah sebuah tradisi yang dijalankan oleh masyarakat Jawa, baik di wilayah Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Namun, setiap daerah memiliki keunikan dan perbedaan dalam prosesi pelaksanaannya. Saparan berasal dari istilah shafar yang merupakan sebutan bagi bulan dalam kalender Jawa. Sehingga, tiap bulan safarlah pelaksanaan tradisi ini. Bulan Safar adalah bulan kedua dalam kalender Hijriah menurut penanggalan Islam. Tradisi Saparan adalah ritual yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan pengharapan akan mendapatkan berkah dan rezeki yang melimpah, serta menjauhkan diri dari bencana dan kesialan. Bentuk Pelestarian Tradisi Saparan Setiap daerah mempunyai cara yang berbeda-beda dalam melestarikan tradisi Saparan, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu melestarikan budaya lokal, dan sebagai wujud rasa syukur. Pagelaran Pewayangan Sehari sebelum pelaksanaan tradisi Saparan, di berbagai daerah sering diadakan pagelaran pewayangan, yaitu pertunjukan wayang kulit. Kirab Budaya Kirab budaya adalah salah satu prosesi dalam tradisi Saparan, yaitu masyarakat berbondong-bondong melakukan kirab keliling, dengan mengusung gunungan yang terbuat dari hasil bumi. Arak Tumpeng Arak tumpeng adalah bentuk pelestarian tradisi Saparan, yaitu dengan mengarak tumpeng yang berisi hasil bumi pada masyarakat desa kemudian diarak dan nantinya tumpeng tersebut akan dibagikan oleh masyarakat. Larung Sesaji Biasanya masyarakat di daerah pantai melakukan tradisi Saparan dengan pelarungan sesaji. Adapun sesaji yang dilarungkan umumnya seperti buah-buahan, ayam ingkung, dan kepala sapi yang sudah terlebih dahulu dihiasi dengan bunga setaman, menyan, dan payung.
Berbagai daerah di Indonesia mempunyai tradisinya masing-masing, salah satunya Rebo Wekasan atau Rabu Wekasan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa. Lalu, apa sebenarnya tradisi Rebo Wekasan? Temukan serba serbinya. Biasanya, acara-acara tradisional di Indonesia sering kali diadakan pada periode waktu tertentu. Adapun pelaksanaannya ditentukan dengan menggunakan metode penanggalan tradisional atau agama seperti penanggalan Hijriah. Tradisi Rebo Wekasan adalah suatu tradisi yang dilaksanakan pada bulan Safar berdasarkan penanggalan Hijriyah. Pengertian Rebo Wekasan Menurut desasuci.gresikkab.go.id, tradisi Rebo Wekasan dikenal juga dengan sebutan Rebo Wekasan atau Rebo Akhir. Kata “Rebo” adalah nama hari dalam bahasa Jawa dan berarti Rabu dalam bahasa Indonesia. Sedangkan “Wekasan” adalah kata dalam bahasa Jawa yang berarti akhir atau “akhir”. Artinya, Rebo Wekasan secara literal mengacu pada hari Rabu terakhir. Rebo Wekasan adalah suatu acara budaya yang diadakan pada hari Rabu terakhir dalam bulan Safar, yang merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriyah. Kebudayaan ini banyak berkembang di Pulau Jawa, misalnya di Gresik, Probolinggo, Banten, Kudus, Tegal, Cirebon, dan lain-lain. Tradisi Rebo Wekasan diadakan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya bencana atau kesialan. Beberapa bentuk kegiatan tradisi ini meliputi sholat tolak