Jowonews

Jejak Kota Garnisun Salatiga, Menelusuri Kejayaan dan Keabadian Bangunan-Bangunan Bersejarah

Jejak Kota Garnisun Salatiga, Menelusuri Kejayaan dan Keabadian Bangunan-Bangunan Bersejarah

SALATIGA – Masa kolonialisme di Jawa membawa banyak perubahan dalam pola hidup dan pemukiman. Elite Belanda pada awalnya tinggal di dalam benteng berdinding tinggi dengan kanal mengelilinginya, namun seiring berkurangnya konflik dengan penduduk setempat, mereka mulai membangun di luar benteng. Kota-kota pesisir seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya yang semula menjadi pusat dagang dan tempat tinggal, perlahan ditinggalkan karena dianggap kurang sehat. Salatiga, sebagai persimpangan antara Semarang, Surakarta, Magelang, dan Yogyakarta, menjadi pilihan utama. Kota ini, yang pernah menjadi garnisun semasa VOC berkuasa, kini menyimpan jejak-jejak bersejarah yang menarik. Sejarawan Salatiga, Eddy Supangkat, mengungkapkan bahwa masih ada 144 bangunan peninggalan kolonial yang dihitung sebagai Bangunan Cagar Budaya di kota ini. Rumah Historia Salatiga Eddy, semenjak masa kecilnya, kecintaannya terhadap sejarah tumbuh seiring dengan cerita yang diceritakan oleh nenek-kakeknya. Kini, rasa cintanya itu telah melahirkan 20 buku tentang Kota Salatiga yang telah ia terbitkan. Cerita-cerita dan pengetahuan yang diturunkan oleh nenek-kakeknya menjadi pondasi kuat bagi dedikasinya pada sejarah. Rumah yang menjadi saksi bisu perjalanan waktu ini juga menjadi rumah peninggalan nenek-kakek Eddy. Di dalamnya, terdapat segala kenangan dan cerita tentang masa lalu Salatiga yang telah ia telusuri dengan penuh gairah. Sejak tiga tahun lalu, Rumah Historia, menjadi tempat penyatuan foto-foto berharga yang menggambarkan jejak garnisun di Salatiga. Foto-foto lawas yang terpajang di Rumah Historia bukan hanya sekadar dokumentasi visual, tapi menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang gemar menggali sejarah. Melalui karya seni fotografi nenek-kakek Eddy, kita dapat menyelami dan menghormati perjalanan panjang Salatiga sebagai kota garnisun yang kaya akan cerita. Jejak Kota Garnisun Salatiga Demi kelancaran transaksi dagang di Jawa, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) menghadirkan kantong garnisun di Salatiga. Pada tahun 1746, berdirilah Fort De Hersteller, sebuah benteng yang diambil namanya dari kapal Belanda yang bersandar di Batavia. Bangunan ini menjadi saksi bisu peran strategis Salatiga dalam mendukung aktivitas perdagangan di wilayah tersebut. Masuk abad ke-19, Belanda semakin mengintensifkan keberadaan pasukannya di Salatiga. Kota kecil ini, yang menjadi poros utama antara Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta, diberi julukan baru sebagai Kota Militer atau Kota Garnisun. Di sinilah pusat kekuatan Belanda dalam mengamankan jalur perdagangan dan mempertahankan keamanan di wilayah Jawa. Meskipun sejumlah bangunan bersejarah telah mengalami kerusakan, seperti Fort De Hersteller, sejumlah lainnya masih kokoh berdiri hingga kini. Beberapa dari bangunan tersebut bahkan masih digunakan untuk keperluan sehari-hari. Inilah beberapa di antaranya, yang tak hanya menjadi saksi bisu sejarah, tetapi juga bagian hidup dari keseharian masyarakat Salatiga. Gedung Pakuwon Gedung Pakuwon, yang berlokasi di selatan alun-alun Salatiga, menyimpan cerita mendalam tentang Perjanjian Salatiga. Perjanjian ini, sebuah kesepakatan penting dalam pembagian wilayah antara tiga penguasa Jawa pada masanya, membawa nama-nama besar seperti Raden Mas Said, Pakubuwono III, dan Hamengkubuwana I. Perjanjian tersebut, yang disaksikan oleh VOC, menjadi tonggak bersejarah dalam menyelesaikan kisruh keturunan Kerajaan Mataram. Dalam kesepakatan tersebut, Raden Mas Said diberikan setengah wilayah Surakarta dan diberi gelar Mangkunegara I sebagai bagian dari upaya mengakhiri konflik di kalangan keturunan kerajaan. Namun, meskipun