Jowonews

Logo Jowonews Brown

Yakin Beneran Merdeka?

Oleh : Hafidh Haryono

Peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan menjadi tantangan utama dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini pemerintah gencar meluncurkan program yang dapat meningkatkan kualitas Pendidikan di Indonesia.Tapi, dalam 2 tahun kebelakang seluruh dunia dibuat kalang kabut karena pandemi covid 19, tidak terkecuali dunia Pendidikan Indonesia. Hal tersebut menjadi tantangan yang sangat berat bagi dunia pendidikan, dari yang semula terbiasa melakukan pembelajaran tatap muka atau pembelajaran luar jaringan dipaksa untuk melakukan pembelajaran dalam jaringan.

Krisis pendidikan yang telah terjadi sekian lama, diperburuk dengan Pandemi Covid-19 yang seketika membawa perubahan pada wajah pendidikan di Indonesia. Perubahan yang paling nyata tampak pada proses pembelajaran yang awalnya bertumpu pada metode tatap muka beralih menjadi pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran dalam jaringan. Pembelajaran dalam jaringan sangat berat diterapkan dalam kondisi mutu dan fasilitas pendidikan di Indonesia yang belum merata. Mungkin, di kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya dapat melaksanakan pembelajaran dalam jaringan. Tetapi di daerah lain yang fasilitasnya tidak memadai untuk melakukan pembelajaran dalam jaringan harus bagaimana? Pertanyaan tersebut menggelitik sebab dengan adanya ketimpangan yang semakin besar dengan tuntutan Pendidikan yang sama apakah hal tersebut layak untuk dipertahankan. 

Di Indonesia, kesenjangan pendidikan terjadi jauh sebelum pandemi, dan semakin menguat ketika pandemi. Indikasi penguatan kesenjangan pembelajaran sebenarnya telah tampak dari pola keberagaman proses pembelajaran selama pandemi. Peserta didik dengan fasilitas yang cukup memadai akan tetap bisa belajar sementara peserta didik yang tidak atau kurang mempunyai fasilitas yang memadai akan sulit untuk mengikuti pembelajaran. Ini selanjutnya memberi pengaruh pada semakin melebarnya kesenjangan hasil pembelajaran peserta didik selama pandemi. 

Mengantisipasi kesenjangan pembelajaran yang timbul karena pandemi pada Agustus 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merilis kurikulum darurat yang merupakan penyederhanaan dari Kurikulum Nasional. Setelah berjalan kurang lebih satu tahun, Kemendikbud telah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum darurat. Hasil evaluasi tersebut secara umum menunjukkan bahwa peserta didik yang menggunakan kurikulum darurat mendapatkan hasil asesmen yang lebih baik daripada pengguna Kurikulum 2013 secara penuh, terlepas dari latar belakang sosial ekonominya.

BACA JUGA  Guru Menembus Lorong Waktu

Atas dasar keberhasilan kurikulum darurat, Menteri Pendidikan Bapak Nadiem mencetuskan Kurikulum Merdeka yang beresensi pada kemerdekaan pendidikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata merdeka adalah bebas (dari penghambaan, penjajahan dan sebagainya). Tujuan pembaharuan kurikulum adalah untuk memperbaiki atau menyempurnakan kurikulum sebelumnya. Kurikulum merdeka diharapkan mampu untuk menutup kesenjangan yang besar dalam dunia pendidikan. Kurikulum merdeka membebaskan peserta didik untuk mengeksplorasi dirinya. 

Kurikulum merdeka terdapat pembelajaran berdiferensiasi yang membedakan peserta didik berdasarkan kesiapan belajar, gaya belajar dan kecerdasan majemuk. Tapi hal tersebut menjadi dilema bagi guru karena menerapkan pembelajaran berdiferensiasi artinya guru harus bisa menyesuaikan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, yang menjadi muara di dilema ini adalah tentu saja guru akan semakin sibuk membuat modul ajar ataupun administrasi yang lainnya. Sebagai contoh, dalam melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi sesuai dengan kesiapan belajar peserta didik maka seorang guru harus menyiapkan materi yang berbeda, lembar kerja peserta didik yang berbeda dan evaluasi yang berbeda, hal tersebut akan membuat tugas seorang guru tambah berat.

Pergantian Rencana Pelaksanaan Pembelajaran menjadi modul ajar juga menyisakan dilema, dimana dalam modul ajar pemerintah kurang memberikan pelatihan sehingga guru masih meraba-raba pembuatan modul ajar yang benar. Pembuatan modul ajar dimaksudkan memberi kemerdekaan atau kebebasan bagi guru untuk mengkreasikannya, tetapi pemerintah menganjurkan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan Project Based Learning. Guru diharapkan dapat membuat modul ajar sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya tetapi hal tersebut justru membuat kebingungan bagi guru karena dalam modul ajar tidak tersedia format pembuatan modul ajar yang pasti. Maka dari itu apakah kurikulum merdeka juga memberi kemerdekaan bagi guru? Ataukah hanya menambah beban kerja bagi guru?

Simak Informasi lainnya dengan mengikuti Channel Jowonews di Google News

Bagikan berita ini jika menurutmu bermanfaat!

Baca juga berita lainnya...