bala, melakukan dzikir bersama, dan mengadakan selamatan. Sejarah Rebo Wekasan Asal usul tradisi ini dan orang pertama yang memulainya tidak tercatat dalam bentuk dokumen tertulis. Hingga saat ini, belum ada penjelasan yang mengungkapkan asal mula tradisi tersebut. Meskipun demikian, kebiasaan ini sudah menyebar luas di masyarakat dan tampaknya telah menjadi suatu aspek yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Seolah-olah jika tidak dilaksanakan, sebagian masyarakat merasa akan ada risiko bencana dan permasalahan di kemudian hari. Tradisi Rebo Wekasan memiliki hubungan erat dengan penyebaran nilai-nilai Islam dan ulama yang menyebarkannya di Indonesia di masa lalu. Berdasarkan informasi yang dicantumkan dalam situs resmi Desa Pejengkolan, Kebumen, terdapat beberapa kejadian yang terjadi pada hari Rabu Wekasan ini jika dilihat dari catatan sejarah. Hal itu menjadi alasan mengapa para ulama merekomendasikan untuk melaksanakan banyak perbuatan baik pada hari Rebo Wekasan. Beberapa diantaranya seperti shalat dan memberi bingkisan yang dapat mengusir keberkahan. Sebagian masyarakat meyakini bahwa hari terakhir di bulan Safar merupakan hari pertama saat Nabi Muhammad SAW jatuh sakit dan berlanjut selama 12 hari berturut-turut hingga wafatnya Rasulullah. Di samping itu, beberapa para ahli spiritual yang terampil dalam pengetahuan batiniyah berpendapat bahwa setiap tahun Allah menghadirkan sebanyak 320.000 cobaan atau bencana. Semua ini dikeluarkan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Karenanya, penting bagi umat Islam untuk melakukan ibadah seperti sholat, berdoa, berdzikir, dan melaksanakan perbuatan baik yang terdapat dalam acara Rebo Wekasan ini.
Tradisi Mapati dan Mitoni Kehamilan adalah bagian dari tradisi yang lazim dilakukan dalam masyarakat Jawa. Upacara ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, tergantung pada adat dan budaya setempat. Untuk memberikan doa kepada bayi yang dikandung, sebagian besar masyarakat Jawa seringkali melakukan upacara Mapati dan Mitoni. Tradisi dan upacara ini dilakukan jika calon ayah dan ibu berharap yang terbaik untuk masa depan anak-anak mereka. Kedua tradisi ini dipraktikkan sebagai bentuk terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas semua berkat dan kesehatan. Akan tetapi, upacara Mitoni (bulan ke-7) lebih dikenal daripada upacara Mapati (bulan ke-4) di kalangan masyarakat. Jadi, apa perbedaan antara tradisi mapati dan mitoni kehamilan? Berikut penjelasannya. Tradisi Mapati Kehamilan Upacara Mapati atau Ngupati adalah suatu adat istiadat yang unik dalam kultur masyarakat Jawa. Mapati berasal dari kata papat yang berarti empat. Upacara Ngupati dilaksanakan ketika kehamilan memasuki bulan keempat. Hal ini dikarenakan jiwa roh mulai masuk ke dalam kandungan setelah 120 hari. Oleh karena itu, melalui upacara Ngupati atau Mapati ini, kami berdoa agar roh tersebut menjadi roh yang baik. Upacara Mapati atau Ngupati biasanya berupa acara kenduri yang diadakan di rumah calon ibu atau rumah pasangan. Makanan yang disajikan adalah nasi tumpeng megono, makanan pasar, bubur