Gedung Pakuwon menyimpan begitu banyak nilai sejarah, akses untuk masuk ke dalamnya menjadi terbatas sejak tahun 1980 karena telah menjadi properti pribadi. Kantor Walikota Salatiga dan Jejak Baron Carel Willem van Heeckeren Sebuah bangunan di Jalan Sukowati menghadirkan kisah yang tak kalah menarik. Bangunan ini, yang semula dimiliki oleh advokat sekaligus taipan kelahiran Belanda, Baron Carel Willem van Heeckeren, telah menjadi saksi bisu perjalanan waktu di Salatiga. Menurut Eddy, pemilik Rumah Historia Salatiga, kepemilikan bangunan ini berpindah dari tangan Carel Willem ke GBF van Heeckeren van der Schoot. Selanjutnya, bangunan tersebut sempat menjadi milik Semarang Administrasi Mascapai. Melalui perjalanan waktu yang panjang, bangunan ini pernah disewa oleh Pemkot Salatiga sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk membelinya dan mempertahankan keberadaannya hingga sekarang. Daya tarik utama dari bangunan megah ini adalah atapnya yang datar dengan lekukan pemanis. Dalam istilah orang Jawa, atap seperti ini sering disebut sebagai “gedung rata” atau “papak”. Sebuah sentuhan arsitektur yang memperkaya keindahan bangunan dan menambah kesan elegan. Dengan halaman luas yang membingkai bangunan ini, kita dapat merasakan sejuknya udara masa lalu dan merenung tentang perjalanan sejarah Salatiga yang terpatri dalam dinding-dindingnya. Wisma BCA di Jalan Diponegoro: Gemerlap Era Kolonial yang Abadi Terletak di Jalan Diponegoro, sebuah bangunan cagar budaya berusia perkiraan 100-an tahun menjadi saksi bisu gemerlap era kolonial Belanda di Salatiga. Meliriknya dari luar, siapa pun dapat dengan mudah mengidentifikasi keelokan arsitektur klasik era tersebut, dengan dua menara yang anggun menghiasi sisi kanan-kiri bangunan. Menurut Eddy, seorang sejarawan Salatiga, area sekitar Wisma BCA dulunya adalah kawasan elite yang dikenal sebagai Europeesche Wijk. Kawasan ini hanya boleh dihuni oleh orang Eropa, Asia Timur, dan bumiputra berpenghasilan tinggi. Bangunan yang kini menjadi Wisma BCA awalnya berfungsi sebagai rumah tetirah, menyimpan sejuta cerita tentang kehidupan masyarakat elite pada masa itu. Dengan gaya art deco yang kental, atap lancip, dan ornamen gotik, gedung yang tetap terawat baik ini memiliki daya tarik tersendiri. Dibangun pada awal abad ke-20, Wisma BCA juga dikenal dengan sebutan De Mestein Pensioens Hotel, atau “hotel para pensiunan.” Sebuah ungkapan yang mencerminkan kemegahan dan kelas yang melingkupi bangunan ini. Gardu Listrik Peninggalan ANIEM, Kotak Bersejarah di Jalan Adisucipto Jalan Adisucipto menyimpan sebuah kotak bersejarah yang dulunya adalah gardu listrik milik Algemeen Nederlands Indische Electriciteits Maatschappij (ANIEM), anak perusahaan gas Hindia Belanda, Nederlandsch-Indische Gasmaatschappij (NIGM). Bangunan ini menjadi saksi bisu peran Salatiga sebagai jalur logistik militer pemerintah Hindia Belanda di Jawa. Salatiga, dengan sepuluh gardu listrik berkapasitas mumpuni, menjadi salah satu pilar utama dalam menyokong logistik militer. Gardu listrik ANIEM, yang dulu berfungsi sebagai rumah trafonya, kini menjadi saksi bisu perjalanan waktu. Agus Heri Purwanto, seorang admin di ruangan berukuran 2,5×2,5 meter yang menjadi saksi hidup dari sejarah ini, menjelaskan bahwa meskipun trafonya telah dipindahkan beberapa tahun terakhir, gardu listrik ini tetap dimanfaatkan untuk kepentingan fasilitas umum. Fungsi seperti pembayaran listrik, tempat lapor untuk pemasangan baru, tambah daya, dan migrasi tetap memberikan kontribusi bagi masyarakat Salatiga. Rumah Dinas Walikota, Saksi Pertemuan Sukarno dan Hartini Kompleks Rumah Dinas Walikota Salatiga bukan sekadar bangunan kuno, melainkan sebuah mahakarya bersejarah yang membentang sepanjang zaman. Kompleks ini menggambarkan kejayaan masa lalu dengan dua bangunan utama yang menjadi saksi bisu perjalanan waktu di tanah Salatiga. … Baca Selengkapnya

Masjid Kelenteng Salatiga, Gambaran Akulturasi Budaya dan Toleransi

Masjid Kelenteng Salatiga, Gambaran Akulturasi Budaya dan Toleransi

Masjid Kelenteng Salatiga merupakan masjid bernuansa kelenteng dengan warna merah menyala. Masjid ini penuh dengan ornamen China, sehingga membuat masjid ini kian menarik. Melewati Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga akan ada bangunan yang menarik perhatian karena warnanya yang sangat mencolok, selain itu juga bentuk bangunan yang unik selintas terlihat seperti kelenteng tempat ibadah warga Tionghoa. Namun jika diperhatikan lebih dekat, dan membaca papan nama bertuliskan Masjid Klenteng (Masteng) yang menjadi penjelas bahwa bangunan tersebut adalah Masjid tempat ibadah umat Islam. Masjid Kelenteng berlokasi di Jalan Abiyoso No. 14 Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga. Pengelola masjid ini, Cholid Mawardi mengatakan bahwa masjid ini dibangun pada tahun 2005 oleh Yusuf Hidayatullah setelah pulang dari tanah suci. Beliau adalah seorang Tionghoa yang menjadi mualaf. Beliau juga pengusaha makanan khas Salatiga yaitu enting-enting gepuk Bangunan masjid ini memiliki ornamen Tionghoa yang didominasi warna merah dan dihiasi lampion. Di depan bangunannya berdiri gagah gapura besar berkelir merah dipadu kuning cerah. Selepas Yusuf Hidayatullah meninggal dunia, tanah seluas 1.700 meter persegi yang terdapat bangunan masjid Klenteng, dibeli kakak Cholid, Agus Ahmad pada akhir tahun 2020. Sampai saat ini bangunan masjid tetap dipertahankan sesuai bentuk aslinya karena unik yang merupakan gambaran akulturasi budaya yang sesuai dengan Kota Salatiga, yakni toleransi. Sampai saat ini banyak sudah pengembangan yang dilakukan untuk pemberdayaan serta pendidikan, seperti aula aula yang diberi nama Aula H. Zaenal Abidin tetap dengan corak serta dekorasi Tionghoa. Selain itu juga terdapat Pondok Pesantren Entrepreneur yang saat ini sudah ada 35 santri yang mondok. Mereka dari pagi hingga malam selalu mengisi kegiatannya di Masjid Klenteng, mulai dari shalat hingga mengaji bersama. Setelah alih tangan, Masjid Klenteng diwakafkan untuk masyarakat. Saat Bulan Ramadhan banyak kegiatan keagamaan dilaksanakan di sini seperti tarawih, buka bersama, dll.

Pohon Pengantin Salatiga, Keindahan Dibalik Mitos Yang Melingkupi

Pohon Pengantin Salatiga, Keindahan Dibalik Mitos Yang Melingkupi

Pohon Pengantin Salatiga pada dasarnya bukanlah tempat wisata, namun karena keindahan pemandangan dan keunikannya, banyak orang yang kemudian tertarik untuk mengunjunginya. Salatiga merupakan kota kecil yang sejak dulu sudah diakui keindahannya. Sampai sekarang kota ini juga banyak menawarkan lokasi wisata yang indah. Salah satunya Pohon Pengantin. Pohon Pengantin sebetulnya bukan tempat wisata resmi, namun karena keunikan dan pemandangan sekitarnya yang cantik, banyak yang tertatrik untuk mengunjungi Pohon Pengantin ini. Sehingga keberadaan lokasi ini terekam dalam situs Google Maps. Lokasi Pohon Pengantin berada di Jalan Siranda, Pulutan, Kota Salatiga. Letaknya berada di dekat SMP Islam Al Azhar Salatiga dan dapat dikunjungi dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Keunikan Pohon Pengantin Siranda Bukan sekadar pohon, pohon pengantin ini sangat unik bentuknya. Pohon ini tumbuh sendirian di pematang sawah. Bentuknya juga meliuk-liuk, unik seperti ular. Batang bagian bawahnya membentuk tempat duduk yang alami karena proses pertumbuhannya. Pohonnya tampak seperti tanaman kerdil bonsai dalam ukuran besar. Tempat ini sering menjadi tempat untuk sesi foto pre-wedding bagi pasangan kekasih yang akan melangsungkan pernikahan. Legenda Pohon Pengantin Salatiga Warga sekitar menuturkan bahwa dulunya ada dua pohon di lokasi tersebut, namun salah satu pohon sejak lama sudah ditebang. Pohon itu merupakan simbol cinta. Mitos yang beredar jika sesrorang berkunjung ke pohon tersebut bersama pasangannya, hubungan mereka akan menjadi langgeng. Karena kepopulerannya hingga ada musisi asal Salatiga Erfix Bahtiar, mengungkapkan pesona pohon itu ke dalam sebuah lagu berjudul “Pohon Pengantin”. Lokasi Pohon Pengantin Salatiga Lokasi Pohon Pengantin ini sangat mudah diakses. Jaraknya hanya sekitar 3,9 km dari Kota Salatiga dengan waktu tempuh kurang lebih 10 menit saja. Rutenya, jika dari Kota Salatiga menuju Jl Diponegoro, tiba di pertigaan sebelah Puskesmas Sidorejo Lor Salatiga, belok kira menuju Jl Siranda Raya Bancaan, kemudian lurus terus sampai lokasi. Pohon Pengantin terletak di pinggir jalan. Untuk mengunjungi Pohon Pengantin tidak dipungut biaya, paling hanya biaya untuk membayar parkir jika membawa kendaraan.Pohon Pengantin