abang putih, dan kupat sumpel. Yang membedakan upacara ini dari ritual konsepsi lainnya adalah ngupati kenduri yang melibatkan piring kupat di mana para tamu dapat menempatkan kupat yang mereka bawa pulang di dalam besek (mangkuk bambu). Namun, seiring dengan perkembangan zaman, kupat biasanya diganti dengan nasi golong. Upacara tradisional Ngupati atau Mapati harus dilakukan pada hari baik menurut penanggalan Jawa. Tradisi Mitoni Kehamilan Upacara Mitoni atau Tingkepan adalah tradisi yang biasanya dilakukan setelah ibu hamil menginjak usia kehamilan tujuh bulan. Upacara ini dianggap sebagai momen penting dalam kehamilan karena bayi dalam kandungan diyakini telah melewati masa kritis. Selain di Yogyakarta, tradisi Mithoni juga dilakukan di Jawa Timur, Demak, dan Jawa Tengah. Upacara Mithoni sebaiknya dilakukan pada hari Rabu atau Sabtu ganjil, mulai dari tanggal 1 hingga 15. Persiapan untuk upacara ini meliputi barang-barang seperti 7 macam buah-buahan untuk membuat rujak, 7 tumpeng, 7 macam hiasan kain, dan 7 mata air yang diberi bunga 7 rupa. Istilah Mithoni berasal dari bahasa Jawa yang berarti 7. Hal ini merujuk pada usia bayi dalam kandungan yang telah mencapai 7 bulan. Upacara Mithoni dilakukan untuk mendoakan kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi yang akan dilahirkan. Tradisi tujuh bulan ini tidak selalu dilakukan dalam upacara besar. Beberapa orang memilih untuk mengadakan pengajian syukur dan doa berjamaah dengan membaca surah-surah dalam al-quran seperti surah yusuf, maryam, dan luqman. Acara ini biasanya hanya dihadiri oleh tetangga dan keluarga terdekat. Doa Mapati Kehamilan Dalam tradisi umat Islam Indonesia, terdapat ritual seputar kehamilan yg dilakukan dalam waktu masa kandungan memasuki usia 4 bulan. Di Jawa, ritual ini biasa dianggap menjadi ngupati, lantaran kuliner yg tersaji menjadi sedekah umumnya merupakan berupa kupat (ketupat). Dalam literatur Islam klasik, sebenarnya ritual semacam ini pun ada keterangannya, hanya saja dengan bahasa yang lain, yakni walimatul haml. Adapun doa apa yang dipanjatkan dalam walimatul haml, bisa kita kutip dari karya Lajnah Ta’lif Pustaka Gerbang Lama, Pondok Pesantren Lirboyo) dalam buku Menembus Gerbang Langit; Kumpulan Doa Salafus Shalih (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010), hal. 119: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ وَبِاللهِ وَمِنَ اللهِ وَإِلَى اللهِ وَلَا غَالِبَ إِلَّا اللهُ وَلَا يُفَوِّتُهُ هَارِبٌ مِنَ اللهِ وَهُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ، نُعِيْذُ هٰذَا الْحَمْلَ الْبَالِغَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ بِاللهِ اللَّطِيْفِ الْحَفِيْظِ الَّذِيْ لَآ إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ وَنُعِيْذُهُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّآمَّةِ وَبِأَسْمَآئِكَ الْعَظِيْمَةِ وَآيَاتِهِ الْكَرِيْمَةِ وَحُرُوْفِهَا الْمُبَارَكَةِ مِنْ شَرِّ الْإِنْسِ وَالْجَآنِّ وَمِنْ مَكْرِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْاٰوَانِ وَمِنْ جَمِيْعِ الْفِتَنِ وَالْبَلَايَا وَالْعِصْيَانِ وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ. اَللّٰهُمَّ اجْعَلْهُ وَلَدًا صَالِحًا كَرِيْمًا كَامِلًا عَاقِلًا عَلِيْمًا نَافِعًا مُبَارَكًا حَلِيْمًا. اَللّٰهُمَّ زَيِّنْهُ بِزِيْنَةِ الْأَخْلَاقِ الْكَرِيْمَةِ وَالصُّوْرَةِ الْجَمِيْلَةِ ذِي الْهَيْبَةِ وَالْهَيْئَةِ الْمَلِيْحَةِ وَالرُّوْحِ عَلَى الْفِطْرَةِ الْجَزِيْلَةِ. اَللّٰهُمَّ اكْتُبْهُ فِيْ زُمْرَةِ الْعُلَمَآءِ الصَّالِحِيْنَ وَحَمَلَةِ الْقُرْاٰنِ الْعَامِلِيْنَ وَارْزُقْهُ عَمَلاً يُقَرِّبُهُ إِلَى الْجَنَّةِ مَعَ النَّبِيِّيْنَ يَآ أَكْرَمَ الْأَكْرَمِيْنَ وَيَا خَيْرَ الرَّازِقِيْنَ. اَللّٰهُمَّ ارْزُقْهُ وُأُمَّهُ فِيْ طَاعَتِكَ الْمَقْبُوْلَةِ وَذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ الْمُرْضِيَّةِ وَاحْفَظْهُ مِنَ السَّقْطِ وَالنَّقْصِ وَالْعِلَّةِ وَالْكَسَلِ وَالْخِلْقَةِ الْمَذْمُوْمَةِ حَتَّى وَضَعَتْهُ أُمُّهُ عَلَى صِحَّةٍ وَعَافِيَةٍ وَسُهُوْلَةٍ وَيُسْرَةٍ مِنْ غَيْرِ مَرَضٍ وَتَعَبٍ وَعُسْرَةٍ بِشَفَاعَةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm(i). Bismillâhirraḫmânirraḫîm(i). Wa minaLlâhi wa ilaLlâhi wa lâ ghâliba illaLlâhu wa lâ yufawwituhu hâribun minaLlâhi wa huwal hayyul qayyûmu, nu’îdzu hadzal ḫamla al-bâlighi arba’ata asyhui billâhil lathîfil ḫâfidzil ladzî lâ ilâha illa huwa ‘âlimul ghaibi wasysyahâdati huwar-raḫmânur-raḫîmu wa nu‘îdzuhu bikalimatiLlâhi at-Tâmmati wa bi asmâika al-‘adzîmati wa âyâtihi al-karîmati wa hurûfihâ al-mubârakati min syarril insi wal jânni wamin makril laili wan nahâri wal awâni wamin jamî’il fitani wal balâI wal ‘ishyâni wa min syarrin naffâtsâti fil ‘uqudi wamin syarri hâsidin idzâ ḫasad. Allâhumma ij’alhu waladan shâliḫankarîman kâmilan ‘âqilan ‘alîman nâfi’an mubârakan ḫalîman. Allâhumma zayyinhu bizînatil akhlâqi al-karîmati washshûrati al-jamîlati dzil-haibati wa- haiati al-malîhati warrûhi ‘alal fithrati al-jazîlati. Allâhumma uktubhu fî zumratil ulamâish shâlihîn wa ḫamalatil qur`ânil ‘âmilîna warzuqhu ‘amalan yuqarribuhu ilal jannati ma’an nabiyyîna yâ Akramal akramîn wa yâ Khairar Râziqîn. Allâhumma-rzuqhu wa ummuhu fî thâ’atika almaqbûlata wa dzikrika wa syukrika wa ḫusni ‘ibâdatika al-mardliyyati wa-ḫfadzhu minassaqti wannaqshi wal ‘illati walkasali wal khilqati al-madzmûmati ḫatta wadla’athu ummuhu ‘ala shiḫḫatin wa ‘âfiyatin wa suhûlatin wa yusratin min ghari maradlin wa ta’abin wa ‘usratin bi syafâ’ati sayyidinâ Muḫammadin shallaLlâhu ‘alaihi wa sallam. “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang. Dari Allah, kepada Allah, tidak ada yang menang kecuali Allah, tiada yang bisa berlari dari Allah, Dia Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri. Kami memohon perlindungan bagi janin yang berumur 4 bulan ini pada Allah Yang Maha Lembut, Yang Maha Menjaga, tiada tuhan selain Dia Yang Maha Mengetahui hal-hal gaib dan terlihat. Dia Maha Pengasih lagi Penyayang. Kami memohon perlindungan bagi janin ini pada kalimat-kalimat Allah yang sempurna, asma-asma-Nya yang agung, ayat-ayat-Nya yang mulia, huruf-huruf-Nya yang diberkati dari kejelekan manusia dan jin, dari godaan malam, siang, dan waktu, dan dari segala fitnah, bala dan maksiat, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang … Baca Selengkapnya