Siapa Bilang Salatiga Tidak Punya Mal? Resta Pendopo KM 456 Salah Satunya

Siapa Bilang Salatiga Tidak Punya Mal? Resta Pendopo KM 456 Salah Satunya

Tol Trans Jawa telah menghubungkan berbagai tempat strategis seantero Pulau Jawa, membentang dari ujung barat hingga ujung timur pulau. Hal ini menjadikan perjalanan antar kota maupun antar provinsi menjadi lebih cepat. Meskipun begitu tetap disediakan area istirahat (rest area) di setiap titik-titik tertentu bagi para pengendara. Biasanya digunakan untuk sekadar buang air kecil, makan, tidur, yang pada intinya kegiatan memulihkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan yang panjang. Salah satu rest area yang bisa menjadi opsi serta banyak direkomendasikan oleh para pengendara adalah rest area Resta Pendopo 456 Salatiga. Lokasinya ada di ruas Tol Semarang-Solo atau Trans Jawa, sekitar 20 kilometer dari Gerbang Tol Bawen. Tidak jauh dari Exit Tol Salatiga. Rest area yang berdiri di lereng Gunung Merbabu ini resmi beroperasi pada 20 Februari 2020, dan telah mendapat pengahargaan dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebagai Rest Area Terbaik pada Juni 2021. Resta Pendopo KM 456 Salatiga ini berdiri pada dua sisi bersebrangan, yaitu sisi A dan sisi B. Yang menjadi salah satu keunikan di bangunan ini adalah sky bridge (jembatan penghubung) antara kedua sisi bangunan. Melewati jembatan ini seoalah berjalan melayang di atas jalan tol. Tempat ini juga sangat favorit sebagai spot foto dangan latar Gunung Merbabu dan hamparan sawah di sekitar rest area. Bagaimana tidak menjadi Rest Area terbaik, Rest Area dengan luas sekitar 3,3 hektare ini memiliki pemandangan yang sangat indah memanjakan mata berupa pemandangan Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, dan Gunung Ungaran yang terlihat di sekitar ruas jalan tol Trans Jawa tersebut. Arsitektur bangunan rest area ini juga memanjakan mata karena bangunannya yang estetik, terdapat lima buah joglo dengan atap limas yang melambangkan lima buah gunung yang ada di Jawa Tengah tadi. Untuk sisi A (arah pergi), terdapat 2 joglo, dan sisi B (arah balik) terdapat 3 joglo. Pembangunan Rest Area ini juga merangkul para UMKM yang terdampak akibat pembangunan rest area ini yang tersebar di Kota Semarang, Solo, Salatiga, Boyolali, dan daerah di sekitarnya sehingga perekonomian tetap berjalan dan beramnafaat bagi semua kalangan. Terdapat sekitar 40an gerai UMKM yang menawarkan produk kuliner, kerajinan, busana hingga oleh-oleh khas Jawa Tengah. Juga terdapat fasilitas yang sangat memadai berupa puluhan toilet umum, tempat ibadah, tempat pengisian bahan bakar umum, minimarket, kios jajanan, pujasera, pojok ATM, serta lahan parkir luas yang kabarnya mampu menampung 200 kendaraan kecil dan sekitar 40 kendaraan besar seperti bus dan truk. Khusus di area sisi A (arah dari Semarang menuju Solo) terdapat mall yang menyediakan outlet-outlet lokal sampai nasional, baik makanan maupun pakaian. Mulai Starbucks, Solaria, Tong Tji, Istana Mie, Banaran, Salezone & Levi’s. Juga ada kuliner lokal seperti Ayam Goreng Bu Toha, Vien’s Selat, Ronde Jago, Gudeg, Lumpia Semarang, dan masih banyak yang lainnya. Terdapatnya mall di dalam rest area ini juga menjadi hiburan tersendiri bagi warga lokal karena mengingat Salatiga merupakan kota yang tidak memiliki mall. Jadi selain menjadi tempat beristirahat, juga menjadi tujuan wisata bagi sebagian orang. Banyak yang berkunjung hanya untuk wisata, berkeliling rest area. Anda ingin berkunjung dan merasakan sendiri fasilitas yang disediakan?

Drumblek Salatiga, Marching Band Lokal Dengan Peralatan Musik Dari Barang Bekas

Drumblek Salatiga, Marching Band Lokal Dengan Peralatan Musik Dari Barang Bekas

Drumband Blek atau masyarakat menyebutnya Drumblek Salatiga, adalah seni musik yang berasal dari Pancuran, kota Salatiga. Jangan buru-buru membuang wadah kue bekas ke rumah kita. Mungkin kita bisa mengadakan konser marching band menggunakan barang-barang lamamu. Barang yang menurut sebagian orang tak dapat digunakan lagi ini dapat dimanfaatkan sebagai drumblek. Seperti halnya perangkat Marching Band pada umumnya, Drumblek juga memiliki perangkat yang sama dengan Marching Band. Namun, Drumblek menggunakan peralatan yang lebih sederhana yang berbahan dasar barang bekas seperti kotak kue, kentongan, tempat sampah kecil, tempat sampah besar, dan piring. Dalam bahasa Belanda, kata “blek” dalam Drumblek berasal dari kata serap “Blik” yang berarti kaleng untuk makanan. Sejarah Awal Mula Munculnya Drumblek Salatiga Kesenian lokal Salatiga Drumblek pertama kali muncul pada tahun 1986 di Desa Pancuran, Desa Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga dengan penggagasnya bernama Didik Subiantoro Masruri atau biasa dikenal dengan Didik Ompong. Ide kreatif Didik muncul ketika Desa Pancuran diundang untuk mengikuti Karnaval HUT ke-41 Republik Indonesia. Saat itu, banyak acara seni yang berlangsung di Kota Salatiga. Acara yang dimaksud adalah karnaval, parade, dan festival budaya. Awalnya Didik berkeinginan untuk mendirikan drumben agar Desa Pancuran bisa berpartisipasi dalam acara tersebut, namun digagalkan oleh dana yang terbatas. Setelah mempertimbangkan matang-matang, Didik akhirnya menemukan ide unik untuk terus membuat drumben menggunakan barang-barang bekas yang masih bisa digunakan sebagai instrumen pendukung, seperti bambu, ember, drum, ember, dan jerigen. Ide Didik disambut antusias oleh teman-teman dan remaja di Desa Pancuran. Bersama-sama, mereka mulai mengumpulkan kaleng bekas, kaleng minyak, ember, dan potongan bambu. Setelah beberapa barang bekas tersebut terkumpul semuanya, mereka melanjutkan latihan untuk bisa tampil di Karnaval HUT ke-41 Republik Indonesia. Selama latihan awal, drumnya jauh lebih keras saat dipukul, bahkan tidak membentuk ritme lagu. Memang, semua peralatan yang digunakan adalah barang bekas. Dalam perkembangan selanjutnya, nama “drumlek” akhirnya disepakati untuk menyebut temuan kesenian tersebut mengingat alat yang digunakan mayoritas berasal dari drum bekas berbahan seng (bahasa Jawa: blek), sedangkan nama komunitas kesenian ini pada awalnya dikenal dengan nama Drumben Tinggal Kandas, kemudian berganti nama menjadi Gempar (Generasi Muda Pancuran). Keseriusan latihan warga Desa Pancuran terbayar saat tampil dalam rangka HUT ke-41 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Drumblek asal Desa Pancuran ini menarik perhatian masyarakat, bahkan hingga saat ini masih menjadi salah satu pertunjukan yang ditunggu-tunggu masyarakat setiap kali berbagai acara kesenian digelar di kota Salatiga. Mengenakan pakaian sederhana, cenderung ala kadarnya, dan mengenakan theklek (Jawa: sandal kayu), Drumblek Tinggal Kandas memiliki seringkalai mengangkat tema politik dalam penampilannya. Namun, tema tersebut dikemas tidak terlalu vulgar. Ciri khas pembawaan drumblek tersebut mengantarkan warga Desa Pancuran meraih penghargaan dari MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) untuk kategori pawai menggunakan theklek dengan peserta terbanyak. Desa Pancuran kemudian dikenal tidak hanya sebagai pencetus drumblek saja, tetapi juga dengan barisan theklek sebagai ciri khasnya. Ide-ide kreatif Didik secara bertahap diikuti oleh desa-desa lain di kota Salatiga. Semakin banyak kelompok seni drumblek bermunculan di setiap desa di Salatiga. Drumblek tidak hanya ditampilkan pada saat acara karnaval tetapi juga digunakan sebagai acara seremonial oleh pemerintah kota Salatiga. Seni Drumblek berkembang pesat selama 10 tahun terakhir, ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok Drumblek baru di daerah perbatasan Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang. Salah satu faktor yang mendorong pesatnya pertumbuhan kelompok drumblek adalah adanya dukungan dari masing-masing kepala desa di daerah masing-masing. Bentuk Penyajian Drumblek Salatiga Drumblek Kota Salatiga dipengaruhi oleh pemain drumben Belanda. Ketika status Kota Salatiga masih gemeente, setiap tahun orang Eropa (khususnya Belanda) yang tinggal di wilayah Kota Salatiga mengadakan festival. Biasanya parade dimulai di Lapangan Tamansari sebelum berkeliling kota. Setelah pemerintah Hindia Belanda meninggalkan kota Salatiga, alih-alih parade ini punah. Justru drumben gaya londo menjadi tren di Salatiga. Drumblek adalah bentuk “tiruan” dari drumben, hanya instrumennya yang lebih “populer”. Drumblek menjadi salah satu inovasi hiburan yang sangat digemari terutama oleh masyarakat Kota Salatiga hingga saat ini. Jenis musik ini tidak tergolong alat musik biasa karena berasal dari barang bekas. Namun melalui inovasi, dan kreativitas, benda-benda tersebut disulap menjadi alat musik unik yang tidak berbeda dengan alat musik biasa. Selain itu, seni drumblek lebih kepada musik untuk ruang terbuka, baik di lapangan maupun musik yang dimainkan sambil berjalan seperti drumben. Anggota drumblek menjadi poin penting dalam kesenian ini. Semakin banyak anggota drumblek, semakin keras suara musik yang dihasilkan. Memang inti dari drumblek adalah semangat dari aspek memainkan instrumen, tarian dan kostum yang digunakan, sehingga anggota kelompok drumblek adalah hal utama yang harus dikoordinasikan secara harmonis untuk memunculkan harmoni. Dalam satu kelompok drumblek biasanya terdiri dari beberapa anggota yang tugasnya memainkan lagu dengan menggunakan beberapa kombinasi instrumen, dipimpin oleh satu atau dua orang komandan lapangan. Drumblek seringkali juga diiringi dengan tarian bendera yang membentuk formasi dengan pola yang berubah-ubah tergantung koreografi lagu yang dimainkan. Foto: doc. putranovant

Air Terjun Kali Pancur, Kesejukan dan Pesona Alami di Sekitar Salatiga

Terletak di kaki Gunung Merbabu, Salatiga dikenal sebagai salah satu kota yang memiliki hawa sejuk di Indonesia. Sesuatu hal yang pantas apabila Kota Salatiga menjadi salah satu destinasi favorit liburan keluarga di akhir pekan. Berkunjung ke Salatiga rasanya belum lengkap kalau belum berkunjung ke berbagai destinasi wisata alam di sekitarnya. Salah satunya adalah Air Terjun Kali Pancur. Air Terjun di kaki Gunung Telomoyo dengan ketinggian sekitar 100 meter ini hanya berjarak sekitar 14 km dari Kota Salatiga. Air Terjun Kali Pancur dihiasi bebatuan alam dan goa-goa kecil sebagai tempat bersarang burung walet. Udara di sekitar air terjun cukup dingin dan cuaca sering berubah-ubah. Jadi bagi Anda yang ingin berkunjung ke tempat ini digunakan untuk membawa payung. Pemandangan Asri dan Alami di Sekitar Air Terjun Kali Pancur, Getasan, Kabupaten Semarang Sebagai air terjun yang berada di pegunungan, air terjun Kali Pancur menawarkan nuansa keindahan pemandangan alam. Di sekitar Air Terjun Kali Pancur terdapat hutan yang lebat yang masih terjaga keasriannya. Jika dilihat dari kejauhan Air Terjun Kali Pancur terlihat seperti sebuah tanda seru.